Permintaan Tak Masuk Akal

1326 Words
Roda empat milik Kai melaju cukup kencang, membelah jalanan aspal basah ibukota yang tengah padat-padatnya, akibat rintikan gerimis. Dia menepati perkataannya jika akan menjemput Safira di rumahnya. Niat itu tercetus begitu saja di otaknya. Sama sekali Kai tidak merencanakannya. Cukup aneh, bukan? Tiba-tiba seorang Kai peduli terhadap Safira—perempuan yang notabene dia jadikan target sasaran untuk menyakiti Arkana. Kai juga tidak mengerti dengan isi kepalanya saat mengatakan itu semua kepada Safira tadi siang. Rela jauh-jauh datang ke rumah perempuan itu, lalu tak sengaja mendengar semuanya. Dia datang disaat yang tidak tepat, pikir Kai ketika hendak mengetuk pintu rumah Safira yang tidak tertutup sepenuhnya. Suara bentakan keras yang dia duga adalah suara Januar, lalu suara tangisan yang sudah bisa ditebak suara Safira, membuat rasa penasarannya makin memuncak. Kai tidak terlalu terkejut dengan apa yang didengar dari mulut Januar perihal uang, yang diberikannya untuk pria paruh baya itu. Sudah dia duga jika Januar tak pernah benar-benar berniat membuka usaha. Namun, dia juga tak bisa tinggal diam saat ada tindak kekerasan yang terjadi tepat di depan matanya. Apalagi, yang melakukan seorang ayah kepada anak perempuannya. Sesuatu hal yang tidak patut dicontoh sekaligus harus ditindaklanjuti. Kai menahan tangan Januar yang hendak melayang di pipi Safira. Mencengkeram kuat sampai Januar meringis kesakitan. Sementara Safira tercengang bukan main sebab tiba-tiba Kai muncul. "Kai?" Safira mengerjap sedangkan Januar terpekik saat Kai menepis pria paruh baya yang tidak tahu diri itu. Tak banyak bicara, Kai lalu beralih memegang pergelangan tangan Safira. "Ikut gue!" "Ta-tapi—" Januar seketika menciut dan tak berani mencegah Kai yang ingin membawa putrinya pergi. Kakinya reflek mundur selangkah, ketika mendapat tatapan tajam dari adik Arkana itu. "Anda masih punya urusan sama saya," ucap Kai, lantas menarik tangan Safira, lalu membawanya keluar dari rumah itu. Keduanya lantas masuk ke mobil, memasang sabuk pengaman tanpa berkata apa pun. Safira berulangkali mengusap lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir di pipi. Kai bisa mendengar isakan Safira, tetapi hanya meliriknya seraya menyalakan mesin mobil, lalu membawanya pergi dari halaman rumah tersebut. Gerimis masih belum berhenti turun, ketika mobil Kai sudah berada di jalan raya. Suasana masih hening. Safira sudah terlihat tenang meski masih agak sesenggukan. Dua puluh menit kemudian, Kai menepikan mobilnya dan masuk ke parkiran sebuah minimarket. Dia melepas sabuk pengaman, lalu turun tanpa sepatah kata pun. Safira menghela napas panjang, menyandarkan punggung sambil memejamkan mata. Jika tadi Kai tidak datang, pasti pipinya sudah menjadi sasaran amarah ayahnya. "Kenapa Bapak bisa berubah jadi monster kayak gitu? Padahal, dulu Bapak gak pernah sekali pun ngomong kasar sama aku. Tapi tadi, dia hampir mukul aku." Safira bermonolog, bertanya-tanya sendiri perihal perubahan sikap ayahnya yang sangat drastis. Dia tidak menduga jika pertanyaannya mengenai uang pemberian Kai, akan berujung pertengkaran dengan ayahnya. Safira sampai tidak memercayai jika yang hidup bersamanya adalah ayahnya yang dulu. "Ibu, Fira kangen sama Ibu. Kenapa Ibu gak ajak Fira aja sekalian." Isakan meluncur lagi dari bibir Safira. Air mata pun sudah tak bisa terbendung lagi. Safira menangis lagi. Kai masuk ke mobil, seketika mengernyitkan kening, mendapati Safira terisak-isak. Di tangannya sudah ada satu kantong plastik belanjaan yang entah isinya apa. Dan pintu mobil dia biarkan terbuka. Mengeluarkan botol air mineral yang dibelinya, Kai mencibir Safira. "Buat apa elu nangisin manusia gak punya hati kayak gitu. Buang-buang tenaga aja!" Mendengar cibiran Kai, kelopak mata Safira sontak terbuka lebar. Dia melirik pemuda yang tengah membuka tutup botol air mineral. "Aku gak nangisin Bapak. Aku nangis karena capek," sahutnya, sambil menyusut air yang keluar dari lubang hidung dengan tisu. Kai berdecak, lalu menyodorkan botol air minum yang sudah dia buka tutupnya. "Minum dulu, nih!" Wajahnya tak berekspresi sama sekali ketika menatap wajah Safira yang sembab. "Makasih." Safira meminumnya, setelahnya dia menghela sangat panjang karena dadanya merasa sedikit lega. Pandangannya lurus ke depan, pada minimarket yang terlihat cukup ramai. Bau rokok tercium di dalam mobil, karena Kai mulai mengasap. "Ternyata bokap lu lebih gila dari bokap gue. Bisa-bisanya manfaatin anaknya sendiri buat bayarin utang-utangnya," cibirnya, sambil menggeleng berkali-kali. "Parah!" Kali ini Safira tidak menyahut olokan Kai yang menyinggung ayahnya, karena itu memang benar adanya. Dia sendiri juga merasa sangat marah. Marah. Kecewa. Sedih. Semua rasa yang menyakitkan seolah-olah bertumpuk jadi satu di dalam d**a. "Dulu, bapak gak kayak gitu," ucap Safira, membuat Kai menoleh ke arahnya dan mengambil botol air mineral di tangan perempuan itu, lalu menutupnya. Safira menghela panjang napasnya, dan melanjutkan ucapannya, "Bapak itu orang baik. Bapak sosok laki-laki yang sayang keluarganya. Pekerja keras dan perhatian. Tapi, setelah ibu meninggal, Bapak berubah. Bapak bukan bapak yang dulu aku kenal. Bapak ...." Safira tidak sanggup melanjutkan. Dia menunduk, lalu memukul-mukul dadanya pelan karena merasa sangat sesak. Air mata kembali menetes membasahi rok selututnya. Kai mendengarkan dalam diam sambil mengasap dengan santai. Membiarkan Safira mengeluarkan semua uneg-unegnya, meski telinganya gatal mendengar suara tangisan perempuan. Beberapa saat kemudian setelah hatinya merasa lega, tangisan Safira mereda. Kai mengambil tisu, lalu menyodorkannya. "Makasih." Safira menyusut jejak air mata di pipi dan hidung, lalu meremasnya sampai tak berbentuk. "Baru tadi aku liat Bapak semarah itu sama aku cuma gara-gara aku tanya uang yang kamu kasih." Safira meneleng ke samping, dan tatapannya bertemu dengan tatapan Kai. "Harusnya, kemarin kamu gak usah ngasih Bapak uang itu," ucapnya lagi. Sepasang alis Kai naik. "Elu nyalahin gue?" "Enggak." Safira menggeleng. "Terus tadi apa?" Manik Kai memicing. "Jelas-jelas tadi lu nyalahin gue." Dia berdecak, membuang asal puntung rokok ke luar, lalu menginjaknya dengan sepatu. "Aku gak nyalahin kamu. Cuma, aku gak habis pikir aja.. Kenapa kemarin kamu kasih uang itu dengan mudah? Apa kamu sengaja? Kamu sengaja ngasih uang itu ke Bapak, biar utang-utangku makin banyak ke kamu, iya?" desak Safira, dan Kai hanya bungkam. "Kenapa diem? Berarti itu benar? Niat kamu ngasih uang itu karena cuma mau nambah-nambahin utangku?" lanjut Safira. Dicecar dan disudutkan membuat Kai menjadi geram. Tuduhan yang dikatakan Safira tidak sepenuhnya benar. Niat Kai memberikan uang itu kepada Januar, awalnya memang untuk mencari keuntungan. Dengan begitu, Safira akan semakin terikat padanya. Kai bisa dengan mudah menekannya dan memerintah. Namun, setelah dia mendengar dan melihat semuanya. Niat itu pun Kai batalkan. Uang sepuluh juta yang dia berikan, dan dia tambahkan ke jumlah utang Safira, akan dia ikhlaskan cuma-cuma. Diamnya Kai semakin membuat Safira yakin. Dia mengingat perkataan Kai waktu itu, yang mengatakan jika dirinya harus membayarnya. "Kamu gak usah khawatir. Aku akan bayar utang-utang itu. Tapi, gak bisa kes. Aku cuma bisa nyicil." Safira mengalihkan pandangan lurus ke depan. Menatap kaca mobil yang basah karena rintikan gerimis. Hawa dingin membuat kedua tangannya reflek memeluk tubuhnya sendiri. "Antar aku ke bar. Udah jam sembilan. Aku harus kerja biar bisa bayar utangku ke kamu." Tanggapan dari Kai hanya helaan napas panjang. "Elu yakin mau kerja dengan kondisi kayak gini?" tanyanya sambil menutup pintu dan mematikan AC mobil. Dia cukup peka melihat Safira yang kedinginan. "Kalo gak kerja, aku mau bayar kamu pakek apa?" Safira tertawa sarkas, meneleng ke samping jendela mobil yang dia buka sedikit kacanya. Kai memejamkan mata sejenak. Berusaha untuk tidak terpancing emosi, karena sedang tak ingin berdebat. "Fir." Kai memanggil Safira setelah membuka kelopak matanya. "Berangkat sekarang, Kai. Aku gak mau Pak Danis marah sama aku karena terlambat," ucap Safira tanpa menatap Kai sama sekali. "Danis biar jadi urusan gue. Kalo perlu, gue yang bakal minta izin buat lu." Kai masih belum berniat membawa pergi mobilnya dari sana. Safira sontak menoleh karena terkejut dengan perkataan Kai. Namun sekarang, Safira tidak memerlukan simpati dari siapa pun. Apalagi dari pemuda yang sudah mengacaukan hidupnya. "Gak perlu. Aku akan tetep kerja, Kai. Sayang duitnya," sahut Safira lalu memalingkan wajahnya lagi. Tak peduli dengan ekspresi wajah Kai yang terlihat kesal. Lagi-lagi soal uang yang jadi kekhawatiran Safira. Kai berdecak, lalu berkata, "Berapa, sih, lu digaji sama Danis? Biar gue ganti gaji lu malem ini. Tapi, gue mau elu gak usah kerja dulu di sana." Kepala Safira sontak menoleh lagi. "Apa?" "Elu gak usah kerja di bar lagi." Kai mengulang ucapannya dengan satu alis terangkat tinggi, dan membuat Safira semakin ternganga. _ bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD