Aku masih terisak dengan segala kepedihan yang mendera. Memori otakku berputar, mengingat kejadian-kejadian yang telah berlalu. Betapa berat perjuangan yang kami lalui bersama. Meskipun sebagian keluarga besar Mas Agam menganggap aku adalah orang yang sangat beruntung mendapatkannya yang sudah menjadi PNS bahkan semenjak belum menikah denganku, namun,mereka tak pernah tahu, berjalannya roda ekonomi kami, juga ada jerih payahku di dalamnya. Namun kini kutersadar, hanya aku yang berjuang. Ia tidak.
"Mbak Nia seneng ya, punya suami Mas Agam. Gajinya sebulan lima jutaan kan mbak? Belum lagi sertifikasinya yang keluar tiga bulan sekali. Wah, kalau aku mah bakalan gonta ganti gelang sama kalung, mbak." Teringat kata-kata Dina, adik sepupu Mas Agam yang suka berpenampilan glamour, kala itu.
Aku hanya tersenyum, menanggapi pernyataannya. Tak kubantah, maupun mengiyakan. Sekali lagi, karena menjaga marwah suami. Andai mengatakan yang sebenarnya-pun, akankah mereka percaya demgan ceritaku? Yang harus ikut serta membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga? Mengingat sosok Mas Agam begitu disanjung akan kebaikan serta sikap peduli yang tinggi terhadap sanak familinya.
Dada ini terasa semakin sesak. Namun, segera ku menguasai diri. Aku harus mencari tahu, kemana uang Mas Agam yang selama ini ia sembunyikan dari aku. Pada siapa ia berikan? Dan aku tidak bisa menghadapi ini semua dengan emosi. Karena akan berakibat fatal. Lagi-lagi, omongan keluarganya yang aku takutkan. Jujur, selama ini orangtua serta kakak perempuan sekaligus kakak satu-satunya itu, mereka sering mengeluarkan kata maupun kalimat yang sedikit menggores relung hati. Tapi, tak pernah sekalipun mulut ini membalas omongan mereka karena aku takut. Bagaimana-pun, mereka semua adalah orangtua yang harus selalu aku hormati. Dari rahim ibunya-lah suamiku dilahirkan
"Biarkan Agam pulang kesini. Kasihan kalau harus jauh-jauh pulang ke rumahmu. Aku mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatannya. Tiap hari kalau harus berkendara lama selama empat jam pulangbpergi, kan kasihan sekali. Aku tidak tega. Cukuplah seminggu sekali ia mengunjungimu." Ucapan Mbak Eka, kakak Mas Agam, masih selalu terngiang di kepalaku. Entah aku yang terlalu perasa atau memang ucapan itu terlalu menusuk. Hingga ada sesuatu yang sepertinya menghunus ulu hati ini.
"Tapi kan aku lagi hamil, mbak?"
"Lhoh, apa hubungannya hamil demgan kepulangan Agam? Aku saja yang ditinggal merantau ke Kalimantan tidak masalah. Suamiku malah belum tentu pulang setahun sekali."
Salahkah bila dalam keadaan hamil, aku ingin selalu bersama suami?
"Mbak Eka itu baik dek. Sayang sekali sama Mas. Makanya dia berbicara seperti itu. Udah, gak papa. Jangan dipikirkan, ya? Yang penting kan, Mas pulang gak sampai seminggu sekali dek. Paling tiga hari di rumah ibu. Jangan sedih, ya? Ibu hamil gak boleh tertekan. Dibuat bahagia aja. Ya, sayang?" Begitu jawaban Mas Agam saat aku mengadu perihal Mbak Eka.
"Mas kenapa gak pindah saja? Cari yang dekat sini. Toh kan, Mas pulang ke rumah Ibu juga perjalanan hampir satu jam kan? Yah, memang, suamiku mengajar bukan di daerah tempat tinggal ibunya. Bila ke sana, ia harus berekendara ke arah timur. Sedangkan bila pulang ke rumahku berlawanan arah, ke arah barat. Aneh bukan?
"Mas sudah nyaman dek, sama teman-teman di sana. Mas takut, bila pindah gak nemu yang klop seperti mereka. Dan kalau dipikir, ya tetep deket ke rumah ibu kan?"
"Kalau gitu, aku ikut ke sana ya mas? Aku ingin selalu berada bersama Mas setiap hari. Kan aku sedang hamil mas," pintaku merajuk.
"Aduh, jangan sayang! Kamu harus ngajar, kan? Nanti kalau kamu keluar, ada yang gantiin kamu, gimana?" Akhirnya, aku hanya bisa pasrah pada keadaan.
Kepulangan si sulung, Dinta dari sekolah membuatku tersadar dari segala lamunan. Dia terlihat kaget melihat mataku sembab.
"Ibu kenapa? Habis nangis?"
"Iya, sayang, tadi habis baca n****+ online, ceritanya sedih banget," jawabku berbohong. Bagaimanapun keadaanku, aku tak ingin ia yang masih berusia tujuh tahun harus mengerti bebanku.
Dinta masuk ke kamarnya. Berganti baju, lantas makan. Setelahnya terdengar langkah kaki sang adik, Danis, yang baru pulang dari bermain. Ia berlari memelukku. Kebiasaan itu suka dilakukannya saat masuk ke dalam rumah. Kudekap erat tubuh mungil itu. Usianya baru genap empat tahun, bulan lalu. Ia menjadi anak kesayangan Mas Agam.
***
Hari ini, jadwal Mas Agam pulang ke rumahku. Iya rumahku. Karena rumah ini diberikan oleh orangtuaku. Mereka memberikan rumah ini saat Dinta berumur satu tahun. Jarak dengan tempat tinggal Ibu dan Bapak hanya lima ratus meter.
Aku tidak langsung menanyakan perihal buku rekening yang kutemukan tadi siang. Menunggu saat yang tepat, saat kami berdua saja.
Setelah anak-anak tertidur, kami berdua tengah menonton televisi, barulah aku menyusun bahasa untuk memulai menanyakan tentang gajinya. Lebih tepatnya menginterogasi.
"Mas, saat bersih-bersih tadi siang, aku menemukan ini." Kuberikan buku rekening miliknya. Buku tersebut sebelumnya kusimpan di bawah kasur yang sengaja digunakan saat anak-anak menonton tivi. Wajah Mas Agam terlihat pucat. Tangan bergetar saat memegang benda berharga miliknya itu.
"Ka kamu nemu dimana dek? Ka kamu udah buka isinya?" tanyanya dengan nada terbata-bata.
"Di dalam buku pelajaran matematika. Sudah ...," jawabku santai.
"Kenapa Mas? Kenapa kamu pucat seperti itu? Apa karena isi dalam buku itu berbeda dengan yang kamu ceritakan padaku?" tanyaku kemudian sembari menatap tajam matanya.
"Tega kamu, Mas! Aku seperti kamu paksa untuk berjuang sendiri demi menghidupi keluarga kita. Sekarang aku tanya, kemana uang kamu yang lain?"
Ia diam tidak menjawab. Terlihat tetunduk kepalanya. Sembari memainkan kuku-kukunya.
"Aku kasihan sama Ibu, Dek ...," jawabnya lirih setelah sekian lama.
Kuhembuskan nafas dengan kasar. Lalu mencoba menetralisir gemuruh dalam d**a dengan menarik nafas kembali secara pelan-pelan.
"Sebagian uang sertifikasi juga?" Ia mengangguk.
"Begini Dek, Mas kan menjadi PNS karena jasa Ibu. Kamu kan dapat senengnya, Dek. Sedang Ibu berjuang agar Mas bisa sekolah. Hingga sampai di titik ini. Kamu harus bisa nerima dong. Jangan egois gitu lah. Kamu seharusnya bersyukur. Dapat laki-laki mapan kayak aku. Hidupmu terjamin, " jelasnya terdengar agak ketus.
What??? Beruntung karena hidupku terjamin?
"Kalau hidupku twrjamin, aku harusnya tak perlu susah payah jualan ini itu dong, Mas?"
"Ya, sudah nasib kamu lah, coba kamu kaya aku. Jadi abdi negara juga. Kamu gak perlu ngemis nafkah gitu sama aku. Kalau kamy harus susah payah jualan, ya, itu karena gajimu kecil. Bahkan gak tahu, kamu ngajar dapat gaji apa enggak." Netra ini tiba-tiba memanas. Suami yang selalu bertutur kata lembut, malam inu sungguh kata-katanya tajam bagai belati.
"Mas, seorang istri wajib kamu nafkahi. Uang suami, berarti uang istri juga. Sedangkan uang istri, bukan uang suami. Aku tidak melarangmu memberi uang sama Obu. Tapi tolonglah, lihat dulu keadaanku. Sementara Ibu, hidup berkecukupan bahkan berlebihan. Tidakkah bisa, kamu menukar nominal uang yang diberikan pada Ibu untukku? Karena aku lebih membutuhkan itu, Mas. Lalu uang sertifikasi yang separuh kemana?"
"Ya buat Ibu-lah. Terserah aku dong. Uang-uangku. Hasil kerjaku. Kenapa kamu yang sewot? Itu kalau kamu masih mau jadi istriku. Harus nurut."
Selepas bicara itu, dia bangkit. Masuk kamar mengambil jaket, lalu terdengar ia pergi mengendarai motornya.
Kulihat tas di meja kerjanya tidak ada. Helm juga. Sepertinya ia pergi ke rumah orang tuanya ....