BAB 13. Dilabrak

1029 Words
"Berani-beraninya kamu memunculkan batang hidungmu lagi di depan anakku! Hah! Mana janji yang pernah kamu ucapkan. Bukankah sudah ku bilang jauhi Andra dan jangan pernah lagi mengganggu kehidupannya?!" sentak Nita berdesis penuh amarah. Intonasi suaranya terdengar mengintimidasi. Tetapi masih agak pelan. Alana mengerti, mungkin Nita tidak ingin Andra mendengar ucapannya. Hingga dalang dari kejadian delapan tahun lalu akan terkuak ke permukaan. "Maaf, Nyonya Nita yang terhormat. Aku ada di sini bukan untuk mengganggu kehidupan anak Anda. Tapi aku hanya sedang berusaha professional dalam bekerja. Saat ini, aku hanya melihat Pak Andra sebagai pimpinan perusahaan. Jadi Anda tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah merebutnya dari Anda!" Alana berkata dengan wajah santai. Namun suaranya terdengar tegas di telinga Nita. Hingga membuat amarah Nita semakin memuncak. Tangan Nita terkepal di kedua sisi. Kini ia menunjuk wajah Alana dengan penuh penekanan. "Aku tidak peduli! Perjanjian adalah perjanjian. Kamu harus segera mengundurkan diri dari perusahaan anakku! Aku tidak sudi jika Andra terus-menerus bertemu denganmu! Kamu harus enyah dari kehidupannya!" ketus Nita. Alana menanggapi keketusan mantan mertuanya itu dengan senyuman lembut. "Kenapa Nyonya Nita yang terhormat? Kenapa Anda seperti ketakutan jika aku sering bertemu dengan anak Anda? Apa Anda takut, jika anak Anda akan jatuh cinta lagi padaku?" tanya Alana menaikan sebelah alisnya. Ucapan Alana tentu saja membuat raut wajah Nita berubah geram. “Kurang ajar kamu! Dengar ya, perempuan s****l! Kamu saat ini sudah menjadi sampah di mata Andra. Kamu hanyalah perempuan murahan yang Andra terima di sini hanya karena dia kasihan jika kamu harus menjadi gembel di jalanan. Kamu itu hanya upik abu. Jangan pernah sekalipun bermimpi untuk bisa menjadi Cinderella. Kamu pegang kata-kata saya ini! Selamanya Andra tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada perempuan murahan seperti kamu! Karena dia sudah mempunyai kekasih dari kalangan orang yang terhormat.” Nita seakan tak puas mengintimidasi Alana. Menekan setiap kata-katanya agar Alana paham di mana derajatnya. Sedangkan Alana, dalam hatinya terasa diiris dengan belati tajam. Mana kala Nita mengingatkannya tentang Andra yang telah memiliki kekasih. Bahkan saat itu Alana dengar mereka akan melangsungkan pertunangan tak lama lagi. Membayangkan calon tunangan Andra itu, seketika membuat Alana teringat kembali dengan apa yang ia lihat di ruang kerja Andra. Andra yang sedang duduk sambil memangku tubuh Sherly yang tanpa sehelai benang pun di bagian atasnya. Oh! Sungguh. Alana selalu sakit jika sudah mengingat itu. Nita kini melipat kedua tangan di dadanya. Netranya memindai tubuh Alana dari atas ke bawah dengan tatapan sinis dan penuh cemooh. Hingga matanya terkunci di bagian perut Alana yang tampak datar. Nita teringat sesuatu. Bukankah delapan tahun yang lalu di dalam perut wanita itu terdapat sebuah janin. “Bagaimana dengan bayi sialan itu? Kamu sudah menggugurkannya, ‘kan?” Alana tercenung mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Nita. ‘Bayi sialan? Dia menyebut Rehan anakku dengan bayi sialan? Aku masih bisa terima jika keluarganya Andra menghinaku semau mereka. Tapi aku tidak terima saat yang dijelekkan adalah Rehan.’ batin Alana menjerit. Rasanya tangan Alana gatal. Ia ingin sekali menampar mulut Nita untuk membungkamnya agar tak sembarangan bicara. Tetapi Alana sadar, ia tak mungkin melakukan itu. Untuk menghadapi wanita ular seperti Nita, Alana tak boleh menggunakan emosi yang meluap-luap. “Ah! Kamu diam saja? Berarti benar, bayi sialan itu sudah digugurkan ya? Haha.. baguslah. Ternyata kamu sadar diri juga Alana. Untuk apa mempertahankan bayi yang tidak berguna. Kalau pun kamu mempertahankannya, saya dan keluarga saya tidak akan pernah menerima bayi itu sebagai darah kami! Jadi memang lebih baik dia mati!” desis Nita sembari menunjuk wajah Alana yang mati-matian menahan emosinya dengan tangan yang terkepal. “Siapa yang lebih baik mati, Ma?” tanya Andra tiba-tiba membuat Nita terkejut. Kedua wanita itu segera menoleh kearah Andra yang berdiri tegap di depan pintu ruang kerjanya yang sedikit terbuka. “Ada apa ini? Apa yang sedang kalian bicarakan? Mengapa Mama mengatakan lebih baik mati? Siapa yang Mama maksud lebih baik mati?” Andra menjalan lebih dekat. Lalu bertanya lagi dengan wajah bingung. Sementara Alana hanya memilih menundukan wajahnya. Pertanyaan Andra tentu saja membuat Nita mengusap tengkuknya gelagapan. Seketika ia bingung harus menjawab apa. Tapi bukan Nita namanya jika ia tidak bisa berkelit dari keadaan. “Alana! Tentu saja Alana yang Mama maksud, Ndra,” sahut Nita akhirnya. Membuat kepala Alana terangkat hingga ia bisa melihat Andra yang juga menatapnya. “Mama mengatakan itu karena Mama masih tidak terima dia bekerja di perusahaan ini. Mama masih ingat bagaimana dulu w************n ini pergi begitu saja meninggalkan kamu saat kamu sedang dalam keadaan sekarat. Dia memang tidak pantas untuk hidup. Kalau saja membunuh itu tidak dilarang, pasti Mama sudah menghabisinya untuk kamu, Ndra. Hati Mama masih sangat sakit. Tapi kenapa kamu malah terlalu baik dengan memperkerjakannya di sini? Padahal dia sudah menghancurkan hidup kamu, Ndra. Dia tidak pantas ada di sini!” Nita hendak meraup rambut Alana yang tergerai untuk menjambaknya, tetapi tangan Andra lebih dulu menahan kedua tangan Nita. “Ma. Sudah, Ma! Jangan membuat keributan di sini!” Andra memeluk Nita yang memberontak ingin menjambak Alana. “Tidak, Ndra. Mama tidak bisa membiarkan wanita itu tenang begitu saja. Dulu dia sudah menghianati cinta kamu dengan cara yang kejam. Dan Mama tidak terima itu!” “Ma. Mama tidak perlu mengotori tangan Mama dengan menyakiti wanita ini. Biarkan Tuhan yang membalas semuanya. Percaya sama Andra, Ma. Tuhan tidak akan mungkin membiarkan wanita penghianat seperti dia tenang dengan kehidupannya,” kata Andra yang kemudian melarikan matanya kearah Alana yang tercenung. Tatapan Andra begitu tajam dan menusuk. Sarat akan rasa benci yang mendalam. Nita yang pandai membalikan keadaan, kini sudah terisak di dalam dekapan Andra. “Ayo, Ma. Kita masuk ke dalam. Biar Andra suruh OB untuk buatkan teh hangat buat Mama.” Nita mengangguk pelan saat Andra merangkulnya masuk ke dalam ruang kerja lelaki itu. KLEK! Begitu pintu ruangan Andra menutup di depan pandangan Alana. Setetes air mata meluncur tanpa permisi melewati pelipisnya. Alana tersenyum kecut sembari menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Tidak, Andra. Tuhan tidak akan menghukumku. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan yang salah padamu. Tapi mungkin Tuhan kelak akan menghukum kedua orang tuamu, karena sesungguhnya mereka lah yang sudah menjahati kita.” Alana mendesah lirih, mencoba mengeyahkan ingatannya akan tatapan tajam Andra tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD