BAB 15. Dimarahi Andra

943 Words
“Sekali kamu melakukan kesalahan, artinya kamu tidak becus bekerja. Sekarang lebih baik kamu pergi ke meja kerjamu dan bekerjalah dengan benar!” lanjut Andra yang membuat Sherly mengerutkan keningnya tidak suka. “Apa, Ndra? Kamu menyuruh Alana datang ke ruangan ini hanya untuk dibentak-bentak sebentar, lalu menyuruhnya keluar dan bekerja seperti biasa? Kamu tidak berniat menghukum dia? Atau bahkan memecatnya sekalian. Biar dia kapok! Kalau cuma dibentak-bentak saja, Alana pasti akan keenakan!” Sherly menggerutu. Andra menyentak bolpoint di atas meja. “Diam kamu Sherly! Aku tidak minta pendapat kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu juga boleh keluar dari sini!” tegas Andra. Dan Sherly hanya berdecak dalam hati sembari melemparkan tatapan sinis pada Alana yang masih berdiri di depannya. Setelah tak ada lagi yang bicara, netra Andra kembali melirik Alana. “Keluar Alana! Tolong bekerjalah dengan benar di perusahaanku!” pesan Andra penuh peringatan. Yang kemudian dijawab Alana dengan anggukan pelan. “Baik, Pak Andra. Aku janji tidak akan pernah mengulangi kesalahan ini lagi. Aku permisi..” Alana menarik tubuhnya dari hadapan Andra dan Sherly. Tubuhnya bergerak pelan menuju pintu keluar. Andra yang semula tak peduli bahkan tak menyahut Alana sama sekali, kini matanya tak sengaja menangkap cara berjalan Alana yang tampak agak ganjil. Wanita itu seperti tertatih-tatih saat berjalan. Tapi kemudian kebingungan Andra itu terjawab sudah saat ia melihat ada noda merah di kedua lutut Alana. Noda itu adalah darah. Dan Andra melihatnya ketika Alana hendak menutup pintu ruangannya kembali. ‘Kaki Alana terluka? Apa yang terjadi padanya? Apakah dia habis terjatuh atau terserempet kendaraan? Jangan-jangan, luka itu ada hubungannya dengan keterlambatan Alana datang ke kantor?' Andra mendesah dalam hati. Namun, sentuhan jemari Sherly yang lentik hinggap membelai punggungnya menyadarkan Andra dari lamunan. “Kamu juga pergilah, Sherly. Aku sedang tidak ingin diganggu!” ucap Andra seraya menyingkirkan tangan Sherly yang hendak membuka kancing hem-nya. “Kenapa, Ndra? Aku tidak mau! Aku masih mau di sini. Aku sudah repot-repot menyempatkan waktu untuk menemui di sela-sela jadwal pemotretanku, tapi kamu malah nyuruh aku pulang. Padahal aku kangen banget sama kamu, Ndra!” Sherly kini mengusap rahang Andra yang tegas, hingga membuat Andra mendesah kesal dan menepis tangan itu dengan sedikit kasar. “Tidak ada yang menyuruhmu untuk repot-repot datang kemari! Saat ini aku sedang ingin sendirian dan fokus bekerja. Bagaimana aku bisa fokus melakukan pekerjaanku, sementara kamu terus saja menggangguku! Keluar dari ruanganku sekarang juga Sherly! Atau aku akan menyuruh satpam untuk menyeretmu hingga ke lantai bawah!” tekan Andra bangkit dari duduknya. Matanya menatap Sherly dengan wajah serius. Melihat kemarahan Andra, tentu saja membuat Sherly takut Andra akan mengancam pertungan mereka batal nantinya. Sherly tidak ingin mengambil risiko. Lebih baik Sherly pergi membiarkan Andra mendinginkan kepalanya agar nasib hubungan mereka tetap aman. “Baiklah, sayang. Aku akan keluar sekarang. Kamu tidak perlu semarah itu sama aku, Ndra! Oke Honey. Aku mengerti kalau kamu sedang sibuk. Kita bertemu lagi lain waktu ya. Dah!” Wanita itu pun memutuskan untuk berlalu keluar dari ruangan Andra, meninggalkan lelaki itu yang mengusap wajahnya kasar. Benaknya masih berpikir tentang luka di kedua lutut Alana. Melihat seberapa parah lukanya, pasti Alana merasa kesakitan. Tapi wanita itu masih tetap berkeras untuk bekerja. Apa sebenarnya yang membuat kedua kaki Alana terluka seperti itu? *** Di sisi lain, Alana bekerja dengan keras sampai jam istirahat tiba. Namun baru saja membereskan mejanya, dia justru didatangi oleh seorang OB wanita bernama Yanti. Alana tahu namanya karena ia sering makan dengannya di pantry. Namun yang membuat Alana bingung, untuk apa Yanti mendatangi mejanya tiba-tiba dengan membawa kapas dan obat merah di tangannya? “Kenapa kamu bawa obat merah dan kapas, Yan?” tanya Alana pada akhirnya. “Untuk ngobatin luka di lutut kamu.” “Darimana kamu tahu kalau lutut aku luka?” Alana bertanya lagi. Pasalnya, sejak tadi pagi Alana tidak bertemu dengan Yanti. Jadi bagaimana Yanti bisa tahu kalau kedua lututnya sedang terluka? Ditanya seperti itu, Yanti langsung menggigit bibir sambil berpikir keras. Ia harus berbohong pada Alana. Karena sebenarnya yang menyuruhnya mengobati luka di lutut Alana adalah Andra. Tapi, Andra tidak mau Yanti sampai menyebut namanya di depan Alana. “Emhh.. sebenarnya aku melihatmu berjalan terpincang-pincang saat melewati koridor kantor. Tapi kamu tidak menyadari keberadaanku, Alana. Aku kasihan melihat lutut kamu terluka, jadi aku berinisiatif datang ke sini untuk membawa obat merah dan kapas. Lukamu harus segera diobati sebelum infeksi.” Yanti mengeluarkan sebuah alasan palsu. Alana mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan Yanti. “Oh. Begitu. Terimakasih banyak Yanti untuk obat merah dan kapasnya. Aku merasa tersanjung kamu ternyata sangat baik sekali,” ucap Alana menerima obat merah dan kapas dari tangan Yanti lalu tersenyum pada OB wanita itu. “Sama-sama. Mau aku bantu obati juga lukamu, Alana? Mana tahu kamu perlu bantuanku?” tawar Yanti sesuai yang Andra perintahkan lewat telpon kantor. Kalau Yanti juga harus membantu Alana memberikan mengobati lututnya. Namun Alana tersenyum dan menggeleng dengan segera. “Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Kamu boleh pergi Yanti. Sekarang sudah jam istirahat. Nanti waktu makan siang kamu habis. Pergilah! Aku akan mengobati lukaku sendiri,” suruh Alana pada Yanti. Melihat Alana yang tetap kekeh tak ingin dibantu olehnya, membuat Yanti hanya bisa mendesah pelan. Seperginya Yanti, Alana diam-diam tersenyum tipis. Sebab ia bisa menebak apa yang sebenarnya Yanti sembunyikan darinya. “Pasti Andra yang menyuruhmu untuk membawakan obat untuk lukaku," lirihnya. Sebelum meninggalkan ruangan Andra, dia bisa melihat wajah terkejut pria itu yang melihat kedua lututnya terluka. Dengan cepat, Alana menteskan obat merah pada kapas, kemudian mengolesi lututnya yang berdarah. Dia sedikit meringis saat rasa perih mendera area lututnya. Namun, ditahannya. Alana bertekad kalau ia harus segera sembuh, agar ia bisa melakukan semua pekerjannya dengan nyaman dan tepat!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD