2

1987 Words
Dua pria berbeda generasi sedang saling bertatapan. Satu dengan tatapan tegas dan satu dengan tatapan tak suka. Mereka adalah sepasang kakek dan cucu dari keluarga Caldwell. Max Caldwell dan cucunya Earth Caldwell. "Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan menikahi putri dari keluarga McKell itu," tekan Earth jengah. Ini adalah kesekian kalinya sang kakek memintanya untuk menikah dengan wanita yang tidak ia sukai. Earth cukup mengenal nama Aurora McKell si model terkenal yang masuk dalam top model dunia. Namun, Earth tidak tertarik sama sekali pada Aurora karena ia sudah memiliki pilihan sendiri. Pilihan yang tidak mungkin ia bawa ke keluarga Caldwell karena status kekasihnya yang merupakan seorang janda. "Sampai kapan kau akan menolak menikah, huh? Usiamu sudah 28 tahun, Earth. Kau cucu tertua di keluarga ini dan sudah seharusnya kau menikah di usiamu ini. Lihat para sepupumu, mereka bahkan sudah memiliki anak. Sedang kau? Kekasih saja kau tidak punya." Max mengocehi cucunya tanpa kenal lelah. Pria berusia 70-an tahun itu ingin sekali melihat cucu tertuanya menikah, tapi tampaknya keinginannya itu terlalu mahal. "Memangnya kenapa dengan usiaku? Banyak orang lain yang belum menikah. Lagipula jika kakek ingin menggendong anak dari cucu kakek, kakek sudah mendapatkannya dari Lucas dan juga Edward. Kakek tidak perlu terus menekanku untuk menikah dengan alasan seperti itu." "Kakek sudah lelah dengan alasan-alasanmu, Earth. Kakek beri waktu satu bulan, jika kau tidak membawa calonmu maka kau tidak berhak menolak perjodohan dengan putri Mr. Mckell," putus sang kakek tanpa mau dibantah. Earth tidak tahan lagi. Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruangan bernuansa emas itu. "Benar-benar menjengkelkan." Earth mengoceh kesal. Ia meraih acak kunci mobil yang tergantung di dinding kemudian pergi meninggalkan kediaman keluarga besar Caldwell. Earth mengusap wajahnya gusar. Ke mana ia harus mencari wanita yang mau menikah dengannya tanpa harus mencampuri hidupnya. Wanita yang tidak akan mengusik hubungannya dengan Caroline - kekasihnya. "Ah, sialan!" Earth memukul setir mobilnya kasar. Jika saja di keluarganya tidak ada aturan bahwa menikahi janda akan kehilangan hak waris maka dirinya tidak akan sefrustasi ini. Namun, sayangnya di keluarga Caldwell menerapkan peraturan yang tidak bisa diubah dari generasi ke generasi. Earth merasa aturan keluarganya sangat konyol, tapi sekonyol apapun aturan itu ia tidak bisa melanggarnya karena tidak ingin kehilangan warisan. Terlebih Earth tidak ingin para sepupunya merasa senang karena memiliki kesempatan untuk mendapatkan apa yang harusnya menjadi miliknya. Keluarganya tidak sesederhana keluarga pada umumnya. Terlalu banyak permasalahan di dalam keluarga yang tampak harmonis hanya jika di depan orang lain. Di keluarganya ia memiliki satu paman dan satu bibi, dan masing-masing dari mereka memiliki anak laki-laki yang berambisi untuk menjadi pemimpin di Caldwell group. Satu keluarga harusnya saling mendukung, tapi tidak di keluarganya. Baik bibi atau pamannya sama-sama ingin merampas haknya, begitu juga dengan para sepupunya yang begitu menginginkan posisinya. Belum lagi ada anak dari adik kakeknya yang sama liciknya dengan paman dan bibinya. Di depannya orang-orang itu akan bersikap manis, tapi di belakangnya mereka sedang mencari kesempatan untuk menjatuhkannya ke dasar jurang. Sejak kecil Earth dididik oleh orangtuanya untuk jadi seorang pemenang. Hal itu tertanam di dalam jiwanya dengan baik dan bersemayam hingga ia dewasa. Meski orangtuanya telah tiada sejak ia berusia 12 tahun, tapi Earth selalu mengingat kata-kata ayahnya. Bahwa akan ada banyak orang yang mencoba mengambil posisinya, dan Earth tidak boleh memberikan kesempatan pada orang-orang itu. Ia adalah pewaris tahta kerajaan bisnis Caldwell group. Dan orang-orang akan tunduk di bawah kakinya. Mobil Earth berhenti di sebuah bar. Tempat yang hanya dikhususkan untuk minum alkohol dengan ketenangan tanpa musik bising yang memekakan telinga. Malam ini Earth butuh ketenangan, ia benar-benar lelah dengan kakeknya yang pantang menyerah. Earth duduk di depan bartender. Memesan sebotol wine lalu menikmatinya ditemani dengan suara musik clasic. "Segera ke Artemist bar!" Earth memberi perintah pada orang yang ia hubungi lalu meletakan ponselnya di atas meja. Kali ini Earth tidak bisa menanggapi keinginan kakeknya seperti angin lalu. Pria tua itu terlalu serius untuk ia abaikan perintahnya. Dan Earth juga sudah terlalu jengah dengan perintah kakeknya yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Ia harus segera menemukan wanita yang bisa mengatasi semua masalahnya. Lima belas menit berlalu. Seorang pria dengan jaket kulit berwarna hitam mendekat ke arah Earth. Pria itu kemudian duduk di sebelah Earth dan memesan cocktail pada bartender. "Carikan aku wanita yang bisa aku nikahi kontrak, tapi bukan p*****r atau sejenisnya." Earth mengutarakan langsung maksudnya menghubungi sekertaris sekaligus sahabatnya, Malvis Sergio. "Berapa waktu yang aku punya?" "Satu bulan." "Baiklah. Aku akan mencarikan yang sesuai keinginanmu." Tanpa bertanya Malvis tahu seperti apa wanita yang diinginkan oleh sahabatnya. Wanita yang tidak boleh mengusik kehidupan pribadi sang sahabat. Terutama tentang hubungan Earth dan Caroline.   ♥♥♥♥♥   Jessy tidak fokus bekerja seharian ini. Tadi pagi ia baru dihubungi pihak rumah sakit yang mengatakan bahwa besok adalah batas p********n terakhir biaya operasi ibunya. Pikiran Jessy kacau. Ia sudah tidak memiliki harapan lagi. Dari mana ia bisa mendapatkan uang 50.000 dollar dalam waktu singkat. "Jess! Jessy!" Anneth, sahabat Jessy, membuyarkan lamunan panjang Jessy. "Ada apa, Anneth?" Jessy menyahut lesu. "Ada apa denganmu? Kenapa kau sangat tidak bersemangat hari ini?" Anneth menatap Jessy heran. Hari ini ia seperti tidak mengenal sahabatnya. Biasanya Jessy akan murah senyum, tapi hari ini ia tidak melihat senyuman itu terbit di wajah Jessy. Jessy menarik napas dalam. Ia memang tidak memberitahu Anneth tentang masalahnya. Bukan karena ia tidak ingin Anneth tahu, tapi karena ia tidak mau Anneth terganggu dengan masalahnya. Anneth adalah sahabat yang begitu peduli padanya. Dan karena kepedulian itu ia tidak ingin membebani Anneth. Setahunya Anneth juga memiliki masalah yang cukup berat. Anneth harus bekerja siang dan malam sepertinya untuk membayar hutang judi ayahnya. Hidupnya dan hidup Anneth tidak jauh berbeda. Lahir dalam kemiskinan dan memiliki ayah yang tidak bersikap selayaknya ayah. Ckck, kenapa juga mereka harus hadir dari pria-pria tidak bertanggung jawab seperti ayah mereka. "Besok adalah hari terakhir pelunasan biaya operasi ibuku. Jika aku tidak bisa membayarnya besok maka ibuku tidak akan tertolong." Jessy akhirnya bicara. Matanya memerah, dadanya terasa sesak. Ia ingin menangis sekencang-kencangnya sekarang. Wajah heran Anneth berubah jadi terkejut bercampus sedih. "Ya Tuhan, kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal." "Maafkan aku, Anneth. Aku tidak ingin membebanimu. Kau sudah banyak membantuku." Jessy merasa malu pada Anneth. Meski sahabatnya sedang kesusahan, Anneth masih bisa membantunya. Anneth menggenggam tangan Jessy. "Aku memiliki sedikit tabungan, kau bisa memakainya dulu. Aku tahu itu tidak akan banyak membantumu, tapi setidaknya mengurangi total yang harus kau bayar." Jessy menggelengkan kepalanya. Air matanya tumpah tak mampu ia tahan lagi. "Tidak, Anneth. Kau juga membutuhkan uang itu. Kau harus membayar hutang ayahmu yang jatuh tempo." Jessy sudah tidak ingin lagi menyusahkan Anneth. Jika ia menerima uang dari Anneth maka Anneth akan terusir dari kediaman Anneth yang dijaminkan sebagai jaminan hutang ayah Anneth. "Tidak apa-apa, Jess. Aku bisa meminta tenggang waktu." Anneth meyakinkan Jessy dengan lembut. Jessy menggeleng lagi. Ada konsekuensi dari permintaan tenggang waktu yang Anneth katakan. Sahabatnya itu akan berakhir babak belur dipukul oleh orang-orang suruhan rentenir tempat ayahnya berhutang. Dan Jessy tidak ingin hal itu terjadi pada Anneth. Cukup satu kali saja ia membuat Anneth babak belur karena memberikannya pinjaman yang seharusnya Anneth bayarkan pada rentenir. "Aku akan menemukan jalan keluarnya, Anneth. Kau gunakan saja uangmu untuk membayar hutang ayahmu." Jessy menghapus air matanya. Ia tidak boleh cengeng seperti ini. Ia juga tidak boleh putus asa. Pasti akan ada jalan baginya yang mau berusaha. Anneth memeluk Jessy erat. "Aku berdoa semoga kau mendapatkan uang itu, Jess. Tuhan pasti akan membantumu yang ingin berbakti pada ibumu." Jessy tidak tahu harus percaya pada Tuhan atau tidak. Ia sudah benar-benar lelah dengan masalah yang menimpanya. Kenapa Tuhan harus memberikannya hidup yang seperti ini? Kenapa Tuhan harus membuat ibunya merasakan sakit setelah semua penderitaan yang ibunya alami? Bukankah Tuhan sangat tidak adil padanya dan juga ibunya. Ia bukan orang yang tak bertuhan. Akan tetapi, masalah demi masalah yang ia alami membuatnya kecewa pada Tuhan-nya. Ia tidak meminta kehidupan yang bergelimangan harta, ia hanya ingin ibunya tidak sakit lagi. Keinginannya begitu kecil, dan Tuhan yang maha pengasih tidak bisa mengabulkan doanya. Waktu berlalu, jam kerja Jessy telah habis, dan ia telah meninggalkan toserba tempatnya bekerja. Sekarang ia sedang berdiri di depan sebuah bar. Ia sangat tidak ingin berurusan dengan orang yang akan ia temui ini, tapi setelah berpikir lagi ini adalah jalan satu-satunya. Menghembuskan napas berat, Jessy kembali melangkah. Ia mendorong pintu kaca bar itu. "Bisakah aku bertemu dengan Madam Ella?" tanya Jessy pada bartender tempat itu. "Jessy?" Seorang wanita berusia diakhir 30-an tahun menatap Jessy dengan sebelah alis terangkat. Wanita itu berpenampilan seronok, bibirnya menyala seperti api. Ia mengenakan dress ketat dengan belahan d**a rendah. Wanita ini adalah wanita yang Jessy cari, Madam Ella. Pemilik bar sekaligus mucikari terkenal di kalangan atas. Jessy memiringkan wajahnya. Dan Madam Ella tersenyum ramah, ternyata benar. Dia adalah Jessy, putri dari kenalannya yang berasal dari satu desa dengannya. "Madam Ella, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Jessy ragu-ragu. Dari matanya masih tersirat bahwa ia sangat enggan bertemu dengan Madam Ella. "Ikut aku." Madam Ella melangkah mendahului Jessy. Ia mengajak Jessy duduk di sebuah sofa panjang yang ada di sudut ruangan. "Jadi, kenapa kau ingin bertemu denganku?" "Ibuku sakit, dan aku membutuhkan uang, dan,,," Jessy menggigit bibirnya, ia sangat tidak ingin mengatakan hal selanjutnya yang sudah ia pikirkan sepanjang jalan. "Dan?" Madam Ella menatap Jessy tenang. "Dan aku ingin bekerja di sini." Jessy akhirnya mengucapkan kalimat yang berat sekali ia ucapkan. Madam Ella tertawa mendengar ucapan Jessy. Membuat Jessy bingung apa yang lucu dari kata-katanya. "Aku yakin ibumu tidak tahu tentang apa yang kau katakan barusan. Jika dia tahu, aku berani bertaruh dia akan terkena serangan jantung." Madam Ella ingat betul bagaimana Kayonna memegang teguh pendirian bahwa ia tidak akan menjual dirinya di ibukota meski kehidupannya sangat sulit. Madam Ella berkali-kali menawarkan agar Kayonna berhenti bekerja serabutan dengan gaji yang sangat kecil, tapi ditolak tegas oleh Kayonna. Kayonna memegang teguh prinsip bahwa harga dirinya tidak bisa dibeli dengan uang. "Tolong pinjami aku 50.000 dollar, dan aku akan bekerja sampai hutangku lunas." Jessy tahu bahwa yang ia lakukan saat ini sangat tidak tahu diri, tapi ia sangat membutuhkan uang itu hingga apapun tidak penting lagi. Madam Ella mencemooh Jessy lewat tatapannya. "Bekerja saja belum dan kau sudah meminta uang yang banyak. Aku bukan bank. Dan aku tidak sebaik yang kau pikirkan. Lagipula berapa lama kau akan bekerja untuk membayar hutang itu." "Aku tidak peduli berapa lama aku bekerja untuk melunasinya. Aku mohon, aku sangat membutuhkan uang itu." Jessy memelas. Sungguh tak pernah ia pikirkan sebelumnya bahwa ia akan mengemis untuk jadi seorang p*****r. "Semua orang membutuhkan uang dengan alasan yang berbeda-beda," balas Madam Ella sinis. "Dan maaf saja. Aku tidak bisa memberikanmu pinjaman meski kau menbayarnya dengan tubuhmu." "Aku masih perawan. Aku dengar perawan memiliki nilai jual yang lebih tinggi." Jessy tidak mau menyerah. Madam Ella tertawa kecil, tatapan matanya masih saja merendahkan. "Kau paling hanya bisa mendapatkan 10.000 dollar untuk keperawananmu, lalu setelahnya? Kau tidak mahir dalam dunia ini. Pelangganku jelas lebih suka yang berpengalaman. Dengar, Jessy, aku tidak akan menginvestasikan uangku pada sesuatu yang tidak menguntungkanku." Jessy meremas tangannya, menahan tangis yang hendak jatuh. Bahkan dengan mengambil jalan seperti inipun ia tetap tidak bisa mendapatkan biaya untuk pengobatan ibunya. Dunia benar-benar kejam, bukan? "Aku mohon, Madam Ella. Bantu aku sekali ini saja." Jessy memohon sekali lagi. Dan jawaban Madam Ella masih sama. Ia tidak akan mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk menyelamatkan ibu Jessy. "Sebaiknya kau biarkan saja ibumu mati. Dia hanya menyusahkanmu saja." Tangan Jessy terayun tanpa ia sadari. Mendarat di pipi belapis make up Madam Ella. "Kau bisa menolak memberikan pinjaman, tapi kau tidak bisa mengatakan hal tidak berperikemanusian seperti itu. Aku adalah anaknya, dan dia tidak pernah menyusahkanku sama sekali," marah Jessy. Mata Madam Ella menyala murka. Berani sekali Jessy menampar wajahnya. "Jalang sialan!" Madam Ella  melayangkan tangannya membalas tamparan yang diberikan oleh Jessy. Pipi pucat Jessy memerah, rasa sakit menjalar di sana, tapi tidak seberapa dibanding dengan perkataan Madam Ella yang begitu menusuk hatinya. "Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" usir Madam Ella murka. Jessy bangkit dari duduknya. Ia menatap Madam Ella benci. "Aku harusnya tidak datang ke tempat ini. Apa yang aku harapkan dari wanita yang menjual dirinya demi kepuasan belaka!" Usai menghina Madam Ella, Jessy membalik tubuhnya dan pergi. Madam Ella menyumpah serapah Jessy. Lucu sekali mendengar kata-kata Jessy barusan padahal wanita itu datang ke tempatnya untuk menjual diri. "Ibu dan anak sama saja. Munafik!"            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD