An ending is a beginning of a new chapter
--petuah bijak Mas Ariyanto Suhendar, putra Bapak Jatmiko Suhendar --
***
Naya menatap nyalang langit-langit kamarnya. Sepulang kerja, dengan agenda lembur seperti week days biasanya, ia segera mandi--lalu menghempaskan tubuh lelahnya di bed single yang sudah menemani gadis itu selama 5 tahun ia kos di tempat tersebut. Naya memang lebih memilih kos di tempat yang tak jauh dari perusahaan tempatnya bekerja selama 5 tahun terakhir. Alasannya, karena dia tidak ingin mendengar petuah sepanjang rel kereta api Ibu Puji Lestari Suhendar--setiap kali dia harus pulang malam. Padahal pekerjaan yang dia geluti, menuntutnya untuk sering lembur, apalagi menjelang weekend. Bayangkan saja, deadline pengiriman sample yang harus dipenuhinya setiap minggu. Kebiasaan yang sudah dia hafal selama 6 tahun bekerja di tempat itu adalah, sample yang sudah due date pengirimannya, baru selesai washing di jam 5 sore--hari yang sama sample tersebut harus dikirim. Jam pulang yang tertulis pada kontrak kerja adalah jam 5 sore, tapi sangat sulit untuk dijalankan karena tanggung jawab. Ya ... Naya memang se bertanggung jawab itu. Betapa beruntungnya Pak Tommy si pemilik perusahaan garment tempatnya bernaung. Jadi, opsi nge-kos adalah hal mutlak bagi Naya.
***
Diraihnya handphone nokia hasil kerjanya di tahun pertama--lalu mencari kontak 'mamasku sayang'
Menunggu hingga dering ke empat, sebelum akhirnya terdengar suara berat di ujung telepon.
"Halo Dek. Jam berapa sih, ini ?" tanya sang Kakak begitu menerima sambungan telepon sari sang adik. Naya berdecak kesal. Kok malah mamasnya sayang nanya jam sama dia
"Mamasku sayang Ariyanto Suhendar--putra Bapak Jatmiko Suhendar ... emang di situ nggak ada jam apa? pake nanya sama Naya." Terdengar krusak krusuk orang bergerak. Seketika Naya menyadari ini memang sudah terlalu larut untuk menelepon. Mungkin, Mas Ari tersayang sedang lelap tertidur saat handphone nya berbunyi. Naya meringis di tempatnya--sembari bola mata wanita itu bergulir ke arah jam di dinding.
"Yaelah Adik Mas Ari Suhendar tercinta--yang masih setia menunggu pacar abadinya. Mas lagi mimpi indah waktu handphone Mas bunyi nyaring. Nyawa Mas belum ngumpul kali tadi. Gila aja kamu nelepon Mas jam ... 11.30 malam. Kenapa? Kamu sakit?" Ari menegakkan duduknya. pria itu menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Naya bisa mendengar nada khawatir dari suara sang kakak.
"Maaf ... maaf Mas, Naya gak ngeliat jam waktu mau nelepon Mas tadi. Ya udah deh Naya cerita besok aja. Mas lanjut tidur gih."
"Eh ... eh ... apaan. Cerita sekarang, jangan bikin Mas khawatir. Lagian sekarang mata Mas udah kadung melek. Nyawa Mas juga udah ngumpul. Udah sekarang cerita apa yang bikin adik Mas Ari ini galau." Naya menarik nafas dalam-dalam.
"Mas .."
"Hmmm."
"Tadi Naya ketemu Abi," ucap Naya lirih. Hening, tidak ada jawaban dari ujung telepon. 30 detik terlewat dengan hening, sebelum suara sang kakak kembali menyapa gendang telinganya.
"Is it bad news, Dek?" tanya Ari semakin khawatir. Dari nada suara sang Adik--yang terdengar putus asa, ia bisa menebak--bukan hal baik yang akan Adiknya ceritakan. Suara isak terdengar ditelinga Ari. Pria itu mengambil nafas dalam. Sudah berkali-kali dia meminta adiknya untuk melupakan kisah cinta bersama cinta pertamanya itu, tapi dasar Naya keras kepala. Adiknya itu selalu mengatakan, bahwa kekasihnya pasti akan kembali sesuai janjinya 10 tahun silam. Namun dia sadar sekarang bukan saatnya menyalahkan kekeras kepalaan sang adik. Adiknya sedang patah hati, dan butuh penghiburan.
"Denger Mas ngomong ya Dek. Kamu boleh menangis. It's ok. It's human. Tapi jangan berlama-lama. An ending, is a beginning of a new chapter in our life." Dia terdiam beberapa saat. "Kalau mau cerita, Mas dengerin. Siapa tahu setelah cerita kamu bisa merasa lega." lanjutnya.
Maka mengalirlah cerita disela-sela isak tangis Naya--tentang bagaimana pertemuannya dengan sang mantan satu dekade nya itu.
Flashback
Naya yang pagi itu ada acara bertemu salah satu customer--yang akan memesan pakaian seragam, bergegas menuju Mall Ciputra tempatnya janjian dengan seseorang bernama Alka. Pemilik sebuah perusahaan furniture di kota Semarang. Dia sendiri sebenarnya merasa aneh kenapa si klien meminta bertemu di Mall, bukannya langsung datang ke perusahaan tempat dia bekerja seperti yang biasa dilakukan klien lainnya. Tapi, pembeli adalah raja bukan?, jadi dia menyetujui saja untuk bertemu di Mall. Dia melajukan motornya dengan santai. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan motor, merapikan sedikit penampilannya, Naya segera melangkah menuju pintu masuk Mall. Tujuannya lantai 3, tempat sebuah kafe berada. Menaiki eskalator menuju lantai 2, mata gadis itu menyapu para pengunjung Mall. Jam menunjukkan pukul 10.30 dan Mall sudah tampak cukup ramai. Saat itulah, tanpa sengaja--matanya menangkap sosok tinggi berbalut jas abu-abu dengan celana bahan senada. Naya memicingkan mata--memastikan apakah penglihatannya tidak salah. Dia masih terlihat sama. Si tampan dengan kaca mata kesayangannya. Hanya tubuhnya yg terlihat lebih berisi. Wajahnya nampak jauh lebih dewasa dengan rambut tipis di sekitar dagu. Naya tersenyum. Dia tidak salah lihat. Tak jauh dari tempatnya berdiri--sosok yang selama ini ditunggunya, berada. Naya mempercepat langkah kakinya menaiki tangga eskalator--tanpa harus menunggu rangkaian anak tangga itu merangkak pelan. Saking bersemangatnya, Naya bahkan setengah berlari. Ingin segera melewati semua anak tangga, dan mencapati lantai 2
Begitu menjejak lantai 2, dia segera berlari mengejar sosok yang berada 25 meter di depannya. Suara hentakan heel yang tercipta, membuat beberapa orang menoleh--hanya untuk menatapnya, namun dia tidak perduli. Dia terlalu bahagia. Dia tidak menyangka penantian selama lebih dari 10 tahun akan segera berakhir. Kekasihnya sudah kembali. Jantungnya berdetak lebih cepat. Senyumnya merekah.
"Abiii ... !!" panggilnya setelah si subject hanya berjarak beberapa langkah di depannya. Pria yang sedang berjalan, sambil beberapa kali terlihat menekuri handphone itu berhenti melangkah. Meski masih belum berbalik--seakan masih memastikan benar tidaknya dia mendengar namanya dipanggil.
"Abi ... " si pria langsung berbalik begitu namanya terdengar untuk yang ke dua kali. Mata pria itu membola begitu mendapati siapa yang kini ada dihadapannya dengan senyum lebar.
"Nay ...ini beneran kamu, Nay? Ya tuhan ... long time no see." Pria yang dipanggil Abi itu melangkah ke depan--mengikis jaraknya dengan Naya. Mengangsurkan tangan kanan ke hadapan sosok yang memanggilnya.
"Apa kabar, Nay?" tanya Pria bernama Abi tersebut--dengan senyum merekah di bibirnya yang kecoklatan. Senyum Naya perlahan menghilang. Bukan ... bukan ini sambutan pertama yang dia harapkan selama ini. Setelah 10 tahun lebih tidak bertemu .... apakah berlebihan, jika dia berharap sebuah pelukan rindu dari sang kekasih?. Naya mengamati tangan Abi yang masih menggantung di depan matanya, lalu mendongak--beralih memindai wajah yang kini berhias senyum tersebut. Tidak salah. Dia memang Abi nya. Abiyaksa kurniawan, sosok yang dia tunggu selama ini. Tapi apa yang salah di sini?. Otaknya berputar mencoba mencari jawaban.
Abi yang tidak mendapat sambutan tangannya, akhirnya menurunkannya."Kamu apa kabar ,Nay?" ulangnya--sembari mengamati perubahan raut wajah sosok di hadapannya. Naya mengerjap.
"Kamu ... kamu Abiyaksa Kurniawan, kan?" Bukannya menjawab, Naya malah bertanya balik--yang membuat kening Abi berkerut bingung.
"Iya ... ini aku. Abiyaksa Kurniawan. Apa aku berubah terlalu banyak, sampai kamu ragu?" Abi mengangkat kedua alis. Matanya menatap lurus sang lawan bicara. Naya menggeleng lemah. Perasaannya bergolak tidak nyaman. Ada hal buruk yang akan segera terjadi. Itu yang tiba-tiba terlintas dalam benak, begitu melihat cara Abi menyambutnya. Sorot mata wanita itu meredup.
"Enggak. Kamu nggak berubah banyak. Masih setampan dulu. Bahkan lebih tampan." Naya kembali mendongak untuk menatap tepat di manik mata Abi.
"Apa masih ada kita sekarang, Bi?. Apa pertemuan kita ini karena kamu yang ingin menepati janjimu 10 tahun lalu?" Tatapan Naya masih lekat dimanik hitam Abi. Perubahan ekspresi di wajah Abi yang menjadi pias--setelah mendengar pertanyaannya, bagai godam yang menghantam dadanya. Perih ... sakit. Naya bisa melihat masa depannya dengan jelas. Naya mulai merasakan matanya memanas. Gadis itu menarik nafas panjang--mencoba mengendalikan perasaannya.
Abi mengedarkan pandangan matanya sejenak. "Nay ... bisa kita bicara sebentar? Di sana." Tunjuknya pada sebuah kursi yang terletak di depan sebuah toko pakaian anak. Naya mengangguk lemah, lalu mengikuti Abi berjalan menuju tempat duduk tersebut. Gadis itu bahkan tidak ingin berjalan di samping Abi. Ia memilih memberi jarak satu langkah di belakang Abi. Ia sedang menata hati. Hatinya yang seperti baru saja terpecah belah.
Setelah duduk, Abi mengisyaratkan dengan mata--agar Naya duduk di sebelahnya, yang langsung diikuti Naya, dengan memberi jarak beberapa kepal tangan. Abi menghela nafasnya dalam-dalam. Kepalanya menggeleng pelan.
"10 tahun lebih, Nay ... " ungkapnya lirih. Kepala Naya mengangguk--membenarkan. Dia juga bisa menghitung berapa lama mereka tidak lagi pernah bertemu. Nia sudah bisa menerka apa yang akan Abi katakan tentang hubungan mereka. Meskipun begitu, ia masih menyisakan sedikit harap, agar hal buruk yang ada di kepalanya saat ini--tidak terjadi. Akan tetapi, melihat gelagat Abi--yang terlihat serba salah, juga tatapan pria itu yang seolah menunjukkan permohonan maaf--membuat harapan yang tinggal secuil itu--lebur.
"Sepertinya sudah tidak ada 'kita' lagi. Benarkan?" ucap Naya dengan suara yang mulai bergetar. gadis itu menggelengkan kepala. Berkali kali menarik nafas panjang. Matanya sudah semakin memanas, dan dia tidak ingin menangis sekarang. Tidak di tempat umum. Tidak di hadapan pria yang kini beringsut dari tempat duduknya. Dia berlutut di depan Naya.
"Maafkan aku Nay ... sungguh, aku tidak mengira kamu masih menungguku setelah lebih dari 10 tahun kepergiànku." Pria yg berlutut di depan seorang gadis itu, menunduk dalam. Kedua tanggangnya menggengam erat telapak tangan sang gadis. Sementara sang gadis hanya bisa terisak. Terlalu menyàkitkan, kenyataan yang baru saja dia dapati. Banyak caci maki yang ingin diteriakkan di depan sang kekasih ... atau lebih tepatnya, mantan kekasih--setelah pertemuan mereka kembali. Tapi apa itu akan sanggup mengembalikan semua yang sudah terjadi? Naya kembali menarik nafas panjang, mencoba menghentikan isakannya. Sungguh dia tidak ingin menangis, namun apa daya ketika lelehan air mata itu sudah tidak tertahankan lagi. Gadis itu menunduk, jantungnya berdentam lebih keras ketika tatapannya tertuju pada kedua tangan kekar yang sedang menangkup jemarinya. Mata Naya terbuka lebar, ya ... otaknya sudah kembali bekerja. Dia sadar, pria di depannya kini--sudah bukan miliknya lagi. Dia bukan Abi nya Naya 10 tahun lalu. Pria itu sudah mengganti rumahnya. Bukan Naya. Rumah untuk pulang pria tampan di depannya itu--bukan lagi dirinya. Di luar sana, sudah ada seseorang yang menjadi tempatnya pulang. Seketika tubuhnya bergetar. Ditariknya tangan yang masih tergenggam erat itu. Kedua tangannya terkepal erat menahan getar emosi yang memenuhi rongga dad*.
Dering telepon mengalihkan perhatian Naya. Dengan tangan yang masih ia coba normalkan, gadis itu membuka tas, kemudian mengambil benda persegi yang selama beberapa detik meraung." Ya halo." dengan suara yang masih sedikit bergetar, ia menjawab panggilan.
"Apa Bu Naya sudah sampai?" tanya seseorang dari ujung telepon.
"Ah iya, Pak. Ini saya udah sampai kok. Lagi naik. Maaf membuat Bapak menunggu." Mematikan telepon, tangannya bergerak membersihkan sisa-sisa air mata, lalu beranjak berdiri yang langsung diikuti oleh Abi.
"Nay ... boleh minta nomor handphone kamu? We need to talk. Ada yang harus kujelaskan padamu." pinta Abi dengan menatap sang lawan bicara--yang tidak mau membalas tatapnya. Naya menggelengkan kepala. "Nggak ada lagi yang perlu kamu jelaskan, Bi. Aku harus pergi. Cerita cintaku sudah berakhir. Aku tidak mau kerjaanku juga ikut berakhir. Bye,Abi." Naya segera melangkah cepat meninggalkan Abi yang masih terpaku menatap punggung wanita yang sudah dia kecewakan. Sudah cukup Naya tahu, bahwa dia telah kehilangan cinta pertamanya. Benda yang melingkar di jari manis pria itu sudah menjelaskan semuanya. Dia tidak butuh mendengar kisah cinta pria itu dengan wanita pilihan hatinya. Itu hanya akan semakin menghancurkan hatinya.***
Naya meletakkan handphone di atas nakas sebelah tempat tidur setelah puas membagi patah hatinya pada sang kakak. Sang kakak hanya terus memberikan support untuknya. Berjanji akan selalu ada untuk Naya dan Naya akan baik-baik saja.