13. Baper

1394 Words
Indira menggigit bibir bagian dalamnya, debaran jantungnya kembali dia rasakan tak beraturan. Indira sedikit mendorong bahu pria di depannya agar sedikit menjauh. "Aku dengar dari Mas Affan kalau ayah Mas Dhafi dirawat, jadi ya aku niat jenguk, apa salah?" tanya Indira, dia sedikit gugup. Dhafi menghela napasnya, lalu ragu-ragu dia duduk di depan Indira. "Kamu tidak perlu melakukan ini," ujarnya. "Perlu," ucap Indira. "em ...." Indira berpikir alasan apa yang masuk akan supaya dia tidak ketara sekali sedang mencoba mendekati Dhafi. "Apa?" tanya Dhafi dengan alis yang mengerut. Pria itu teringat dengan apa yang dikatakan oleh Affan jika mungkin Indira sudah jatuh cinta padanya. Menurut Dhafi, Indira adalah tipe gadis yang mudah terbawa perasaan. Mungkin karena gadis itu tidak pernah merasakan kasih sayang dari sosok laki-laki yang disebut ayah. Makanya saat ada yang memberi perhatian lebih pada Indira, seperti Latif sebelumnya. Indira begitu cepat terbawa perasaan dan menyimpulkan itu sebagai cinta. Dan Dhafi pikir, begitu pun saat ini. 'Aku hanya perlu menghindarinya, lalu nanti ada pria lain, mungkin teman kuliahnya yang akan mendekatinya dan Dira, pasti akan jatuh cinta pada pria itu,' batin Dhafi. "Ya bagaimanapun kan Mas Dhafi juga sudah sangat baik ke Dira selama ini, em untuk masalah Mas Latif," ucap Indira beralasan. Mendengar alasan Indira, dosen tampan itu pun tidak punya jawaban lain, Dhafi hanya diam. Sampai kemudian gadis itu menyodorkan piring berisi makanan untuknya. "Ini Mas Dhafi, silahkan makan dulu," ujar Indira. Dhafi masih terdiam, menatap pada piring makanan di tangan Indira. Sepiring nasi, semur daging dan juga tempe goreng. "Coba deh, ini aku sendiri loh yang masak," ucap Indira. Mendengar itu tiba-tiba Dhafi menjadi penasaran, dia yang tadinya tidak berminat, seketika merasa ingin memakan hasil masakan dari gadis di depannya. Ragu-ragu tangan pria itu pun terulur untuk menerima piring dari tangan Indira. "Cobain deh, aku harap semoga Mas Dhafi suka ya sama masakanku, coba biar biasa nanti mulutnya," ujar Indira masih dengan senyum lebarnya. "Apa?" tanya Dhafi, alis pria itu naik satu. "Oh, nggak ... cuma asal ngomong aja, kok ...," ucap Indira sambil menahan senyumnya. Sementara Dhafi, pria itu menyendok makanan lalu memasukannya ke dalam mulutnya dan mencoba menikmati masakan Indira yang cukup sesuai dengan selera lidahnya. "Gimana Mas, enak nggak?" Mata Indira menatap Dhafi dengan penasaran. Dhafi pun terbatuk sesaat, dia sebenarnya ingin memuji, memang masakannya enak, tapi pria itu tidak ingin Indira semakin terbawa perasaan padanya. Setelah minum, Dhafi pun menjawab, "Em sedikit asin." Indira mengerutkan keningnya. "Masa sih keasinan?" tanya gadis itu. "ini kan semur daging, kecapnya aja banyak loh, masa sedikit asin?" Kemudian gadis itu mengambil sendok di tangan Dhafi, lalu menyendok makanan di piring Dhafi dan memakannya sendiri. Hal itu membuat Dhafi terkejut dan sedikit kebingungan. "Ih nggak keasinan kok, pas ini rasanya," ucap Indira. Dhafi tersadar dari keterkejutannya. "Ehm, kamu tidak apa-apa?" tanya Dhafi. Indira bingung dengan pertanyaan pria di depannya. "Kenapa?" tanya balik Indira. "aku, aku baik-baik saja." "Oh, itu ... itu sendok bekasku," ujar Dhafi. Indira langsung melihat pada sendok di tangannya, gadis itu pun tertawa. "Kenapa Mas, kita kan pernah ciuman, masa pakai sendok bekas aja jijik." Mendengar apa yang baru saja dikatakan Indira, Dhafi langsung terbatuk, gadis di depannya benar-benar tidak pernah menyaring kata-katanya, jangankan kata-katanya, Indira bahkan tidak menyaring apa yang dia pikirkan, apakah tindakannya benar atau salah. Sampai kemudian ponsel Indira berdering. Gadis itu melihatnya lalu mematikannya membuat Dhafi penasaran. "Kenapa tidak dijawab?" tanya Dhafi. "Oh, itu nomor nggak dikenal, aku takut itu nomor Mas Latif," jawab Indira. Mendengar itu Dhafi langsung merasa khawatir, pria itu mengambil alih ponsel di tangan Indira dan memeriksanya. "Ya sudah, lebih baik seperti itu," ujarnya. "Biarkan saja, kalau penting pasti dia kirim pesan, sekarang seperti itu saja, kalau ada nomor tidak dikenal jangan dijawab!" "Iya Mas, makasih ya atas perhatiannya,"ucap Indira. Dhafi menghela napasnya perlahan, segala apa yang dia lakukan akan disalah artikan oleh gadis di depannya. "Ya sudah, Mas Dhafi lanjut makan deh," ujar Indira. Dhafi mengangguk, dia harus segera menghabiskan makanannya supaya Indira cepat pulang. Baru satu suap, pria itu menatap pada sendoknya yang tadi digunakan oleh Indira. Pria itu menghela napasnya perlahan, sudah terlanjur pikirnya. Yang penting dia harus segera menghabiskan makanannya agar Indira bisa cepat pulang. Namun, rupanya dia salah. Setelah dia menghabiskan makanannya, ayahnya justru terbangun dan meminta mengobrol dengan Indira. Dhafi hanya memperhatikan dari sofa, bagaimana Indira berinteraksi dengan ayahnya. Gadis itu sangat ceria, beberapa kali membuat Pak Husain tertawa. Dhafi yang tadinya berpura-pura sibuk dengan ponselnya pun hanya bisa memandang takjub interaksi Indira dengan ayahnya. "Om sangat senang bisa mengenalmu. Kamu gadis yang cantik, baik dan begitu riang, sangat pandai bercerita," ucap Pak Husain, pria paruh baya itu melirik pada putranya yang sejak tadi sibuk dengan gadget di tangannya. Pak Husain menghela napasnya. 'Tidak seperti anak Omx sibuk dengan dunianya sendiri, sampai kadang Om merasa kesepian." Mendengar itu Dhafi melirik pada ayahnya. Sementara Indira, dia pun tersenyum sambil melirik sesaat pada Dhafi. "Iya, anak Om beda banget deh sama Om, Om kan sangat ceria, sangat nyaman diajak ngobrol, tapi kalau itu tuh yang lagi duduk sibuk dengan hp-nya, ih dingin banget melebihinya kulkas 2 pintu," gerutu Indira. Mendengar itu, Pak Husain pun tertawa, lalu mengusap kepala Indira. "Kalau kamu tidak jadi menantuku, jadilah putriku!" ucapnya. Mendengar itu Indira langsung terbelalak matanya, dia menatap haru pada pria baru bayi di depannya. "Beneran Om?" tanya gadis itu, air mata mulai menggenang. "Ya tentu saja, Om cuma punya anak laki-laki satu dan dia belum juga mau menikah di saat teman-temannya sudah menikah dan punya anak," ujar Pak Husain. Indira tak bisa menahan air matanya, lalu dia segera menghapus air mata itu. "Dira tidak pernah punya ayah," ucapnya sedikit terisak. "Dira nggak tahu rasanya bagaimana punya ayah." Mendengar apa yang dikatakan Indira, Dhafi langsung menatap pada gadis itu. Benar dugaan yang, Indira sangat kekurangan kasih sayang seorang laki-laki dewasa yaitu Ayah. Karena itulah Indira begitu mudah terbawa perasaan pada Latif, jiga mungkin padanya. Setelah beberapa saat mengobrol dengan Pak Husain dan jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dhafi memperingatkan Indira untuk segera pulang. "Ini sudah malam, kamu bersama sopir, kan?" tanya Dhafi dan Indira menganggukan kepalanya. "Iya Mas, tenang aja, aku gak minta diantar kok, Mas kan harus menjaga Papa Mas Dhafi," ujar Indira. "Ya sudah aku pamit ya Mas." Indra lalu dia melihat ke arah ranjang di mana Pak Husain Sudah terlelap. "Semoga Om Husain cepat sembuh." "Hm, terima kasih, karena sudah menjadi teman papaku bercerita tadi," ucap Dhafi. "Sama-sama Mas." Kemudian Indira segera membereskan rantang sisa makanan Dhafi. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama dengan dosen tampannya. Tapi hari sudah malam. "Oh ya, tadi terima kasih untuk makan malamnya, masakanmu enak," ucap Dhafi pada akhirnya. Mendengar itu Indira langsung tersenyum lebar. "Kan enak," ucapnya. "kapan-kapan aku masakin lagi ya, biar terbiasa sama masakan aku." Dhafi mengerutkan keningnya, ekpresi sedih dari Indira yang tadi dia lihat, seketika lenyap berganti senyum ceria gadis itu. Dhafi tidak menjawab apa-apa, sampai Indira pamit lagi dan keluar kamar. Setelah mendengar pintu tertutup, Dhafi menghela napasnya panjang. Entah kenapa dia merasa kehilangan saat ini. Pria itu pun tersenyum tipis mengingat segala tingkah polah Indira tadi. Kemudian pria itu segera duduk di sofa kembali. Namun tiba-tiba dia menahan tubuhnya saat hampir saja menduduki sesuatu. Sebuah benda pipih berwarna hitam, ponsel Indira tertinggal di sofa. "Apa dia sengaja biar aku menyusulnya?" gumam Dhafi. Sementara itu Indira baru sampai lobi rumah sakit. Gadis itu langsung mencari keberadaan mobil milik Mama Herlina. Tadi dia minta sopir untuk menunggu. Indira segera menghampiri mobil itu. Namun, Indira tidak melihat keberadaan sopirnya. Sampai seseorang menarik lengannya membuat Indira terkejut. "Ini aku sayang." Mata Indira langsung membola. Latif, pria itu tersenyum lebar padanya. "Ma-Mas Latif ngapain di sini?" tanya Indira, dia melihat ke sekelilingnya. Sungguh, sekarang Indira merasa Latif sudah berbeda dari sebelumnya. Pria itu seperti memaksa, obsesi padanya. "Aku, tentu saja datang buat jemput kamu, ayo aku antar pulang," ujarnya. Indira langsung menyentak tangan Latif. "Gak Mas, aku gak mau!" Gadis itu menggeleng. "kita udah selesai!" Mendengar itu emosi Latif langsung naik. Dia kemudian mencengkram bahu Indira. "Yang memutuskan selesai atau tidak itu aku, bukan kamu." Indira mulai ketakutan, dia melihat ke sekelilingnya yang tampak sedikit sepi. Adapun orang-orang seperti tidak peduli padanya. "Aku akan teriak Mas!" ujar Indira. Latif menyeringai, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan segera membungkam mulut Indira sampai gadis itu merasa lemas dan seketika tidak sadarkan diri. "Kamu yang memaksaku melakukan ini, sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD