BAB 8. Siksaan untuk Alana

801 Words
"Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra. Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar. Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban. "Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor." Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra. "Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya. "Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya. Mulut Nita terbuka, tampak raut terkejut tergambar di wajahnya. Jadi, Andra mempekerjakan Alana untuk balas dendam. Di sisi lain Nita merasa senang melihat kebencian Andra pada mantan istrinya masih begitu dalam. Tapi di sisi lain, Nita takut Andra akan jatuh hati lagi pada Alana jika mereka sering bertemu nyaris setiap hari. "Sekarang Mama sudah tahu, 'kan. Jadi berhenti mendesakku untuk segera memecat Alana. Sebab aku belum puas bermain-main dengannya," tutup Andra yang setelah itu langsung menarik diri dari hadapan Nita. Kaki panjangnya kini sudah begerak melangkah lebar menaiki tangga. Setelah menutup pintu kamarnya dengan rapat, Andra melempar jasnya sembarang arah. Kemudian ia melepas paksa dasi yang sejak pagi tadi terasa mencekik lehernya. Kakinya melangkah tegas menuju sebuah laci yang terletak di samping kasur. Andra mengeluarkan selembar foto yang tersimpan di dalamnya. Netranya menatap foto itu dengan tatapan yang tajam dan sarat akan kebencian. "Aku tidak akan pernah berhenti, sebelum aku bisa membalas semua rasa sakitku padamu, Alana! Wanita sepertimu tidak bisa dibiarkan begitu saja!" ucap Andra dengan gigi yang mengeletuk. Jemarinya kian keras mencengkeram foto Alana yang sedang tersenyum dengan sangat cantik. Meski sejujurnya, senyum itu masih mampu menggetarkan rasa rindu di dalam sanubarinya, tetapi Andra selalu menyangkal hal itu. "Tidak! Aku tidak lagi mencintaimu! w************n sepertimu tidak pantas untuk dicintai! Kamu penghianat! Penghancur hidupku. Saat ini yang tersisa di hatiku untukmu hanya ada kebencian. Hanya kebencian, Alana! Kamu dengar itu, hah?! Aku sudah tidak mencintaimu! Aku akan membuat hidupmu hancur!" geram Andra seraya menegaskan dirinya sendiri. Andra sungguh-sungguh menolak bahasa hatinya yang masih mengisyaratkan cinta pada Alana. Bibir Andra mungkin beratus-ratus kali mengucapkan kata benci, namun hatinya masih mengiba pada wanita yang dulu pernah ia puja. Sejujurnya, saat tadi Andra mengantar Alana pulang, ia sangat penasaran di mana wanita itu tinggal. Dengan siapakah? Apa masih dengan ibunya, atau Alana justru sudah memiliki kehidupan lain tanpa Andra tahu? Bukan apa! Andra hanya ingin melihat sebahagia apa Alana tanpa dirinya? Tapi rasa gengsinya yang terlalu dalam, membuat Andra mengurungkan niat untuk mengikuti Alana ke rumahnya. *** Pagi ini, Alana dimarahi habis-habisan oleh Andra. Semua yang Alana lakukan selalu saja salah di mata lelaki itu. Hingga Alana sendiri bingung, ia tak merasa telah berbuat kesalahan sedikitpun. "Apa kamu tidak becus bekerja? Kenapa laporannya berantakan seperti ini? Aku menggajimu bukan untuk bermalas-malasan, Alana! Kamu tahu itu, 'kan?" kecam Andra marah sembari tangannya menunjuk-nunjuk wajah Alana yang semakin tertunduk di hadapannya. "Maaf, Tuan. Tapi, bukan aku yang membuat laporan. Bukankah laporan itu dari bagian keuangan, dan aku hanya disuruh mengantarkannya pada Anda?" "Oh. Kamu sudah berani membantahku, Alana? Aku tidak peduli mau siapapun yang sudah membuat laporan ini, yang jelas kamu yang salah. Karena kamu tidak berinisiatif memeriksa laporan itu terlebih dahulu sebelum mengantarnya ke meja kerjaku!" Andra makin meninggikan intonasi suaranya. Membuat Alana mengerjap dan berjengkit di tempatnya. "Hhh! Kamu hanya membuat waktuku terbuang sia-sia! Belum lagi pekerjaanku sedang sangat menumpuk. Kamu memang benar-benar tidak bisa diandalkan!" Alana menahan napasnya saat mendengar kalimat terakhir yang Andra ucapkan. Dirinya tak bisa diandalkan? Bukankah Alana sendiri sudah berusaha melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Ia melayani Andra selayaknya yang dilakukan oleh sekretaris pada bossnya. Tetapi dirinya tetap saja salah di mata Andra. Entah apa yang membuat Andra sampai semarah ini. Atau mungkin mood lelaki itu memang sedang buruk. "Karena ketidakbecusan kamu, kita jadi harus lembur malam ini!" kata Andra dengan sengit. "Sekarang cepat keluar dari ruanganku, Alana! Dan bekerjalah dengan benar. Kita tidak akan pulang sebelum pukul dua belas malam!" lanjut Andra dengan tegas. Dan Alana hanya bisa menelan salivanya berat, lalu menganggukan pelan. "Baik, Tuan. Aku permisi ke mejaku," pamit Alana menarik diri dari hadapan Andra. Hanya senyap yang menjawab. Andra tetap menunduk menatap setumpuk berkas di atas mejanya, tanpa berniat menyahut Alana sama sekali. Hingga Alana menutup pintu ruangannya, barulah Andra mengangkat kepala. Seketika sebelah ujung bibirnya melengkungkan senyum miring. "Kita mulai siksaanmu, Alana! Hari-hariku tidak akan puas tanpa melihatmu menderita," gumam Andra menampilkan seringaiannya. Matanya menatap lurus pada pintu yang telah menelan tubuh ramping Alana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD