Hujan mengguyur kampung kecil ini dengan begitu lebatnya, berhasil merundukkan padi yang sudah hampir menguning sempurna. "Yaa Allah hujannya kenapa semakin lebat," gundah Husain yang memandangi hamparan padi yang hampir tiga bulan lalu dia tanam di sawah milik pak Maman tetangganya yang bersedia memberikan sedikit lahan persawahan untuk garap oleh Husain, dengan perjanjian pembagian hasil panen. Selain padi juga ada sayur-sayuran yang ditanam di sawah itu. Tanah milik pak Maman memang lumayan luas dan subur yang di titipkan pada Husain dan istrinya untuk di kelola selagi ia di Kota.
Husain berteduh di gubuk kecil yang dia bangun di pematang sawahnya untuk sekedar beristirahat melepas lelah.
Azie yang sudah terlanjur basah melanjutkan perjalanan pulangnya. Tapi ia tak langsung ke rumah melainkan pergi ke sawah untuk menyambangi sekaligus membantu ayahnya. Ia menggeret sepedanya di sepanjang pematang sawah yang dilewati.
"Assalamualaikum." Suara Zie teredam suara hujan namun pria itu masih bisa mendengar salam dari anaknya.
"Waalaikumsalam nak, kenapa kamu nggak langsung pulang saja, malah datang kemari?" tanya Husain ketika melihat sang anak sudah ada di sawah itu.
"Amaq sudah selesai memanen sayurnya? Biar saja maq sekalian basah." Jawab Azie setelah menyandarkan sepedanya di pematang sawah.
"Belum nak, keburu hujan turun."
"Ya sudah kalau begitu biar Zie saja yang panen mumpung sudah basah." Zie menanggalkan baju seragamnya, memperlihatkan badannya yang tak terlalu berisi itu.
Ia mulai berjalan ke arah tanaman sayur hijau itu lalu mulai memanennya dengan telaten.
"Semoga hujan ini cepat selesai, agar aku bisa membelikan Saiqa sepatunya sore ini." Batin Azie seraya menatap derasnya air hujan.
Setelah hampir satu jam lebih Azie selesai memanen sayur-sayuran itu, hujan pun mereda. Ia mulai mengumpulkan sayurnya menjadi satu, Amaq juga langsung turun membantunya. Menyusunnya di dalam keranjang, hasil panen itu nanti akan di bawa Inaq dan Amaqnya ke pasar untuk di jual. Kedua orangtuanya akan berangkat selesai shalat subuh.
"Ayo nak kita pulang. Biar nanti bapak yang bawa sayurnya. Kamu bawa saja sepedamu." Azie mangangguk, ia pergi kegubuk untuk mengambil tas dan bajunya.
Azie duduk dan melipat bajunya yang basah itu agar tak kusut, memasukkannya ke dalam kantong plastik yang terselip di bambu gubuk itu, Azie memang selalu menjaga kerapiannya. Dia sangat menghargai dan menjaga setiap pakaian maupun barang yang ia miliki walaupun miliknya sudah lusuh dan kusam. Karena begitulah caranya ia bersyukur.
Beruntungnya besok seragam putih biru itu tak dikenakan lagi, Azie kini pulang hanya dengan celana panjang birunya saja. Ia kembali menggeret sepedanya di atas tanah sawah yang sudah berubah menjadi lumpur itu. Sendalnya juga sudah ia ganti. Anak itu kini berjalan di belakang sang ayah yang tengah memikul tongkat panjang yang kedua ujungnya berisi dua keranjang besar sayur di pundaknya.
Jarak dari sawah ke rumahnya tidak terlalu jauh bahkan hanya beberapa meter saja. Tapi baru berapa langkah berjalan tiba-tiba saja pria setengah baya itu tergelincir. Beruntungnya keranjang sayur mereka tak tumpah, Zie melepas sepedanya begitu saja dan langsung membantu Amaq.
"Amaq nggak apa-apa?" ucap Zie seraya mengangkat tubuh pria yang lebih besar darinya, pundukan sawah yang mereka lewati memang jadi sedikit licin. "Sudah biar Zie saja yang membawa sayurannya, Amaq bantuin Zie bawa sepeda saja!" lanjut remaja itu yang mengambil alih memikul hasil panennya.
"Alhamdulillah tidak apa-apa nak. Terimakasih."
Sesampainya di rumah Azie langsung membersihkan diri seraya mencuci pakaiannya yang basah. Perutnya juga sudah terasa mulai berdemo minta diisi, setelah berganti pakaian ia berjalan ke dapur namun hanya ada sepiring nasi saja di atas meja. Itu pasti untuk ayahnya, hal yang biasa terjadi di rumah itu. Hanya dirinya yang selalu sering tidak mendapatkan kebagian jatah makan. Tapi tak apa, Azie masih bisa mencari makanan untuk dirinya sendiri. Hasna selalu berpikir kalau anak lelakinya itu banyak menyimpan uang, jadi ia dengan santainya tak menyediakan makanan untuk sulungnya itu.
Azie bergegas meninggalkan rumahnya dalam keadaan perut kosong, ia mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa dan berharap hujan tidak turun lagi melihat langit yang masing saja gelap.
"Semoga saja hujan tidak turun lagi Tuhan, biar aku bisa menyelesaikan urusanku hari ini." Pinta Azie yang mulai cemas.
Setelah beberapa saat mengayuh, keberuntungan berpihak pada Azie, sinar matahari kini sudah mulai tampak terlihat cahayanya, begitu juga senyum di wajah hitam manis Azie. Tidak butuh waktu yang begitu lama, Azie sampai di proyek pembangunan sebuah pabrik tempat dimana ia bekerja sebagai kuli bangunan.
"Pak Herman mana yaaa" batin Azie, pandangan matanya mengitari wilayah yang baru setengah jadi itu.
"Zieee, sini cepat!" teriak Pak Herman yang melambaikan tangan pada Azie yang terlihat berdiri di atas sepedanya dengan wajah kebingungan.
Azie langsung menurunkan standar sepedanya, memarkirkannya di samping motor-motor milik tukang lain yang juga bekerja di sana. Tak lama setelah itu, Azie bergegas menghampiri pak Herman yang terlihat sedang asik menyeruput kopi hitamnya.
"Beruntung kamu sampai sini sekarang, kalau kamu telat lima menit saja, saya sudah pergi dari sini." jelas pak Herman sembari menepuk-nepuk pelan pundak kecil Azie.
Pak Herman merogoh kantong celana jeansnya dan mengeluarkan lima lembar uang lima puluh ribuan. Pak Herman memang sudah mempersiapkan uang itu sebagai upah untuk kerja keras Azie, ia langsung menyodorkan uang itu.
"Ini kamu gunakan baik-baik yaa, jangan lupa nabung juga!" Pesan beliau memberikan saran pada Azie dan mengusap kepala anak laki-laki itu. Herman begitu peduli pada buruh kecilnya itu, karena hasil pekerjaannya yang rapi. Herman juga merasa iba padanya yang masih belia tapi sudah harus bekerja begitu keras, di saat anak-anak lain seusianya masih asik bermain. Herman juga begitu tersanjung dengan sifat Azie yang begitu menghormati orang tua.
"Baik pak! Terimakasih banyak, kalau begitu saya langsung pamit pak." Azie mengambil uang yang disodorkan pak Herman dan juga meraih tangan pak Herman kemudian menciumnya.
Setelah berpamitan Azie pun langsung berjalan kearah sepedanya dan memikirkan toko mana yang akan dia datangi untuk membelikan adik kesayangannya sepatu. Hari sudah hampir sore, dia bergegas mengayuh pedal sepedanya menuju ke arah deretan ruko di tepian pasar yang masih buka sampai sore.
"Alhamdulillah masih buka" gumam Azie dengan senyuman diwajahnya dan perasaan lega karena ia sudah bisa menepati janjinya pada Saiqa.
Setelah memilih dan membayar sepatu untuk sang adik, Azie bergeser ke sebuah warung makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Sisa uangnya tinggal dua lembar. Ia memilih lauk tempe bacem dan juga sayur oseng serta satu butir telur rebus. Baru saja ia akan beranjak dari warung itu membawa bungkusan nasinya, langkah Azie terhenti karena mendengar percakapan seorang ibu dan anaknya.
"Bu aku lapar!" Rengek sang anak.
"Kita makan di rumah ya sayang, uang ibu sudah habis." Sang ibu mengusap pipi anaknya mencoba memberikan pengertian.
"Tidak Bu, aku mau makan sekarang lagi pula di rumah ibu juga belum masak." Protes anak lelaki itu lagi yang usianya mungkin sekitar delapan tahunan.
Ibu dan anak itu tidak terlihat seperti pemulung, maupun pengemis. Penampilannya saja cukup memperlihatkan kalau mereka bukanlah orang susah. Azie tanpa ragu mendekat, dan menyodorkan kantung kresek berisi makanannya pada anak kecil itu.
"Ini dek buat kamu, kebetulan kakak beli lebih!" Ucap Zie seraya menyodorkan nasinya dengan senyum yang begitu ramah.
"Eh tidak usah nak!" Tolak si ibu tapi anaknya sudah mengambil pemberian Zie dengan wajah bahagia.
"Tidak apa-apa Bu, ambil saja. Kasian adeknya sudah lapar, tuh suara perutnya sampai terdengar." Seloroh Zie membuat si ibu tersenyum malu.
"Terimakasih banyak nak!" Ucap ibu tadi seraya membawa anaknya pergi.
"Dasar, kamu saja belum makan malah masih sempat memperhatikan orang lain." Gerutu sebuah suara seraya menoyor kepala Azie dari belakang.
"Zara." Zie sedikit terkejut karena sahabatnya itu sudah ada dibelakangnya.