Keraguan

1642 Words
Salah satu rumah sederhana dengan pagar bercat putih yang berdiri di area komplek kepolisian adalah milik kediaman seorang gadis yang baru turun dari sebuah mobil taksi online. Fredella Adeeva Ulani, alias Della. Gadis yang baru saja mengalami sebuah peristiwa buruk di sepanjang hidupnya. Ia dilecehkan oleh sekumpulan pria muda yang tidak dikenal. Mungkin ada satu atau dua orang yang sepertinya familiar, tetapi tetap saja Della tidak mengenali mereka, dan mengapa ia diincar juga dibawa serta. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam ketika gadis itu sampai di kediamannya. Perasaan was-was karena pulang terlambat seperti hilang, kalah jauh dibanding rasa sakit yang jiwanya rasakan sekarang. Penampilannya tidak baik. Pakaiannya tampak berantakan dengan kotoran di sekujur tubuh. Bahkan, ia tak mampu menahan isak tangis yang terus mengeluarkan air mata meski sudah berusaha untuk menghentikannya sejak ia ditinggalkan di rumah kosong itu sendirian. ‘Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Ini sangat menjijikan. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku dalam kondisi seperti ini?’ batin Della terus menahan rasa nyeri di hatinya. Bayangan tentang aksi b***t yang Naufal dan kawan-kawannya lakukan kepadanya, masih terus berseliweran di dalam benaknya. Bahkan malam yang terlihat mendung, tetapi tak kunjung turun hujan seolah mendukung suasana hati yang Della alami saat ini. Sudah sepuluh menit mobil taksi yang ia tumpangi berlalu pergi, tetapi gadis itu masih berdiri di depan pagar, enggan masuk karena langkahnya yang seperti terhenti tanpa ia minta. Mengingat wajah kedua orang tuanya. Ayahnya yang seorang perwira polisi, sungguh akan tercoreng wajahnya karena peristiwa yang baru ia alami. Ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga, pasti akan malu dan terhina bila peristiwa yang terjadi padanya diketahui oleh orang banyak. Bayangan akan cemoohan tetangga yang membicarakannya, akan berdampak pada kondisi keluarganya, terutama sang ibu yang amat dekat dan akrab dengan para warga di komplek perumahan. Suara petir yang tiba-tiba menyambar bumi, membuat Della terkejut dan akhirnya memutuskan untuk bergegas masuk ke rumah. Pintu gerbang rumahnya belum dikunci. Dengan mudah ia bisa membuka dan kemudian masuk ke garasi rumahnya yang kecil. Sebuah mobil menjadi benda pertama yang menghalangi langkahnya menuju pintu rumah. Berjalan gontai, akhirnya Della berhasil berdiri di depan papan tebal berwarna coklat tua tersebut. Dengan sedikit terburu-buru, ia pun mencoba menghapus bekas air mata yang membekas di kedua pipinya. Mengkondisikan emosinya supaya wajahnya bisa terlihat netral saat bertemu siapa pun di dalam nanti. Ketika Della merasa sudah siap, perlahan ia mengangkat tangannya untuk memegang handle pintu. Tapi ternyata, ada orang yang membukanya dari dalam. “Della!” seru seorang laki-laki paruh baya yang terlihat lega karena sang putrinya akhirnya pulang. “Ayah. Maaf, aku pulang terlambat.” Dengan lancar gadis itu bicara. Seolah tak ada rasa takut jika keberadaannya sekarang akan membuat sang kepala keluarga marah besar. Batas pulang rumah adalah jam sembilan bila ia sedang kuliah. Tapi, kalau hari libur ada sedikit pengecualian, yakni jam sepuluh malam. Tapi, hari ini adalah masa aktif belajar. Seharusnya ia pulang sampai rumah sebelum jam sembilan, nyatanya jam di dinding —tepat di belakang tubuh sang ayah, menunjukkan hampir pukul setengah dua belas. “Ada apa, Della? Kamu terlihat tidak baik,” kata sang ayah yang ternyata tidak marah sama sekali ketika melihat sosok sang putri berada di depannya. Justru ia khawatir karena putrinya lama tak pulang. Gadis itu hanya menggeleng. Senyum tipis di bibirnya ia paksa hadir. Menggaris sedikit naik di sudutnya, tampak sekali dipaksakan. “Enggak ada, Yah.” Setelah bicara demikian, gadis itu berjalan melewati sang ayah, masuk ke ruang tamu lalu berjalan ke dalam. Langkahnya pelan, bisa dengan jelas ayahnya lihat. Laki-laki itu tampak begitu khawatir dan cemas demi melihat keadaan putrinya tersebut. Ayah Della itu kemudian melihat ke luar rumah sebelum kembali menutup pintu, mencoba mengamati apa yang terjadi di luar. Kalau-kalau ada yang bersama Della ketika tiba di rumah tadi. Namun, suasana di luar tampak sepi dan sunyi. Yang ada gerimis mulai turun disertai kelebat petir yang sekejap menerangi semesta. Tak ada siapa pun yang ada di luar rumah, menandakan jika Della pulang sendirian. Begitu ayah Della kembali masuk, sosok sang putri sudah tak ada di ruang dalam. Kemungkinan besar gadis itu sudah masuk ke kamarnya. Tak lama, sang istri keluar dari kamar ketika ia akan mengetuk pintu kamar Della. “Della sudah pulang, Yah?” tanya wanita yang terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. “Sudah, Bu. Baru saja. Tapi ...?” “Tapi apa?” Sang istri mulai terlihat khawatir. Dilihatnya wajah cemas suaminya yang tampak lelah menunggu sang putri pulang. “Tapi, Ayah melihat wajah Della yang murung. Ia seperti habis menangis.” “Benarkah?” tanya istrinya lagi seraya melangkah mendekat dan mencoba untuk mengetuk pintu kamar anaknya itu. Ayah Della mengangguk. Ekspresi cemas itu masih terlihat, membuat sang istri akhirnya benar-benar mengetuk pintu di depannya. “Del! Della!” panggil ibu Della dari luar. Di saat Della masih belum membuka pintu untuk ibunya, di tempat lain —tepatnya di salah satu kelab malam ibukota, tampak sekumpulan pria yang terlihat bersenang-senang menikmati malam yang panjang. Malam yang kini diwarnai derasnya air hujan yang membasahi bumi, tetapi tak mempengaruhi kebahagiaan empat orang laki-laki yang beberapa waktu lalu memutuskan untuk pulang ke kediaman masing-masing. Ya, Naufal dan kawan-kawannya. Ada Daniel, Rafael, dan Heri. Keempatnya terlihat menikmati pesta kecil-kecilan dengan menenggak minuman beralkohol setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Bersulang untuk kita malam ini!” seru Naufal, orang yang paling bahagia malam itu. Keseruan yang tampak di wajah Naufal direspon sama oleh ketiga temannya. “Bersulang!” Kompak ketiga pria yang beberapa waktu sebelumnya masih dilanda ketakutan setelah melakukan hal tidak terpuji pada seorang gadis. “Usulan kamu untuk kita minum ternyata ide yang paling cemerlang,” imbuh Naufal sembari melihat Daniel di sebelahnya. Daniel yang disinggung oleh Naufal, terlihat bangga ketika idenya diakui. “Ya ... aku yakin kalau kita tak akan pernah tenang kalau memutuskan untuk pulang. Cara satu-satunya adalah melupakan semua yang terjadi dengan minum dan pastinya melihat pemandangan indah dari keseksian tubuh perempuan,” ujar Daniel tertawa puas. Baik Naufal, Heri, atau Rafael, mau tak mau harus setuju dengan usulan sang kawan. Sebab ketegangan serta perasaan takut yang sebelumnya mereka rasakan, kini perlahan hilang setelah mereka masuk ke tempat hiburan malam tersebut. “Setidaknya kita sudah menyelesaikan rencana yang Naufal buat. Setelahnya, itu akan menjadi urusan Naufal sebab jujur saja aku tidak mau terlibat,” ucap Rafael sekarang. Naufal sontak mendelik kesal ke temannya itu. “Sejak kapan kamu jadi pria pengecut?” tanya Naufal ketus. Dua temannya yang lain ikut melirik pada Rafael. “Ehm, mungkin sejak kamu tidak memiliki empati untuk membantu gadis tadi keluar dari rumah kosong itu.” Seketika ada tawa yang tampak di wajah Naufal saat mendengar ucapan Rafael. “Hei! Bukankah itu bagus untuk kita. Kalau perempuan itu tak bisa keluar dari rumah tersebut karena para penghuninya terganggu, itu berarti kita bebas dari perbuatan tadi bukan? Tak akan ada orang yang mencari kita,” sahut Naufal senang. Daniel dan Heri mengangguk setuju. Jujur saja mereka berdua juga khawatir kalau sampai gadis tadi melaporkan mereka ke pihak yang berwajib. Ya ... meskipun Naufal sudah mengancamnya akan menyebar video yang sudah mereka rekam, tapi tetap saja bila gadis itu nekat maka keempatnya tak akan selamat dari jeratan hukum atas kasus pelecehan, perbuatan tidak menyenangkan, atau pasal lainnya yang pasti akan memberatkan. “Bagaimana kalau perempuan itu melaporkan perbuatan kita ke polisi?” tanya Rafael, membicarakan kemungkinan terburuk yang akan menimpa mereka. Perlahan Naufal kembali menenggak minumannya. Lalu, meletakkan kembali gelas pendek yang berisi air —berwarna coklat sedikit bening dengan tiga buah batu es di dalamnya, ke atas meja. “Perempuan itu sudah aku ancam dengan video yang akan tersebar di semua sosial media. Tidak mungkin ia nekat melakukan hal yang akan membuatnya malu itu.” Naufal terlihat penuh percaya diri. “Tapi, kenapa kamu tega membiarkan perempuan itu di sana?” “Ck, Raf, bukankah sudah aku katakan, akan menjadi keberuntungan kita kalau sampai perempuan itu tidak bisa keluar dari rumah itu. Lagian aneh deh, bukannya tadi kamu, yah, yang nawarin pertama kali rumah kosong itu untuk dijadikan tempat eksekusi kita? Kok sekarang malah kamu yang ribet sendiri sih!” Naufal terlihat kesal dengan sikap sang kawan yang plin plan. “Apa jangan-jangan kamu ada hati sama perempuan itu, Raf?” Kali ini giliran Daniel yang bersuara. Seketika Rafael pun memutar bola matanya jengah. “Aku simpati bukan berarti jatuh hati, Dan! Aku Cuma bayangin kalau posisi perempuan tadi adalah adik kita sendiri, gimana?” Daniel tak lagi merespon. Apa yang dikatakan Rafael memang ada benarnya. Tapi, kejahatan yang keempatnya lakukan, seharusnya tidak harus berakhir dengan penyesalan yang hanya terjadi dalam hitungan menit kan? Sikap ego itu yang kemudian muncul di hati Daniel setelah Naufal merespon ucapan Rafael. “Aku anak tunggal. Jadi, sorry to say, aku enggak bisa bayangin apa yang kamu bayangin, Raf.” Seketika suasana pun hening. Naufal yang memilih kembali menenggak minuman, ditemani Daniel yang juga mencoba melupakan perbuatan buruk mereka kepada Della. Lain lagi Heri yang kini melirik pada Rafael. Lelaki itu berusaha meyakinkan sang kawan jika tak akan terjadi apapun kepada Della setelah mereka meninggalkannya sendirian. “Kamu pernah denger ‘kan kalau Tuhan pasti akan membantu orang baik.” Rafael tidak mengerti apa yang hendak Heri katakan padanya. “Raf, anggap aja perempuan tadi itu orang baik sedangkan kita sekumpulan lelaki jahat. Nah, setan yang ada di rumah itu mungkin saja akan mengganggunya sama seperti ketika setan-setan tadi mengganggu kita. Tapi, aku sangat yakin kalau Tuhan akan melindunginya dari makhluk-makhluk tak kasat mata itu.” Meski perumpamaan yang ingin Heri sampaikan sedikit tidak nyambung dengan topik yang sedang dibahas, tapi setidaknya perasaan kesal di hati Rafael sedikit demi sedikit menguap. “Yakin deh, perempuan itu sudah berhasil keluar dari rumah kosong itu dan kembali pulang,” kata Heri semakin memberi keyakinan kepada Rafael mengenai kekhawatiran yang dirinya rasakan. “Semoga,” ucap Rafael lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD