ASAL USUL NAMA DENIS

1521 Words
Dengan berakhirnya masa MOS, hari-hari sekolah secara efektif telah dimulai. Tidak ada kesulitan bagi Andra dan Gilang untuk menjalani kehidupan akademis di masa SMA. Berbeda dengan mereka berdua, Denis agaknya ingin kembali ke masa TK, di mana pelajaran membaca dan berhitung masih menjadi andalan. Sekarang di masa SMA, Denis banyak mengalami kebingungan. Apalagi kelas satu SMA ini, ketika banyak angka dengan proses hitung pengakaran dan rumus-rumus aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya. “Setau gue, yang berakar cuma pohon. Sekarang angka juga berakar, ajaib.” Begitu gerutunya saat pelajaran matematika berlangsung. Ketika Denis berkata begitu, Andra hanya pura-pura tak mendengar. Toh ujung-ujungnya hampir semua pekerjaan rumah Denis akan dikerjakan pula oleh Andra, begitu juga saat ujian. Sebenarnya, di satu sisi, Andra ingin Denis berkembang dalam dunia akademisnya, tapi di sisi lain, Denis seperti bonsai dalam menghadapi dunia akademis. Bayangkan, setiap hari, tujuh jam waktu sekolah dihabiskan para siswa untuk belajar, tapi waktu berkualitas untuk Denis hanya 15 menit, yakni di waktu istirahat sekolah. Ketika bel sekolah berbunyi, bonsai yang kerdil itu kemudian tumbuh bagai kaktus di tengah gurun pasir. “Akhirnya!!” ungkapan Denis setiap bunyi bel istirahat. Di kala istirahat sekolah, Denis, Andra dan Gilang selalu berkumpul bersama. Terkadang ditambah beberapa teman seperti Erik, Abi atau Rengga tapi lebih sering mereka hanya berkumpul bertiga. Tempat favorit mereka tentu adalah kantin belakang sekolah, letaknya paling pojok, agak jauh dari ruang guru. Di situ pula Gery menghabiskan waktu istirahatnya. Tetapi jarang juga mereka duduk bersama dengan Gery di waktu istirahat sekolah. Gery memang terkadang ke kantin, terkadang tidak. Entah kemana dia waktu jam istirahat sekolah jika tak ada di kantin. Tidak ada juga yang mencarinya. Hanya sesekali, Denis lah yang selalu pertanyakan keberadaan Gery. Karena ketika bersama Gery, akan selalu ada pembicaraan mengenai musik. Gery memang memiliki pandangan luas dalam hal musik. Ia dan Denis memiliki kesamaan kegemaran dalam referensi mendengarkan musik. Pantas kalau komunikasi mereka berdua terjalin cukup akrab. Denis dan Gery sangat menyukai musik rock era 80 sampai 90an seperti Led Zeppelin, Scorpion, Nirvana, Metallica, Blink182, Genesis, Toto, Bon Jovi, Guns n’ roses, Roxette sampai Sepultura. Sementara itu Andra lebih umum dalam mendengarkan musik, tidak khusus mendengarkan genre dan jenis musik tahun tertentu. Segala jenis musik ia dengarkan, baginya penting untuk menambah pengetahuan dari berbagai sisi. Namun dari semua yang didengarkan Andra, pasti ada beberapa menjadi favoritnya. Untuk luar negeri ia sangat mengidolakan Queen, The Beatles, Maroon5, Coldplay, Muse, Radiohead, Michael Buble sebagai solois dan My Chemical Romance. Di dalam negeri, ia menyukai Dewa 19, PADI, Efek Rumah Kaca dan Kla Project. Sedangkan Gilang, meski mengetahui banyak hal tentang musik tapi ia lebih memilih menjadi pendengar dengan sesekali ikut dalam pembicaraan. Beda cerita jika berbicara mengenai buku, Gilang bisa sangat aktif menjadi pembicara bersama Andra, sedangkan Gery dan Denis memilih menjadi pemikir yang kurang baik.   Memasuki akhir bulan pertama, rutinitas seperti itu terus berlanjut. “Akhirnyaaa!!” teriakan ini bahkan sangat akrab di telinga Gilang dan Andra. Kini suara Denis lah yang menjadi pertanda jika tiba waktu istirahat dibanding bel yang berbunyi dari ruang guru. Tak butuh waktu lama, mereka bertiga menuju kantin sekolah. Di sana sudah ada Gery, menempati salah satu meja, seorang diri. Meski begitu, di belakangnya banyak berkerumun anak-anak SMA lain yang jajan di warung ibu. Tapi tak satupun berani mengusik keberadaan Gery. Berteman dengan Gery ternyata cukup bermanfaat. Minimal, tiga setangkai itu tak perlu lagi mencari meja untuk duduk di tengah padatnya kantin sekolah saat jam istirahat. “Ger, udah lama?” sapa Andra duduk di sebelah Gery dan langsung mengeluarkan handphonenya. Di GS sebenarnya dilarang membawa HP, tetapi jika sembunyi dan tidak ketahuan, larangan itu tak berlaku. Hampir semua siswa melakukan hal ini.  “Lumayan. Tadi ga ada guru ngisi jam sebelum istirahat, jadi gue di sini,” jelasnya. “Ga diomelin emang lo?” timpal Denis. “Kalau ada Pak Boris sih ya paling ditanyain. Tapi dia lagi nggak ada kayaknya.” Pak Boris adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Dibanding Bu Fera yang seorang guru BK, Pak Boris lebih rajin menertibkan siswa yang melanggar aturan sekolah. Termasuk keluar kelas di kala jam pelajaran masih berlangsung. “Den, Ndra! Mau pesan apa lo?” teriak Gilang di depan kantin ibu menanyakan pesanan pada teman-temannya. “Gue minum aja Lang, kayak biasa ya, es jeruk!” “Gue juga sama, Lang!” Denis tak mau kalah dengan Andra. “Gimana masa SMA? Asyik?” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari mulut Gery, saat Andra dan Denis sibuk melihat ke arah Gilang yang berada di dekat ibu kantin. Sontak, Andra pun menoleh, menanggapi pertanyaan Gery, “Biasa, namanya sekolah. Belum terlalu ngerasain sih gue bedanya apa sama masa SMP. Maklum baru sebulan kan Ger.” Gery terangguk mendapat jawaban dari Andra. Ia juga merasakan hal yang sama. Bahkan hingga saat ini, tidak tahu apa yang seru di masa SMA selain bermain drum dan beberapa kali bolos sekolah. Sisanya, seperti biasa, hidup dengan sedikit teman. Selesai berduaan dengan ibu kantin, Gilang pun menghampiri teman-temannya, mengambil tempat duduk di sebelah Denis. Mereka lantas terdiam, sibuk pada apa yang dilihatnya masing-masing. Andra melihat layar ponselnya, Gilang melihat ke arah warung menanti pesanan, Gery mengawasi anak-anak yang hilir mudik di kantin dan Denis menghitung berapa perempuan cantik terutama anak baru seangkatannya yang bisa dikecengin. “Eh, bokap nyokap gue lagi keluar kota nih. Baru balik besok. Kalian mau main ke rumah gue sepulang sekolah?” Andra memecah kebekuan yang sedang berlangsung antara mereka berempat. “Ayo Ndra, biasanya lo selalu berantakin rumah gue kan. Sekarang kayaknya waktu yang tepat lakukan pembalasan.” Candaan Denis itupun disambut tawa teman-teman lainnya dan menyusul satu tabokan Andra bersarang di kepalanya. Denis hanya bisa mengaduh, dan berusaha membalas, tetapi Andra berhasil berkelit. Mereka pun tertawa kembali hingga pesanan minuman datang dari ibu kantin dan keributan mereda dengan sendirinya. Lalu sambil meminum segelas es teh manis, tawaran Andra untuk berkunjung ke rumahnya disambut oleh Gilang. “Boleh Ndra. Gue kan belum kemana-mana sejak tiba di sini, gue juga mau liat-liat koleksi buku lo deh.” “Iya ya, nanti lah gue ajak lo keliling kota. Tapi ke rumah Denis dulu ya, motor gue di sana.” Mendengar kata-kata Andra, Denis kembali mengajak sahabatnya itu untuk berseteru dalam candaan. “Ehhh, ga bisa dong. Lo udah banyak nunggak biaya penitipan motor di rumah gue. Jadi itu motor gue sita sampai lo lunasin biaya penitipan.” “Oh, gitu? Gue nggak mau bayar! Dan gue pastikan lo nggak akan naik kelas tahun ini!” sungut Andra, berkacak pinggang sinis. Denis hanya terdiam, menunduk, kartu mati untuknya kalau bicara soal kenaikan kelas. Karena memang selama ini ia banyak dibantu oleh Andra. “Hahahaha!!!!!!” tawa pun meledak diantara mereka berempat. Tawa terhenti, hening sejenak sebelum Andra mengajak Gery untuk ikut gabung mengunjungi rumahnya. “Ger, lo juga ikut ya! Sekali-kali lah kita ngobrol dan main di luar sekolah!” “Mmmmm, gimana ya?” “Ayo lah Ger, bareng-bareng kita,” desak Gilang. Gery masih terdiam, berfikir, ikut tawaran teman-teman barunya itu atau seperti biasa, menikmati hidup sendiri, entah di mana. Tak lama, Gery kembali bersuara. “Tapi ada yang mau gue tanyain sebelumnya ya. Ini serius!!!” tatapan mata Gery berubah seolah ingin menerkam mereka bertiga, terutama Denis yang masih menguncup di tempat duduknya. “A..aapa Ger?” tanya Gilang gugup. “Gue penasaran, nama ‘Denis’ itu terinspirasi dari apa? Soalnya sangat dekat dengan penamaan kelamin laki-laki.” “Alat kelamin? Maksud lo?” Andra menimpali. Denis yang tadinya sedang menguncup langsung menatap ketiga teman yang menggunjingkannya. Dengan hidung kembang kempis, mata menguning dan bibir menghitam, dia berteriak. “Ngeheee lo semuaa!!!!” lalu pergi meninggalkan meja kantin menuju kelas. Kepergian Denis tidak dihalangi siapapun, malah ada tawa serempak yang mengiringi. Mereka tahu, Denis memang paling asyik diajak bercanda. Reaksinya yang berlebihan dalam menanggapi sesuatu terkadang mengundang tawa tanpa diduga. Apalagi Andra yang sudah sangat mengenal Denis. Dia hafal betul perilaku dan gelagat Denis, mulai dari tidak suka akan sebuah kondisi, menahan lapar, sampai sedang kebelet buang air besar. “Hahaha.... Nanti juga di kelas dia cengengesan lagi,” Andra berusaha meyakinkan teman-temannya yang mulai merasa bersalah kalau-kalau Denis benar marah pada mereka, meskipun masih mentertawainya. Denis yang gempal, kalau sedang bereaksi marah begitu memang menggemaskan. Sedangkan Gery, pria yang tak biasa terlihat tertawa lepas, kini bersama tiga setangkai dapat menunjukkan keriangannya sebagai manusia. “Hehehehe.... Sorry ya gue berlebihan.” “Santai, Ger. Denis itu manusia paling nikmat buat jadi bahan candaan. Kalau segitu mah belum berlebihan,” ujar Andra. Obrolan pun kembali membahas rencana mereka untuk singgah ke rumah Andra sepulang sekolah. Gery mengamini ajakan Andra. “Eh, nanti gue nyusul aja ya ke rumah lo Ndra. Agak sorean lah.” “Boleh Ger. Gue kirim alamat rumah gue ke nomor lo ya.” “Oke!” Bel sekolah tanda istirahat telah usai pun berbunyi. Andra dan Gilang beranjak untuk ke kelas. Begitu juga Gery. Di kelas, Denis sedang bercanda dengan Rere. Mereka memang sudah sangat akrab. Melihat Andra serta Gilang memasuki pintu kelas, Denis cengengesan. Ketika saling berdekatan, Denis berbisik pelan pada Gilang dan Andra, “apa iya ya nama gue terinspirasi dari......?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD