Latif yang sejak tadi mengikuti Indira dan Dhafi, bersiap masuk ke coffee shop. Namun langkah kakinya langsung terhenti begitu pria itu melihat keberadaan istrinya sedang duduk berhadapan bersama dengan Indira dan Dhafi.
"Kenapa ada Winda?" gumam Latif cukup terkejut, pria itu langsung melihat ke sekelilingnya dan segera berbalik karena merasa tidak ada tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi.
Latif pun kembali ke mobilnya, dengan kesal dia memukul kemudian. "Kenapa bisa mereka menemui Winda, jangan-jangan Winda sudah tahu semuanya, atau Dhafi, pasti Dhafi yang sengaja mengadu sama Winda," gerutu Latif.
Dari dalam mobil, pria itu kembali melihat ke arah cafe di mana hanya dibatasi oleh dinding kaca, dia bisa melihat keberadaan istrinya dan juga punggung Indira dan juga Dhafi.
"Sial, benar-benar kurang ajar Dhafi, beraninya ikut campur urusanku!"
Latif terus berpikir, bagaimana cara untuk membalas perbuatan Dhafi. Hingga dia teringat sesuatu, pria itu pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, ini aku Latif," ucapnya.
Sementara itu di dalam cafe. Indira menahan tangisnya, sejak tadi Dhafi begitu membelanya. Gadis itu menatap pada tangan Dhafi yang mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. Indira tahu, gerakan itu untuk membuat dia sedikit lebih tenang.
"Baguslah kalau kalian memang sedang pacaran, aku tahu suamiku pasti belum mau melepasmu, tapi aku harap setelah ini, dia sadar!" ucap Winda.
Sampai wanita itu mendapatkan telepon, Winda pun segera menjawab panggilan teleponnya. "Halo, oh iya, iya saya segera pulang!"
Kemudian Winda mengakhiri panggilan teleponnya dan kembali menatap pada Dhafi dan Indira. "Anak saya menangis di rumah, maaf ya jika aku sudah mengganggu waktu kalian, tapi setidaknya aku sedikit lebih tenang sekarang."
"Karena sejujurnya aku merasa tidak enak pada dokter Affan."
"Maaf Mbak, aku yang harusnya minta maaf, aku tidak enak, padahal sejak awal aku tahu kalau Mas Latif punya istri," ucap Indira.
Winda pun memaksakan senyumnya. "Hmm, aku tahu, Mas Latif pasti bilang kalau kami akan segera bercerai, begitu kan?" tanya Winda dan Indira menganggukan kepalanya.
"Asal kamu tau, dia sudah biasa melakukan itu, kamu hanya terlalu polos sampai percaya. Aku tahu kamu tidak ada maksud."
Kemudian Winda menatap pada Dhafi. "Kamu beruntung karena kamu mempunyai kakak seperti Affan dan juga ada orang seperti Dhafi di sampingmu, jadikan ini pelajaran untuk lebih berhati-hati lagi di kemudian hari."
Setelah mengatakan itu, Winda pun bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, aku permisi. Dan sekali lagi aku minta maaf dan terima kasih."
Kemudian Winda pergi meninggalkan Cafe.
Indira menghela napasnya panjang. "Lega," gumamnya lirih.
Dhafi pun demikian, setelah menghela napasnya, pria itu segera melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Indira membuat Indira terkejut dan merasa kehilangan.
"Sekarang sudah jelas semuanya, tidak baik juga menutupi bangkai karena lama-lama pasti akan tercium baunyax jadi lebih baik jujur seperti tadi," ujar Dhafi.
"Ya meskipun aku tahu kamu pasti malu."
Indira memaksakan senyumnya. "Tidak apa, lebih baik malu sekarang dari pada harus malu seumur hidup seperti almarhumah ibuku," ucapnya.
"Em, terima kasih ya Mas."
"Oh, Dira soal tadi jangan dipikirkan. Anggap saja itu hanya sekedar untuk membuat Winda percaya," ujar Dhafi.
Indira mengerutkan keningnya. "Em, yang tadi yang mana Mas?" tanya Indira sedikit bingung.
Dhafi tidak menjawab, pria itu segera berdiri. "Kamu masih ada satu jam kuliah, bukan? Ayo aku antar ke kampus lagi," ujar Dhafi.
"Aku mau pulang saja," ucap Indira.
"Apa, masih ada waktu satu jam kuliah, kan?" tanya Dhafi.
Indira menggeleng. "Aku sudah nggak mood kuliah, aku mau pulang aja." Indira berusaha menolak.
Dhafi pun berdecak kesal. "Baiklah, karena kau tadi tidak ikut kelasku, aku akan berikan tugas tambahan untukmu! Ayo aku antar pulang!"
"Apa, tugas tambahan?" tanya Indira.
"Hmm, ayo aku antar pulang!" Dhafi berjalan mendahului Indira.
Sementara Indira langsung mengambil tasnya dan dia pun keluar dari Cafe mengikuti Dhafi. Tetapi pikiran gadis itu terus tertuju pada apa yang dikatakan oleh Dhafi tadi tentang pengakuan bahwa mereka sedang pacaran. Namun segera diralat begitu mereka hanya tinggal, berdua. Indira mengerti soal itu.
'Kenapa aku merasa sedikit kecewa, padahal memang sudah seharusnya begitu, kan?' batin Indira.
"Ahh!" Indira merintih karena tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang. Dhafi tiba-tiba berhenti di depannya. "ada apa?"
Dhafi tak menjawab, pria itu terdiam sambil menatap pada ponselnya, alisnya mengerut membuat Indira penasaran.
"Ada apa Mas?" tanya Indira sekali lagi.
Namun Dhafi tak menjawab, pria itu hanya menghela napasnya, lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana yang dia kenakan.
"Ayo!" ucap Dhafi yang kembali melanjutkan langkahnya.
Indira mendengus kesal, Dhafi benar-benar dingin sikapnya membuat dia kadang merasa tidak nyaman. Berbeda dengan Latif yang begitu take action di depannya membuat dia merasa nyaman dan merasa diperhatikan dengan penuh kasih sayang.
Sepanjang perjalanan ke rumahnya, berkali-kali Indira melirik pada Dhafi yang terus saja diam sejak tadi.
Indira terbatuk, dia ingin membuka obrolan. Tapi bingung mau memulai dari mana.
"Kenapa?" tanya Dhafi sesekali melihat ke arah Indira.
"Oh, em itu ...," ucap Indira ragu.
"Apa? Tanya saja!" ujar Dhafi.
Indira menghela napasnya perlahan, lalu dia meyakinkan dirinya untuk bertanya, "Emang bener ya, kalau Mas Dhafi gak suka perempuan?" tanya Indira.
Dhafi mengerutkan keningnya. "Hmm, ya aku benci perempuan!"
Mata Indira langsung membulat. "Kalau benci, kenapa cium aku kemarin? Mas tau gak, itu aib buatku. Ciuman pertamaku diambil oleh seorang gay!"
Mendengar itu Dhafi langsung menghentikan mobilnya membuat Indira hampir membentur dashboard di depannya. "Ah ...," rintih gadis itu.
"Apa yang Mas lakukan?" tanya Indira.
Belum sempat Dhafi menjawab, suara klakson di belakangnya saling bersautan. "Astaghfirullah," ucap Dhafi penuh sesal, hampir saja dia mencelakai banyak orang.
"Lihat, Mas bikin jalanan kacau!" ujar Indira.
Dhafi menghela napasnya perlahan, lalu kembali menjalankan mobilnya. "Kenapa kamu bisa berpikir aku gay?" tanya Dhafi sedikit tidak terima.
Indira mengernyit. "Tadi Mas bilang Mas benci perempuan, kan? Terus, yang aku lihat Mas dekat banget sama Mas Affan, mungkin aja kan Mas Dhafi sebenernya suka sama Mas Affan."
"Apa?" Dhafi berdecak. "itu bukan berarti aku suka laki-laki." Dhafi benar-benar tak habis pikir dengan dugaan Indira padanya. Dia, gay? Apa lagi dengan Affan.
"Astaghfirullah Dira, bisa-bisanya kamu berpikiran seperti itu hanya karena dengar aku benci perempuan?" Pria itu menggelengkan kepalanya.
"Beneran?" tanya Indira tak percaya.
Dhafi memelankan mobilnya dan menepi hingga berhenti. Lalu dia menghela napasnya panjang. "Kamu mau aku membuktikan kalau aku bukan gay?" tanya Dhafi.
Dhafi lalu melepaskan sabuk pengamannya, dan pria itu langsung mendekati Indira membuat gadis itu terkejut.
"Mas, Mas Dhafi mau apa?" tanya Indira yang seketika merasakan jantungnya berdebar cepat.
"Menurutmu, aku mau apa?" tanya Dhafi, satu alis pria itu terangkat dan bibirnya menyeringai.