Kunjungan

1451 Words
Kedua orang tua Naufal ternyata benar-benar datang. Mereka begitu bahagia sebab putra dan menantu mereka menyambut kedatangan mereka di bandara. Adik perempuan Naufal juga ikut sebab sekalian ingin jalan-jalan selama di Jakarta. Gadis berusia tujuh belas tahun yang baru duduk di bangku kelas dua SMA itu, terlihat bersemangat ketika sampai dan bertemu dengan Della. Entah mengapa, bukan hanya kedua orang tua Naufal saja yang menyukai Della, gadis dengan rambut sebahu itu juga terlihat menyukai kakak iparnya tersebut. “Aku minta Kak Della enggak ngampus dulu selama kami ada di sini. Ajak kami, terutama aku untuk jalan-jalan ke mall yang ada banyak di Jakarta,” ucap Nania —adik Naufal. Semua orang yang ada di dalam mobil kecuali Naufal yang duduk di balik kemudi, jelas tertawa mendengar sikap norak Nania yang sebetulnya sudah sering mengunjungi mall-mall di kota asalnya tinggal. “Norak! Kaya enggak pernah masuk mall aja,” sahut Naufal sinis. Nania yang tahu sikap Naufal kini berbeda setelah menikah dengan Della, hanya mencebik ke arah kakaknya itu. “Beda tahu! Kalau aku posting lagi di mall Jakarta, teman-teman aku pasti akan takjub lihatnya.” “Ya, iya. Itu norak namanya,” sahut Naufal lagi, yang kini tak direspon oleh Nania sebab memilih mengobrol dengan kakak iparnya. “Kak Della, aku salut loh sama kakak karena mau tinggal satu rumah sama Mas Naufal,” bisik Nania. Seketika lelaki yang namanya disebut itu memasang kuping tegak. Mendengarkan dengan jelas meski adiknya berbisik. Gosip apalagi yang akan kedua perempuan itu bicarakan tentang dirinya, begitu pikir Naufal. “Memang kenapa sama Mas Naufal, bukannya yang aku denger dari mama kalau kamu dan Mas Naufal itu deket banget, yah?” tanya Della dengan bibir tersenyum. Jarak usia di antara mereka yang tidak jauh, memang membuat keduanya mudah akrab. Sehingga obrolan apapun yang mereka ciptakan akan nyambung dan membuat Nania betah. “Iya, itu sebelum Mas Naufal nikah sama Kak Della,” jawab Nania pelan, amat pelan. Sehingga suaranya tak bisa didengar oleh orang lain kecuali Della sendiri. “Loh, memang kenapa seudah nikah sama aku? Apakah bikin kalian enggak akrab lagi sekarang?” tanya Della yang mendadak tak enak hati. Pertanyaan yang Della ucapkan juga dilakukan dengan berbisik. Ia sengaja mengimbangi ucapan yang Nania lakukan tadi. “Iya. Itu karena aku, mama, dan papa menyukai Kak Della, sedangkan Mas Naufal enggak.” Sontak hal itu membuat Della terdiam. Bukan karena ia yang tak disukai oleh Naufal, bukan. Tapi, Della merasa karena keberadaan dirinya sekarang yang membuat keluarga itu tak lagi seakrab dan sedekat dulu. “Tapi, Kak, entah kenapa aku sama mama, juga papa enggak peduli tuh sama sikap Mas Naufal yang kekanak-kanakan. Padahal kami juga tahu kalau dia sakit hati karena baru diputusin sama pacarnya.” Entah apa lagi ini. Mengapa Nania tahu mengenai hubungan yang Naufal jalin bersama Stefany, tetapi justru menganggap angin lalu atas hubungan mereka, dan malah mendukung pernikahan yang terjadi antara ia dengan putra sulung mereka itu. “Ah, sudahkah, Kak. Enggak usah dipikirin. Pokoknya aku mau happy happy di sini. Masalah Mas Naufal yang enggak suka sama pernikahan kalian, kami yakin suatu saat akan luluh dengan sikap Kak Della yang selalu memberinya perhatian. Tenang aja, mama dan papa tetap dukung Kak Della. Aku juga.” Tak tahu bagaimana Della harus menyikapi ucapan-ucapan Nania barusan. Gadis itu terlalu terbuka sehingga membuat Della bingung harus bersikap. Perjalanan menuju rumah cukup membutuhkan waktu sedikit lebih lama karena jalanan yang sedikit padat oleh kendaraan lainnya. Di saat tak ada lagi obrolan antara Della dan Nania sebab gadis itu yang terlihat takjub demi melihat pemandangan ibukota Jakarta dengan bangunan tingginya, membuat Della melamun dan mencoba mencerna kembali kejadian-kejadian apa saja yang sebelumnya ia hadapi. Dari acara mabuk yang Naufal lakukan semalam karena sakit hati setelah Stefany tak mau lagi menemuinya, hingga keluarga Naufal yang sebenarnya juga tahu perihal hubungannya dengan perempuan itu, benar-benar membuat Della tak mengerti. *** Tiga hari dua malam kedua orang tua Naufal menginap. Selama itu pula, Della dan Naufal harus berpura-pura tidur bersama dalam satu kamar. “Jangan pernah berpikir kalau aku melakukan hal ini karena mau,” ucap Naufal mewanti-wanti sejak mereka akan menjemput kedua orang tuanya di bandara. “Tidak usah khawatir. Aku juga tidak mau tidur dalam satu kamar dengan kamu. Apa yang aku lakukan kali ini hanya karena tidak mau membuat orang tua kamu tersinggung.” “Alasan!” Sikap ketus yang Naufal tunjukkan, sudah bukan hal baru bagi Della. Sikap jutek dan galak Naufal adalah makanan sehari-hari yang perempuan itu selalu terima. Sore ini keluarga Naufal akan kembali pulang. Mereka sudah cukup gembira sebab bisa menjenguk anak dan menantu yang terlihat biasa meski tampak kaku karena hubungan yang mungkin tidak berjalan sempurna. “Jaga diri kalian baik-baik. Jangan lupa terus kabar-kabari kami kalau ada apa-apa,” ucap mama Naufal sembari memeluk Della erat. Mereka berpisah di bandara. Mengantar kepergian kedua orang tua Naufal beserta adiknya yang sebenarnya masih betah di Jakarta. “Mama tahu kalau Naufal belum berubah. Tapi, Mama dan Papa yakin kalau tak lama lagi perasaan cinta akan tumbuh di hatinya untuk kamu,” ucap perempuan itu lagi yang membuat Della bengong. ‘Siapa yang mengharapkan lelaki itu menyukai aku?’ tanyanya dalam hati. “Jangan sungkan melapor apapun pada Papa, Del. Kalau Naufal berbuat macam-macam sama kamu yang bikin kamu terluka, segera bilang ke Papa. Biar Papa yang akan kasih hukuman langsung ke dia.” Mendapat pembelaan dari kedua mertuanya, siapa yang tega untuk menyakiti dua orang tua yang memiliki hati baik itu. Apalagi Della yang juga baik hatinya, lebih rela tersakiti oleh sikap Naufal yang selalu bersikap kasar padanya, dibanding harus melihat kesedihan mama dan papa mertuanya. Tapi, respon berbeda tampak pada wajah Naufal. Ia seperti dikhianati oleh keluarganya sendiri setelah mengenal Della dalam kehidupan mereka. “Sebenarnya siapa yang anak kalian sih! Kok aku kaya orang lain, yah, di sini,” ucap Naufal masih ketus. Tak ayal ucapan Naufal pun hanya direspon tawa dari keluarganya. Mereka tidak menganggap kalau Naufal sedang marah. Yang mereka tahu, sikap Naufal memang seperti itu sejak dipaksa menikahi Della. “Ya sudah, kami harus segera masuk. Kalian hati-hati di jalan!” ucap mama Naufal yang tampak akan beranjak setelah mendengar pengumuman mengenai keberangkatan jadwal pesawat yang akan membawa ia dan keluarganya kembali pulang. “Iya, Mah. Hati-hati juga buat kalian,” ucap Della kali ini. Naufal yang berdiri di sebelah Della, hanya mengangguk dengan menarik sedikit bibirnya, tersenyum. Akhirnya ketiga orang itu pun masuk ke area boarding, lalu menunggu pesawat yang akan membawa mereka terbang dalam waktu satu jam ke depan. Setelah itu, Naufal pun berbalik dan meninggalkan Della. Tak bicara satu patah kata pun, lelaki itu memilih pergi —melenggang sendirian. Della kemudian memilih menyusul. Mengejar langkah kaki Naufal yang panjang. Sedikit kesulitan karena suaminya itu berjalan lumayan cepat. Ketika keduanya sudah sampai di parkiran mobil, Naufal masih tak berkata apapun. Hingga Della dibuat bingung karena lelaki itu memintanya turun tepat ketika ia baru duduk dan hendak menutup pintu mobil. “Turun!” ucap Naufal dingin. “A-apa maksud kamu?” tanya Della tak mengerti. “Aku bilang turun. Apakah kamu tidak mengerti?” Tidak ada ekspresi yang tampak di wajah Naufal, membuat Della masih diam tak bereaksi. Sesaat kemudian Naufal menengok. Menatap wajah Della yang terlihat diam tak bersuara dengan mimik muka bingung. “Jangan sampai aku menurunkan kamu secara paksa,” ucap Naufal masih dengan ekspresi dingin dan jutek. “Naufal, aku tidak tahu. Maksud kamu ap ...!” “Aku tidak punya maksud apa-apa, tapi aku tidak ingin sama kamu saat ini setelah tiga hari yang membosankan kemarin. Jadi, lebih baik kamu turun sekarang sebelum aku benar-benar menarik kamu keluar dan menjadi tontonan banyak orang.” Della akhirnya memilih untuk turun dari mobil setelah Naufal mengusirnya keluar. “Aku naik apa?” Terlihat Naufal menyeringai, menertawakan pertanyaan Della yang menurutnya bodoh. “Aku kira kamu cukup pintar hanya untuk sekedar mencari kendaraan yang akan mengantar kamu pulang.” Setelah berkata demikian, Naufal langsung menjalankan mobilnya. Dengan laju yang cukup cepat, lelaki itu tega meninggalkan sang istri sendirian di parkiran bandara. Della bukan tidak bisa pulang ke rumah tanpa Naufal. Pertanyaan yang ia ajukan tadi hanya sebuah pancingan demi ingin tahu bagaimana reaksi lelaki itu padanya sekarang. Namun sepertinya, Naufal masih tetap seperti dulu. Bahkan lebih parah setelah ia benar-benar diputuskan oleh Stefany. Gadis itu kemudian berjalan menuju area pemesanan taksi. Cukup jauh ia berjalan setelah sebelumnya berada di area parkir mobil di lantai basement. Perlakuan Naufal padanya mungkin akan dianggap keterlaluan, tetapi bagi Della yang memang menikah karena diawali sesuatu yang tidak baik, sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Mitra Indah Residen, Pak,” ucap Della pada supir taksi menyebut nama perumahan yang ia dan Naufal tinggali. “Baik, Mbak.”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD