Kenyamanan Semu

1162 Words
"Halo?" Kai yang berdiri di balik jendela kamar, menoleh ke arah belakang, memastikan Safira tidak terganggu dengan suaranya yang sedang menelepon Danis. Dia berniat memberitahu temannya itu jika Safira tidak bisa berangkat bekerja karena sakit. "Ya, Kai? Tumbenan lu telepon?" sindir Danis, membuat Kai sontak mendengkus. "Gue cuma mau bilang, kalo si Safira gak berangkat kerja dulu malem ini," ucap Kai menatap lurus ke depan lagi, sambil meresapi semilir angin yang berembus. Di luar sana rupanya masih gerimis. Danis terdengar tertawa dari seberang sana. "Perhatian banget, lu sama calon istrinya Arkana. Pakek diizinin segala lagi." Kai berdecak tak suka mendapat sindiran semacam itu. Dia lantas segera menjelaskan. "Bukannya apa-apa. Tuh, orang lagi sakit. Jadi gak bisa berangkat kerja dulu." "Iya-iya. Gue paham." Danis terdiam sejenak. Kemudian dia bertanya, "Safira masih di apartemen lu?" "Masih." "Gila, lu, Men! Calon istri abang lu jangan lu embat juga." Danis memperingatkan. "Sialan! Siapa juga yang mau ngembat." Kai berbalik, melangkah ke luar kamar, dan masuk ke kamarnya sendiri. Dia hanya tidak ingin Safira mendengar percakapannya dengan Danis. "Lah, itu buktinya? Elu kekepin terus di apartemen? Kalo gak ada niat buat ngembat, terus buat apa, coba, lu repot-repot lunasin utangnya dia ke gue?" Kai membuang napas kasar. Menduduki tepi ranjang lalu melepas sandal rumahannya. Kai membawa kakinya naik ke kasur, berselonjor. Punggungnya bersandar pada head board. "Elu 'kan udah tau alesannya, bego!" gerutu Kai. Danis malah cekikikan. "Awas aja lu kalo tau-tau kesemsem sama Safira," ucapnya memperingatkan sekali lagi. "Jujur aja, nih, ya. Sebagai cowok normal, waktu awal-awal gue liat dia. Gue sempet tertarik. Siapa coba yang gak tertarik sama makhluk sempurna kayak si Safira. Sayang aja dia udah punya calon suami." Kai diam saja tak berkomentar apa pun, malah sibuk mengurut pangkal hidungnya. "Udah dulu. Gue mau tidur. Capek gue." "Oke-oke, deh. Inget, ya, Men. Jangan lu embat calon istri abang lu sendiri. Jangan jadi adik durhaka," ejek Danis, dan memutus telepon sepihak. "Sialan, si Danis!" Kai berdecak, menatap ponselnya sekilas, lalu menaruhnya di atas nakas samping tempat tidur. "Jangan jadi adik durhaka. Enak aja kalo ngomong," sungutnya, setelah mengulang ejekan Danis. Rasa kantuk mulai dirasakan Kai. Jadwal tidurnya beberapa hari ini sangat berantakan setelah pulang dari luar kota. Biasanya Kai akan tidur seharian penuh apabila habis dari luar kota. Kai menguap lebar, kemudian merebahkan tubuhnya yang lumayan lelah. "Capek banget gue!" Mungkin tidur sebentar adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Nanti setelah tidur, dia bisa mengecek kondisi Safira. Kai merasa perlu berisitirahat agar dia tidak ikut-ikutan drop. Tengah malam Kai tiba-tiba terbangun karena merasa haus. Tidur selama dua jam rupanya memberikan efek lumayan pada dirinya. Kai beranjak dari tempat tidur, memakai sandal rumahannya, lalu pergi ke luar kamar dan menuju dapur. Selesai minum, Kai berencana mendatangi kamar Safira untuk mengecek kondisi perempuan itu. Pintu kamar Safira memang sengaja tidak ditutup, supaya Kai bisa lebih mudah mengawasi. Ada perasaan iba saat menatap Safira yang terbaring tak berdaya seperti ini. Dengan wajah pucat, dan terlihat begitu lemah, Safira semakin menyedihkan. Lantas, tanpa sadar tangan kiri Kau terulur, menyentuh kening Safira dan mengusapnya lembut. "Eugh ...." Safira terdengar melenguh. Kening Kai mengernyit sebab Safira terlihat gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat bermunculan di sekitar kening dan pelipis. Mulutnya juga terus bergumam tidak jelas. "Fir." Mencoba menyadarkan, Kai mengguncang pelan pundak Safira yang malah mengigau. "Safira." Telapak tangan Kai menepuk-nepuk pipi Safira. Tak dipungkiri, dia turut merasa khawatir dengan kondisi Safira yang entah sedang bermimpi apa. "Bu ... Ibu ...." Mulut Safira memanggil-manggil ibunya. "Bu, Safira mau ikut Ibu aja. Bapak udah gak sayang sama aku." Dia mengigau lalu mengalir lelehan bening di pelipis dari sudut matanya. "Bu ...." Kepalanya terus bergerak ke kanan dan kiri. Kelopak matanya terpejam erat. Menyadari igauan Safira yang semakin tak terkendali, Kai bertambah cemas. "Fir. Bangun, Fir." Dia tepuk-tepuk pipi Safira yang terasa hangat, dan diusapnya kening berpeluh itu dengan tisu. "Safira." "Bapak jahat, Bu. Bapak jahat sama Fira. Fira capek. Fira gak sanggup. Fira mau ikut Ibu. Ajak Fira, Bu ... Ajak Fira." Safira malah terisak-isak dalam tidurnya. Air mata semakin mengucur deras dari sudut matanya yang memejam sangat erat. Telinganya mendengar suara Kai memanggil. Tapi, Safira seakan-akan sulit untuk membuka matanya. "Fir. Fira ... Bangun, Fir. Bangun." Kai tak menyerah, masih terus berupaya membangunkan Safira. Cukup keras dia guncang pundak perempuan yang tengah mengigau itu. "Bu ... Ibu ...." "Fir. Safira. Bangun, Fir." Tak kehabisan akal, Kai lantas meraih gelas yang ada di nakas, menuang airnya sedikit ke telapak tangan, lalu mencipratkannya ke wajah Safira. "Sorry, Fir. Lu gue siram." Caranya pun rupanya cukup berhasil. Kelopak mata Safira sontak terbuka lebar. "Ibu!" Terlonjak, Safira bangkit dan terduduk dengan napas memburu seperti orang habis dikejar-kejar. Rautnya terlihat pucat pasi. Sepasang maniknya menatap nyalang ke depan. Kening Kai mengernyit, lalu memberanikan diri untuk menyentuh lengan Safira yang sepertinya belum menyadari keberadaannya. "Fir. Elu ... gak pa-pa?" tanyanya dengan suara agak sedikit ragu. Khawatir apabila perempuan itu kesambet sebab wajahnya tak berekspresi sama sekali. Sadar jika ada seseorang di sampingnya, Safira menoleh. Dan melihat Kai ada di tempat yang sama dengannya. Untuk beberapa saat dia terdiam. Namun, bola matanya memancarkan rasa takut yang teramat. Lalu, tak lama cairan bening meluncur dari sepasang manik teduh itu. "Kai ...." Safira menghambur ke pelukan Kai dan menumpahkan tangisannya. "Aku takut. Aku takut." Dia memeluk Kai dengan sangat erat, merapatkan wajahnya di d**a bidang itu. "Fir .... Tenang, Fir. Elu gak kenapa-napa. Elu aman," ucap Kai mencoba menenangkan Safira yang tergugu sambil memeluknya. Kai nampak ragu ingin mengangkat tangannya untuk menepuk-nepuk punggung Safira yang berguncang. Dia sendiri masih mencerna semua kejadian ini. Safira tiba-tiba memeluknya dan menangis. "Aku mau ikut Ibu tapi gak dibolehin. Katanya, aku disuruh jaga Bapak, karena aku satu-satunya keluarga Bapak. Ibu minta aku buat sabar hadapin Bapak. Ibu minta aku buat nyadarin Bapak. Tapi ... Aku bener-bener udah gak tahan. Aku udah gak kuat. Bapak jahat sama aku." Semua keluhan itu terlontar begitu saja dari mulut Safira sambil terisak. Seakan-akan Safira tengah menceritakan apa yang baru saja dia alami dalam mimpi. Mimpi bertemu ibunya. Kai diam dan memilih mendengarkan. Namun, isakan Safira lama-kelamaan membuat hatinya tergugah untuk mengusap punggung perempuan itu dengan lembut. Tangannya yang lain mengusap belakang kepala Safira. "Kenapa Ibu gak bolehin aku ikut dia? Kenapa?" gumam Safira, masih belum menyadari jika saat ini dia sedang berada di pelukan seorang Kai—adik dari calon suaminya. Kenyamanan yang dirasakan olehnya, membuat Safira tak ingin buru-buru melepas belitan tangannya di pinggang Kai. Ditambah dengan aroma khas yang beberapa bulan ini sering dia hirup. Wangi parfum yang asing sekaligus memabukkan. Safira belum pernah merasa senyaman ini. "Karena lu masih punya kewajiban di dunia ini, Fir. Ada banyak hal yang mesti lu selesaikan lebih dulu. Termasuk utang-utang lu ke gue," ujar Kai dengan santai. Dan karena ucapan Kai barusan, Safira sontak tersadarkan dari kenyamanan semu yang sebenarnya dia dapat dari lelaki b******k tak berperasaan. Melepas belitan tangannya, Safira lalu mengurai pelukan. Rautnya nampak pias ketika mendapati Kai yang tersenyum miring di depan matanya. "K-Kai?" .

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD