MBIS - 3

2560 Words
Setelah satu harian bekerja dengan penuh pencobaan dan semangat yang tersisa akhirnya Reva bisa pulang ke rumah dengan nyaman. Setelah kejadian yang menimpanya antara Reva dan Albara, mood Reva seketika berubah dan ia tak semangat untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan Albara padanya. Maka satu harian itu wajah Reva di tekuk, sehingga Naomi saja merasa Reva berbeda semenjak keluar dari ruangan Albara. “Pulang naik apa Re?” Tanya Naomi saat mereka berjalan ke bawah untuk pulang. “Di jemput Mbak udah di lobby kok, mbak pulang naik apa?” Tanya Reva balik. “Ini udah pesan ojek online.” Jawab Naomi. “Kalau gitu saya balik duluan ya Mbak, udah di jemput.” Pamit Reva sambil menghampiri Raka yang sudah menjemputnya itu. Raka langsung saja merangkul Reva dan membukakan pintu mobil untuk Reva. Raka memperlakukan Reva sangat manis sehingga Naomi berpikir bahwa yang menjemput Reva adalah pacarnya Reva. Naomi menilai bahwa Raka sangat ganteng sekali dan cocok dengan Reva. Ia saja sampai iri dengan Reva karena mempunyai pacar seperti Raka. Padahal Raka memang sudah terbiasa melakukan hal itu pada Reva sebagai bentuk perhatian dan perlindungannya pada sang adik. Memang banyak sekali yang tidak mengenal Reva, maka mengira kalau Raka bukan bagian dari keluarga Reva. Malah menganggap bahwa Raka kekasih dari Reva. Ketika di dalam mobil, Raka melihat Reva yang diam saja dan wajah yang di tekuk menimbulkan kebingungan bagi Raka. Padahal tadi pagi ketika mengantar sang adik, jelas ia tahu bagaimana excitednya sang adik ketika ingin magang. “Gimana magang di hari pertama?” Tanya Raka ketika mereka sudah di dalam perjalanan pulang, sebagai bentuk basa-basi. Siapa tahu bisa mencari tahu kenapa Reva bisa bersikap aneh seperti itu. “Nggak usah tanya-tanya dulu deh Mas, aku lagi kesel banget nih.” Kata Reva sambil melipat tangannya di depan d**a. “Emang kenapa sih? Masih hari pertama udah ada masalah di kerjaan?” Tanya Raka lagi mau tahu. Reva menghembuskan nafasnya kasar dan menatap Raka dengan kesal. “Mas mending nyetir aja deh, jangan tanyaiin dulu.” Kata Reva dengan jengkel. Melihat Reva yang moodnya tidak baik, maka Raka memilih untuk diam saja dan membiarkan Reva sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesampainya di rumah Reva langsung turun cepat dari mobil dan hendak naik ke atas melewati kedua orangtuanya yang ada disana. Mereka saja ikutan bingung dengan anak perempuannya itu yang tiba-tiba diam. “Reva, sini dulu Mama mau bicara loh.” Panggil Sheeva. “Nanti aja Ma, Reva mau mandi.” Reva melewati kedua orangtuanya begitu saja dan segera naik ke atas sehingga menimbulkan tanya. “Itu Reva kenapa?” Tanya Rezkan pada anak sulungnya. “Gatau Pa, aneh banget dari tadi. Di mobil juga wajahnya jutek diam terus. Udah Raka tanya, tapi malah kesal. Jadi Raka diemin aja, Raka pikir Reva ada masalah di kantor. Tapi cepat banget punya masalah, padahal ini baru hari pertama loh.” “Coba nanti kamu cari tahu ke kantornya apa bener ada masalah.” Perintah Rezkan. “Iya Pa nanti coba Rezkan cari tahu ya. Rezkan ke kamar dulu.” Rezkan pun pamit guna menghubungi salah satu temannya yang bekerja di tempat magang Reva itu.   ***** “Tumben banget kamu pulang ke rumah.” Kata Sarah pada anaknya yang masih saja belum menikah itu. Biasanya Albara jarang untuk pulang ke rumah, tetapi kali ini Albara memilih pulang karena rindu dengan keadaan rumah pikirnya. “Emang Albara nggak boleh pulang ke rumah Ma? Biar Albara tahu nggak usah datang lagi.” Kata Albara dengan becanda, namun ia langsung mendapat pukulan dari Sarah. “Ihh Mama kenapa pukul Albara sih, kayak anak kecil aja. Albara udah gede Ma.” Protes Albara saat ia di pukul oleh Sarah. “Kamu tahu kalau kamu udah tua, tapi kenapa kamu masih aja belum nikah! Padahal kalau udah kayak gini kamu ingat banget sama umur! Kamu nunggu apa lagi sih! Kamu udah punya segalanya, umur kamu juga udah sangat cukup! Bahkan adik kamu anaknya udah pada besar, kamu satu pun masih aja belum ada. Jangankan punya anak, nikah aja deh dulu punya istri mama udah senang banget Albara! Tolong dong kamu nikah, kasih mama cucu dari kamu juga. Umur mama udah nggak muda lagi, mungkin bentar lagi mama juga bakalan pergi dari dunia ini. Sebelum mama pergi please, biarkan mama lihat kamu nikah dan bahagia dulu ding.” Albara jadi berdecak karena mendengar perkataan Sarah. “Ngomong apa sih Ma! Aku nggak suka ya kalau Mama udah ngomong kayak gitu. Gausah ngomong yang aneh-aneh deh Ma, mama itu bakalan umur panjang dan bakalan lihat aku bahagia nanti. Mama juga harus sabar dong, aku bakalan nikah kok kalau waktunya tepat.” Sarah menghembuskan nafasnya kasar. “Emang apa lagi sih yang belum tepat? Apa yang kamu tunggu, coba kasih tahu mama. Kalau kamu mama jodohkan nggak mau, nolak katanya bisa cari sendiri. Nah mama kasih kebebasan sampai sekarang kamu nggak pernah bawa pasangan kamu ke rumah. Terus mama harus gimana lagi?” Tanya Sarah bingung. “Kali ini seriusan Ma, mama harus percaya sama Al Ma. Kali ini dengan scepat mungkin Al bakalan bawa calon Al ke rumah dan dikenalin sama Mama. Kayaknya Al udah dapatin orang yang tepat untuk Al, ini lagi berusaha banget. Jadi Mama harus sabar okay? Kali ini Al bukan hanya ngomong, beneren bisa tepati tapi sabar.” Jawab Albara dengan yakin membuat Sarah memicingkan matanya menatap Albara dengan serius. “Kali ini kamu emang beneren seriuskan? Nggak bohong sama Mama? Nggak coba ngerayu atau coba nenangin Mamakan?” Tanya Sarah dengan penuh selidik. “Bener Ma, mama tahukan kalau Al nggak pernah seyakin ini sebelumnya. Jadi kalau Al udah kayak gini berarti bener Ma. Al bakalan bawa pasangan Al ke mama secepatnya. Dia cewek cantik dan Al yakin bakalan cocok sama Mama.” Kata Albara dengan yakin sambil menggenggam tangan Sarah meyakinkan. “Okay, mama akan tunggu. Awas aja kalau kamu sampai bohong, mama nggak akan maafin kamu. Mending kamu nggak usah pulang ke rumah kalau kamu bohong. Mama nggak mau punya anak pembohong dan suka ingkar janji.” Albara tersenyum dan bangkit berdiri guna memeluk Sarah dengan erat. “Iya Ma, mama tenang aja. Al nggak bakalan kecewain mama kok. Al bakalan tepatin janji dan bawa menantu untuk mama. I love you Ma.” Ucap Albara sambil mencium pipi Sarah. “I love you too my son. Yaudah kamu mandi dulu gih sana, biar kita makan malam. Papa bentar pulang kok habis lari.” Albara menganggukkan kepalanya paham dan pergi ke kamar miliknya. Sudah lama Albara tidak kembali ke rumah dan menempati kamarnya sendiri semenjak memiliki apartement sendiri. Ia akan pulang ke rumah kalau di suruh atau bahkan ketika mereka sedang kumpul semua. Maka ketika ada acara, semua anak Sarah dan Edo akan berkumpul di rumah dan bahkan sampai menginap. Maka disitu jugalah Albara akan tidur di rumah masa kecilnya dulu. Bukannya langsung mandi Albara malah berbaring di tempat tidur dan mengambil handphonenya yang berada di saku. Senyum Albara terbit saat membuka handphonennya itu dan mengetikkan sesuatu disana. Setelah itu Albara membuat handphonennya ke telinganya karena ia sedang menghubungi seseorang. Tetapi sudah lama ia menunggu dan akhirnya panggilannya tak terjawab. Beberapa kali Albara mengulang memanggil orang yang dihubunginya itu, tapi juga tak kunjung di angkat. Hingga akhirnya Albara mengirimkan pesan dan akhirnya di balas. Setelah mendapat balasan barulah Albara kembali menghubungi orang yang dihubunginya itu sejak tadi. “Hallo, kenapa telephonennya nggak di angkat?” Tanya Albara langsung to the point ketika di angkat. “Nomer bapak masih baru bagi saya, karena saya tidak terbiasa mengangkat telephone sembarang dari orang apalagi nomernya yang tidak saya simpan.” Jawab seorang perempuan di balik telephone tersebut dengan formal. Siapa lagi yang dihubungi Albara kalau bukan Reva. Yup sedari tadi orang yang coba di hubungi oleh Albara adalah Reva Antoni, perempuan yang sudah menjadi target bagi Albara untuk dia dekati dan dapatkan. “Oke berarti mulai dari sekarang nomer saya harus kamu simpan, karena saya akan terus menghubungi kamu setiap hari bahkan setiap saat. Jadi saya harapkan kamu juga harus cepat mengangkat telephone saya, jangan lama ya.” Reva terdiam di balik telephone tersebut. “Apa kamu mendengarkan perintah saya?” Tanya Albara lagi ketika tidak mendapat jawaban dari Reva. “Baik Pak, akan saya lakukan. Ada apa ya Pak menghubungi saya? Sepertinya urusan pekerjaan tidak ada yang mengharuskan Bapak menghubungi saya, karena saya masih baru. Untuk laporan pusat yang tahu jelas mengenai pekerjaan Bapak hanya Mbak Naomi, saya masih banyak belajar dan masih membantu Mbak Naomi. Lagian ini juga sudah selesai dari jam kerja, tidak saatnya untuk bekerja lagi.” Kata Reva dengan penjelasan yang panjang. “Kalau kamu bekerja sama saya, maka waktu kamu akan siap terpakai di saat di luar jam kerja saja. Karena bagi saya, kerja dengan saya itu dua puluh empat jam. Itu peraturan yang pertama yang harus kamu ketahui. Nah peraturan yang kedua, untuk saya menghubungi kamu atau tidak itu urusan saya bukan urusan kamu. Maka bagian kamu hanya menerima saja ketika saya mencoba menghubungi kamu. Yang ketiga terserah saya menghubungi kamu dengan keperluan apa, mungkin tidak secara terang-terangan untuk pekerjaan. Tetapi pasti akan ada kaitannya tentang saya. Maka hal yang berkaitan sama saya itu berarti soal pekerjaan.” Reva menggenggam tangannya menahan dirinya agar tidak marah. Ia sangat kesal saat ini, karena ia tidak pernah mendengar ada pekerjaan seperti ini. Lagi Reva terdiam ketika mendengar arahan dari Albara itu. “Apa kamu mendengarkan saya?” Tanya Albara lagi. “Iya Pak saya mendengarkan, apa ada yang bisa saya bantu Pak?” Tanya Reva menahan amarahnya saat ini. “Ada, saya mau kamu berbicara terus karena saya mau mendengarkan suara kamu. Saya suka sama saudara kamu yang bisa buat saya terus memikirkan kamu.” Gombal Albara membuat Reva semakin menahan amarahnya. Sepertinya amarah Reva sudah sampai di ubun-ubun, namun saat ini ia tidak bisa menumpahkan hal itu pada Albara. Karena ia baru saja sehari bekerja dengan Albara dan ia sangat membutuhkan Albara saat ini menolong untuk menyelesaikan perkuliahaannya. “Sepertinya waktunya tidak tepat Pak, ini bukan tentang pekerjaan Pak.” “Emang waktu yang tepat kapan? Bukankah saya bilang kalau hal itu ada kaitannya dengan saya. Maka itu ada kaitannya sama pekerjaan. Saat ini saya butuh mendengarkan suara kamu, maka itu salah satu bagiannya. Ketika saya mendengarkan suara kamu mood saya membaik. Kalau mood saya membaik, maka itu akan ada kaitannya pekerjaan saya akan segera cepat selesai bukankah itu membantu?” Albara dengan segala kamuflase di dalam dirinya selalu sjaa mempunyai caranya sendiri untuk mendapatkan sesuai dengan keinginannya sendiri. “Pak, say—” “Mungkin kamu belum terbiasa denga napa yang baru terjadi. Tapi saya mau supaya kamu mulai membiasakan diri dengan saya yang seperti ini. Saya akan menghubungi kamu kapanpun saya mau dan kamu harus siap. Kamu harus siap kapanpun saya butuh kamu, jadi jangan kecewakan saya kalau kamu mau yang terbaik untuk membantu perkuliahaan kamu. Jelas kamu tahukan bagaimana reputasi kantor saya, pasti akan sangat berpengaruh sama hasil kamu. Jadi kalau kamu mau nilai kamu baik, kamu hanya bisa berharap sama saya. Karena nilai kamu ada di tangan saya. Jadi ini awal yang akan kamu tahu tentang saya, kamu perlu belajar dan beradaptasi. Untuk kali ini saya maafkan kamu, untuk seterusnya saya nggak akan kasih kesempatan lagi. Jadi kamu harus belajar dari mulai sekarang ya, saya udah peringatkan kamu dari awal. Good night baby!” Setelah itu Albara mematikan samungan telephonennya. Terputusnya sambungan tersebut membuat Reva melemparkan handphonenya ke atas tempat tidur dan berteriak. Bahkan ia mengacak-acak rambutnya sangkin kesalnya. Bisa-bisanya ia mempunyai boss seperti itu. Bagaimana bisa akhirnya ia bekerja dengan orang seperti itu pikirnya. Tak pernah terpikirkan oleh Reva kalau dia akan magang dan mendapatkan boss seaneh itu dan membuatnya sangat kesal seperti ini. Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena emmang Reva membutuhkan Albara untuk kuliahnya. Apakah Albara bertingkah seperti itu dengan karyawan perempuan pikirnya. Apakah Albara emang segenit itu? Apa Albara tidak punya pekerjaan lain selain mengganggunya? Apakah Naomi juga dulunya bernasib seperti dirinya atau bahkan sampai sekarang? Apakah Albara memang memperlakukan karyawannya seperti ini? Memikirkan itu semua membuat Reva semakin kesal dan merinding karena memikirkan hal itu membuatnya bergedik. “Arrrgghhhhhh!” Teriak Reva lagi dan seketika pintu kamarnya langsung terbuka menimbulkan ke empat anggota keluarganya yang lain. Mendengar suara teriakan Reva membuat ke empat anggota keluarganya seketika panik dan segera masuk karena takut sesuatu terjadi pada Reva. “Apa yang terjadi? Kamu kenapa? Ada yang masuk ke kamar kamu?” Tanya Rezkan panik dan segera melihat anaknya dan seketika melihat sekeliling secara bergantian. Reza dan Raka langsung saja berkeliling mengecheck kamar Reva memastikan. Sedangkan Sheeva sudah menatap dengan khawatir sambil menilai Reva dari atas sampai bawah. “Ngapain sih? Aku tuh gapapa, nggak ada yang perlu di khawatirin.” Kata Reva semakin kesal karena diperlakukan seperti anak-anak. “Terus kamu kenapa teriak kayak gitu dari tadi?” Tanya Reva masih dengan khawatir. “Tadi aku dapat telephone dari boss aku terus di kasih kerjaan hanya itu aja. Aku kesel karena udah di rumah juga masih di kasih kerjaan.” Ucap Reva dengan kesal. Ke empat anggota keluarganya itu akhirnya menghembuskan nafas dengan kasar karena lega. “Yaampun kirain kenapa, lebay banget sih Mbak.” Kata Reza yang langsung dapat tatapan tajam dari Reva. “Lo aja yang lebay langsung masuk ke kamar gue, tahu banget gue kalau lo tadi yang duluan masuk dan buka kasarkan? Bilang orang lebay lo sendiri juga lebay!” Kata Reva dengan kesal, Raka bisa melihat bahwa emosi Reva memnag sangat tidak stabil saat ini dari pulang kantor tadi. “Kamu kenapa? Ada masalah di kantor? Cerita kalau emnag ada masalah, tadi Mas udah coba hubungi temen Mas yang ada di kantor kamu. Katanya kamu nggak ada masalah apa-apa, malah kamu di tempatkan posisi yang enakkan. Kamu jadi asisten skretaris, tempat yang semua orang inginkan.” Jelas Raka membuat Reva semakin kesal karena ia dicari tahu sampai sedetail itu. Raka memang sudah mendapatkan informasi tentang adiknya itu di kantor dan sudah memberitahu kedua orangtuanya tentang hal itu. “Aku itu bukan anak kecil lagi sampai harus dicari tahu detail kayak gitu Mas. Stop deh cari tahu dan ikut campur sama urusan aku. Kapan aku bisa mandiri dan dewasa kalau terus di giniian Mas? Udah deh jangan ikut campur lagi, aku mau belajar bertanggungjawab. Menurut aku sekarang waktu yang tepat. Mending Papa, Mama keluar deh. Kamu juga Mas, Reza juga keluar deh aku mau sendiri. Mau kerjain laporan.” Kata Reva dengan kesal. “Sayang, kamu kenapa tiba-tiba kayak gini? Kamu gapapakan? Nggak ada sesuatu hal yang buruk terjadikan?” Tanya Sheeva memastikan. “Reva gapapa Ma, jangan khawatir. Ma please tinggalin Reva, okay?” Mohon Reva. Akhirnya ke empat anggota keluarga itu keluar dari kamar Reva dan bingung dengan perubahan Reva yang sangat drastis itu. “Kayaknya Reva emang butuh waktu sendiri deh Pa. Nanti Raka coba ngomong pribadi sama Reva, mudah-mudahan Reva mau ngerti ya.” Kata Raka. “Iya nanti Papa juga coba ngomong sama Reva dan cari tahu, karena nggak biasanya dia kayak ginikan.” Sheeva menghembuskan nafasnya kasar. “Mama takut kalau Reva nggak nyaman di tempatnya kerja, atau ada yang gangguin dia disana?” Kata Sheeva dengan khawatir. “Udah mama jangan mikir yang aneh-aneh dulu, nanti Raka tanyain juga teman Raka yang kerja disana ya.” Sheva menganggukkan kepalanya paham. “Yaudah kita makan malam aja yuk, punya Reva nanti mama yang antar.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD