BAB 11. Berapa Tarifmu Semalam?

977 Words
Tanpa menyadari kemarahan Andra yang semakin memuncak, Alana masuk ke dalam ruangan Andra untuk mengantar sebuah laporan. Dilihatnya lelaki itu tampak sedang sibuk berjibaku dengan setumpuk berkas yang selalu menghiasi mejanya. “Simpan saja di atas mejaku!” kata Andra dan Alana mengangguk pelan. Ditaruhnya laporan itu di atas meja kerja Andra. “Pak Andra juga ada jadwal meeting mingguan siang ini,” ucap Alana mengingatkan. “Hemm..” Alana menghela ketika tanggapan yang ia dapat hanyalah sebuah dehaman singkat. Tapi tak apa! Setidaknya itu lebih baik daripada sikap Andra yang berapi-api memarahinya seperti kemarin. Setelah itu, Alana pamit keluar dari ruangan Andra karena ia pun masih mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun, baru saja kaki Alana akan melangkah menuju pintu, saat suara Andra memanggilnya. “Tunggu Alana!” Alana menghentikan langkah, lantas membalikan badannya menatap Andra. Lelaki itu bangkit berdiri dari kursinya. Kini kaki tegapnya melangkah dengan tegas menghampiri Alana yang berdiri kaku. Tetapi perasaan Alana menjadi tidak enak saat ia melihat Andra yang menatapnya dengan cara yang berbeda. Terdapat sebuah seringaian yang Andra sembunyikan di balik bibirnya. Hingga Alana harus berjalan mundur ketika Andra terus saja melangkah maju. Laki-laki itu baru berhenti saat punggung Alana sudah tersudut ke tembok. “Andraa..” saking gugupnya Alana sampai lupa memanggil lelaki itu dengan embel-embel ‘Pak’. Andra mengungkung tubuh Alana di antara kedua tangannya. Wajahnya kian dekat hingga hidung mancung mereka nyaris bersinggungan. Alana menelan ludah saat aroma tubuh Andra yang maskulin menguar tercium di hidungnya. Sementara napas harum lelaki itu berhembus menerpa kulit wajahnya yang terasa membeku. “Pak Andra! Kamu mau apa?” Alana tak tahan untuk bertanya. Andra menarik sebelah ujung bibirnya. Membentuk sebuah senyum miring ketika Andra sadar melihat Alana yang begitu ketakutan. “Berapa tarifmu selama semalam, Alana?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Andra. Sedangkan Alana mengerutkan keningnya bingung. “Apa maksudmu?” “Aku bertanya, berapa tarifmu selama satu malam?” kata Andra yang kini tangannya sudah mencekal kedua pergelangan tangan Alana, kemudian menahannya di dinding. Karena Alana mulai mencoba melakukan perlawanan. “Berapa yang harus ku bayar, jika aku ingin menghabiskan malam denganmu?” lanjut Andra lagi. “Apa yang kamu bilang? Kamu sudah gila!” Alana mencoba memberontak. Tapi apalah yang bisa dilakukan oleh seorang wanita seperti dia, jika menghadapi lelaki sekekar Andra. “Ayolah, Alana! Jangan sok jual mahal padaku. Kamu berpura-pura tdak mau menghabiskan malam denganku sementara kamu sendiri menghangatkan ranjang pria-pria kaya itu. Oh iya, lelaki yang mengantarmu ke kantor pagi tadi juga salah satu hidung belang peliharaanmu, bukan?” ejek Andra. PLAK! Alana yang merasa telinganya panas mendengar hinaan Andra, tak tahan untuk menampar lelaki itu selagi cekalan Andra di tangannya merenggang. “Jangan bicara yang tidak-tidak tentangku! Aku tahu kalau aku ini hanyalah wanita miskin. Tapi aku masih punya harga diri untuk tak melemparkan diriku pada para p****************g seperti yang kamu katakan! Lagipula kalaupun memang aku melakukan hal itu, apa urusannya denganmu?! Kamu hanya boss, Andra. Dan aku bawahanmu. Ada banyak batasan yang tak seharusnya kamu ikut campur!” serobot Alana dengan tegas. Andra menyentuh sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. Matanya masih menusuk dengan tajam pada Alana. Ketika melihat bibir Andra yang terdapat luka sobek sedikit akibat ulahnya, hati Alana mencelos. Seketika ia merasa menyesal telah menampar Andra. Tetapi di sisi lain, Alana juga harus membela harga dirinya, bukan? “Harga diri? Eh? Aku bahkan sangsi kalau kamu masih mempunyai harga diri, Alana.” Andra kembali mendekat. Membuat Alana mundur lagi dengan wajah waspada. SRET! “Aaakkhh.” Alana menjerit saat Andra menarik paksa tubuhnya, lalu menyentaknya hingga tersudut di atas meja kerja lelaki itu. “Harga diri mana yang masih tersisa dalam dirimu, Alana? Hah? Kamu sudah tidak mempunyai harga diri itu saat kamu meninggalkanku dan memilih pergi dengan laki-laki lain? Bukankah menurutmu uang adalah segalanya!” sentak Andra dengan keras di depan wajah Alana. Napas Andra tampak menderu, sementara Alana mengkerut ketakutan di bawahnya. Alana ingin bangkit, tetapi tubuh Andra berada di atasnya. Hingga ia tak bisa bergerak kemana-mana. “Sepertinya akan menjadi sesuatu yang cukup menyenangkan, bila aku menyentuhmu di atas meja kerjaku!” Bola mata Alana membeliak terkejut kala mendengar ucapan yang meluncur begitu saja dari bibir lelaki yang masih sangat dicintainya itu. “Andra! Kamu jangan gila!” "Ya. Aku memang sudah gila! Tapi kamu lebih gila dariku! Karena kamulah penyebab otakku kehilangan semua kewarasannya!" desis Andra sambil menyeringai. "Katakan, Alana! Apa rasamu masih senikmat dulu? Berapa pria yang sudah memasukimu selain aku?" Sungguh! Rasanya hati Alana begitu remuk di dalam sana. Ia tak menyangka jika hinaan seperti itu akan keluar dari mulut Andra. Tidak! Alana tidak boleh menangis! Andra tidak boleh melihatnya menangis. Meski sejujurnya Alana merasakan perih yang amat dalam di hatinya. "Bibirmu! Tampaknya masih seranum dulu," kata Andra yang menggerakan jemarinya untuk menyentuh bibir bawah Alana. "Tapi aku tidak yakin kalau rasanya masih semanis dulu. Aku harus mencobanya untuk membuktikannya, Alana," lanjut Andra yang kemudian langsung mencium bibir Alana dengan gerakan tak sabar. Berontakan Alana yang mencoba memukul-mukul d**a-Andra yang bidang hanyalah sia-sia. "Enghh.." Alana tak bisa mengeluarkan suara apapun. Semuanya tertahan di tenggorokan. Karena bibir Andra masih menekan dan membungkamnya rapat-rapat. "Heh. Ternyata bibirmu memang masih sangat manis. Kamu begitu menikmatinya, Alana. Kamu menikmati ciumanku? Hmm?" Andra bertanya dengan riak wajah penuh cemooh. Menatap wajah Alana yang matanya telah basah, sementara bibirnya yang terpoles lipstick, kini sudah belepotan ke dagu. "Kamu jahat, Andra! Kamu sangat jahat!" Andra menaikan sebelah alisnya, sembari menghapus noda lipstick Alana yang menempel di bibirnya. Ditatapnya Alana dengan wajah tegas dan mata yang berkilat kebencian. "Kamu bilang aku jahat? Lebih jahat mana di banding dirimu, Alana? Aku meninggalkan seluruh keluargaku hanya demi menikahi seorang wanita penghianat dan murahan seperti kamu! Tapi, kamu malah meninggalkanku saat aku divonis lumpuh." "Bukankah kamu seribu kali lipat lebih jahat dari aku?!" hardik Andra yang seketika membuat tubuh Alana bergetar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD