3. Hubungan Haram

1074 Words
"Bagaimana apa bayinya sudah lahir?" Dhafi bertanya pada Affan, tadi dia mendapat telepon dari sahabatnya, Affan alias kakak Indira yang menginfokan jika istri sahabatnya itu tengah melahirkan. "Ya sudah, hanya bayinya masih di NICU," jawab Affan, dia melirik pada Indira yang datang bersama Dhafi dan saat ini sedang memeluk Mama Herlina. "Terima kasih ya Dhaf, sudah bantu menjaga Dira," ucap Affan dan Dhafi hanya mengangguk, dia melihat ke arah Indira sesaat sebelum fokus pada Affan kembali. "kamu fokus saja dengan anak dan istrimu, soal Indira, aku akan bantu, yah anggap saja dia adikku juga." Affan menghela napasnya panjang, dia sedikit lega. "Terima kasih ya Dhaf," ucapnya, sebenarnya dia berharap Dhafi mau memenuhi permintaannya kemarin, tapi dia tidak bisa memaksa. Setelah melihat keadaan Raihanah, istri Affan. Dhafi mengajak Indira pulang bersamanya. "Mau makan? Kita belum sempat sarapan," ajak Dhafi. Saat ini dia berada di mobil bersama Indira. Rencananya Dhafi akan mengantar Indira pulang ke rumahnya. "Nggak, aku gak lapar," ucap Indira yang tidak sejalan dengan suara yang berasal dari perutnya. Mendengar itu, Dhafi pun sedikit tertawa dan tawa kecil Dhafi menarik perhatian gadis di sebelahnya. "A-apa itu lucu?" Indira kesal dengan respon pria di sampingnya. "Tidak, hanya saja, perutmu lebih jujur dari pada pikiranmu," ujar Dhafi. Tidak ada perdebatan lagi setelah itu sampai Dhafi menghentikan mobilnya di depan sebuah resto atau warung makan ala Sunda. "Kamu doyan masakan sunda?" tanya pria itu. "Hmm, apa aja selagi halal," jawab Indira. "Halal?" Dhafi sedikit menyeringai. "rupanya kamu masih tahu perkara halal dan haram." Alis Indira mengernyit. "Maksudmu?" tanya gadis itu. Sambil melepas sabuk pengamannya, Dhafi menjawab, "Kamu tidak lupa, kan? Halal dan Haram itu, bukan hanya soal makanan." Pria itu kemudian keluar dari mobilnya. Dhafi meninggalkan Indira yang terdiam, gadis itu merasa tersindir dari apa yang Dhafi ucapkan tadi. Jelas dosen tampan itu menyindir hubungannya dengan Latif. Hingga kaca jendela di sampingnya diketuk dari luar. "Ayo makan!" seru Dhafi. Indira menghela napasnya panjang, lalu melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil mengikuti Dhafi. "Pesan apa?" tanya Dhafi begitu mereka duduk di resto. "Apa saja," jawab Indira, gadis itu sibuk melihat ke sekelilingnya. "Hm, kalau begitu pesan ...." Indira tak memperhatikan apa saja yang di pesan Dhafi. Gadis itu teringat dengan tempat itu. Dia pernah makan di sana bersama Latif. Latif, pria pertama yang dia kenal saat dia baru datang ke Jakarta. Melalui Latif, dia mengetahui banyak hal tentang Affan dan ibunya, orang yang diinginkan Almarhumah ibunya untuk menjaganya. Latif juga yang meyakinkan dirinya kalau Affan dan Mama Herlina orang baik. Pasti mau memaafkan kesalahan almarhumah ibunya di masa lalu dan menerima dirinya sebagai bagian keluarga mereka. Latif yang dewasa membuat dia nyaman dan perlahan jatuh cinta. Meski dia tahu, Latif pria beristri. Tetapi Latif bilang padanya jika hubungan pria itu dengan istrinya tidak harmonis dan diambang perceraian. Nyatanya, semua mungkin kebohongan Latif atau saat dia dan Affan bertemu di restoran dengan Latif dan istri serta anaknya, mereka baru saja memutuskan untuk rujuk. 'Tapi, kenapa Mas Latif meminta bertemu denganku kemarin, dia juga bilang masih cinta sama aku.' Dhafi memperhatikan Indira yang tampak melamun. "Apa mikirin Latif?" tanya pria 35 tahun itu. "Dira, Latif, dari kami lima bersahabat, dia orang yang paling pandai menarik hati perempuan," ujar Dhafi. Indira menatap pada Dhafi. "Maksudmu, dia playboy?" "Hmm, mungkin bisa dibilang begitu," ujarnya. "Latif dan Winda menikah setelah Winda hamil, itu saja yang aku katakan." Kemudian pesanan datang, Dhafi mulai menikmati sarapannya yang terlambat sementara Indira, masih sibuk mencerna kata-kata pria di depannya. Beberapa saat menikmati makananya, Dhafi melirik pada Indira. "Kenapa melamun? Makan dulu," ujarnya. Indira menatap pada Dhafi. "Menurutmu, apa Mas Latif dan istrinya akan bercerai?" Dhafi yang baru mengunyah makanan pun menggeleng, lalu setelah menelan makanan, dia menjawab, "Tidak akan, usaha dia semua yang modalin keluarga istrinya." Dhafi menghela napasnya. "Dira, aku katakan demi kebaikanmu. Sudahi hubungan tak baik itu, kamu, Affan, istri Affan, kalian korban dari hadirnya orang ketiga dalam pernikahan, kamu yang paling tahu rasanya." "Setidaknya kasihani anak mereka agar tidak bernasib sama sepertimu." Dhafi kemudian melanjutkan makannya. "Makanlah, masih banyak waktu untuk berpikir dan menimbang baik buruknya." "Oh, em iya." Indira pun menurut, dia memulai makannya. "Dhafi." Indira dan Dhafi yang tengah menikmati santapannya menoleh. Winda, istri Latif berada di samping meja mereka. "Winda," ucap Dhafi sedikit cemas, dia melirik pada Indira yang terlihat tegang. "Em ini Dira, kan ya? Adiknya Affan?" tanya Winda. "wah, apa akan ada undangan aku terima nih?" "Apa?" tanya Dhafi, dia sesaat bingung, lalu menatap pada Indira yang terlihat pucat. "em, apa kau sendiri Win?" tanya Dhafi berusaha mengalihkan perhatian. "Em, semalam ...?" tanya Dhafi ragu dan cemas. "Oh, itu kami baik-baik aja, aku nunggu sampai tengah malam gak ada yang dateng, Mas Latif juga bilang dia cuma ingin istirahat di sana karena lelah, aku yang cemburuan," jawab Winda, dia melihat ke sekelilingnya. "Ya udah Mas Dhafi, aku ke sana dulu ya, mau ketemu klien." "Oh ya." Dhafi menghela napasnya perlahan, lalu setelah Winda menjauh, dia menatap kembali pada Indira. "kamu lihat? Latif masih takut kehilangan Winda. Kamu, cuma mainan Latif saja." "Dira, demi kebaikanmu, akhiri hubungan harammu itu dengan Latif." Indira menunduk, dia menangis dan semakin terisak. "Aku ke toilet dulu Mas." Gadis itu bangkit lalu pergi ke toilet. Di dalam toilet, Indira mencuci wajahnya. Dia harus bisa meredam kecewanya. Cerita Dhafi juga apa yang dia dengar dari Winda tadi semakin menyadarkan dia akan siapa Latif sebenarnya. Indira lalu mengambil ponselnya, membaca beberapa pesan dari Latif sejak tadi pagi yang belum dia balas. Di semua pesan itu Latif mengatakan kalau laki-laki itu sangat mencintainya dan meminta dia bersabar untuk waktu sampai Latif bisa menceraikan isterinya. "Kamu menangis?" Indira terkejut, Winda di sampingnya dan mencuci tangannya. Buru-buru dia menyimpan ponselnya. "Dhafi itu pria yang baik. Aku yakin kamu akan bahagia bersamanya," ujar Winda membuat Indira mengernyitkan dahinya. "Dhafi, kakakmu Affan. Mereka pria yang baik. Entah kenapa orang seperti suamiku bisa berteman baik dengan mereka." Winda kemudian mengeringkan tangannya, dia menghadap pada Indira dan mengusap bahunya. "Dengar nasihatku, menikah itu pasti berharap sekali seumur hidup, jangan sia-siakan orang seperti Dhafi." Setelah mengatakan itu, Winda keluar dari toilet. Meninggalkan Indira yang tengah kebingungan, mencoba memaknai apa yang Winda katakan padanya. "Apa dia kira, aku dan Mas Dhafi punya hubungan?" Indira pun berpikir tentang kebaikan pria bernama Dhafi. "Hm, dia memang baik." Indira tersenyum tipis mengingat pertemuan pertamanya dengan Dhafi malam itu. "Apa dia ingat ya dengan pertemuan pertama kami? Atau jangan-jangan cuma aku yang mengingatnya?" Indira menggeleng. "Mikir apa sih Dira?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD