BAB 2. Benci untuk Alana

1430 Words
Empat hari kemudian, Andra pun diizinkan untuk keluar dari rumah sakit meski kondisinya masih belum sepenuhnya pulih. Mobil milik Nita sudah terparkir rapi di depan sebuah rumah kontrakan yang nampak kumuh dan sederhana. Rumah dimana Andra dan Alana tinggal berdua dan menjalani kehidupan mereka setelah menikah. Nita berdecih dalam hati, manakala matanya berpendar menatap rumah itu. Ia tidak menyangka jika Andra mau tinggal di rumah yang bahkan menurut Nita lebih pantas disebut kandang ayam, padahal dulu Andra hidup dengan kemewahan yang ia berikan. Andra dulu menjabat sebagai kepala manajer keuangan di kantor milik Darma, tetapi kemudian ia bertemu dengan Alana yang merupakan salah satu karyawan di sana. Kecantikan dan kelembutan hati Alana, ternyata mampu meluluhkan perasaan Andra. Dengan berani, Andra berani mengenalkan Alana pada kedua orang tuanya. Namun, yang didapat bukanlah doa restu, melainkan tatapan menghina dan makian yang mereka lontarkan pada Alana. “Ndra! Suster dari tadi menunggu kamu turun dari mobil. Kenapa masih melamun? Kamu tidak jadi masuk ke rumah itu?” Andra terhenyak dari lamunannya. Ia melihat ke samping. Ternyata pintu mobil sudah dibuka dari luar dan sebuah kursi roda tersedia di bawah untuk menampung tubuh kekar Andra. Andra mengangguk. Lalu kemudian ia turun dengan dibantu oleh Nita dan perawatnya. Andra menatap rumahnya yang nampak sepi, sunyi dari luar. Perasaan tidak enak seketika menyergap hatinya begitu saja. “Mungkin Alana sedang tidur siang. Makanya, rumah jadi kelihatan sepi,” batin Andra. Kursi roda itu didorong oleh perawat untuk mendekati pintu. Dengan mudahnya pintu yang tidak dikunci itu terbuka. Lantas mereka masuk ke dalamnya. “Alana! Alana! Kamu di mana sayang? Aku pulang!” Nita memutar bola matanya jengah mendengar panggilan Andra pada istrinya. Di sisi lain, Andra mengerutkan kening karena tidak ada sahutan dari Alana. Dia pun meminta pada suster untuk mendorongnya ke kamar. Namun begitu tiba, manik matanya melihat beberapa benda yang nampak berserakan di atas tempat tidur. Dengan cepat Andra mendorong kursi rodanya sendiri untuk mendekat. “Alana!” Napasnya tercekat. Andra rasanya ingin mati saat itu juga. Ia tidak menyangka dengan apa yang ia lihat saat ini. Sebuah dokumen surat cerai yang sudah ditandatangani oleh Alana kini berada dalam genggamannya. Bahkan, buku nikah mereka sudah berserakan dalam keadaan robek di atas kasur. Juga ada selembar surat dengan tulisan tangan yang sangat Andra kenali. Ya, tidak salah lagi, itu memang tulisan Alana–istrinya. “Andra, maaf aku pergi tanpa pamit, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya bilang sama kamu. Aku sudah tidak sanggup hidup sama kamu, Ndra. Aku bosan hidup susah dan hanya mengandalkan gajimu yang kurang untuk menutupi kebutuhan kita, apalagi sekarang kaki kamu lumpuh. Hidup kita pasti akan semakin susah. Jadi, aku menyerah dengan pernikahan kita karena aku jatuh cinta sama laki-laki lain. Dan, dia juga sudah berjanji akan memenuhi kebutuhanku dan memberikan semua yang aku mau. Maaf, Ndra, terima kasih untuk cinta yang kamu kasih selama ini. Tolong tandatangani surat cerai kita karena aku sudah tidak mencintai kamu lagi!” Setelah membaca surat itu, Andra meremas surat di tangannya. Kepalanya mendongkak menahan semua rasa sakit kemudian menggeleng tak menyangka. “Tidak! Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Alana. Kamu tidak boleh meninggalkanku. Aku mencintaimu. Jangan minta bercerai dariku. Tolong jangan pergi Alana! Jangan pergi ….” Andra meraung-raung mengacak semua surat yang ada di atas tempat tidur itu hingga jatuh bertebaran di bawah lantai. Sementara itu, Nita dan suster dengan cepat menenangkannya sebelum Andra semakin kalap dan memperburuk kondisinya. “Sadar, Ndra! Sadar! Alana sudah pergi! Dia sudah tidak mencintai kamu lagi. Berhenti menghabiskan air mata kamu hanya untuk menangisi wanita seperti dia!” Andra masih meraung. Seolah tak mendengarkan Nita sama sekali. Ia meremas dan mengacak sprei untuk menumpahkan tangis dan emosinya. “Kenapa kamu pergi, Alana? Kenapa? Aku memang lumpuh saat ini, tapi kakiku akan sembuh lagi nanti. Aku masih bisa cari uang untuk kamu. Aku masih bisa bekerja. Jadi, tolong pulanglah Alana! Aku tidak mau kita cerai.” Nita menegakkan tubuhnya sambil menghembuskan napas kasar. Ia sangat kesal pada Alana yang berhasil menguasai hati dan pikiran Andra. Rasanya Nita ingin menjambak Alana saat itu juga. “Andra! Dengar Mama! Kamu itu laki-laki yang kuat! Berhenti menangisi dia!” Nita menangkup kedua pipi Andra dan membuat Andra menatap tepat pada matanya. “Aku masih tidak bisa percaya, Ma. Alana pergi meninggalkanku. Dia merobek buku nikah kami dan menulis sebuah surat yang membuatku hancur. Dia bilang, dia sudah tidak mencintaiku lagi..” “Dari awal, Mama dan Papa sudah memberitahu kamu. Kalau Alana itu bukan wanita yang baik-baik. Dia hanya mau memanfaatkan harta kamu, Ndra. Hanya harta yang dia cari. Dia pikir dia akan menjadi kaya setelah menikah dengan kamu. Tetapi akhirnya dia menyerah juga saat yang dia dapatkan hanya kesusahan. Mama minta kamu berhenti membuang air mata untuk w************n itu! Dia tidak pantas untuk kamu tangisi!” Andra merapatkan bibirnya, menahan rasa sesak yang begitu mendera di dalam hatinya. Matanya terpejam mengingat wajah Alana yang selalu ia pandang sebelum tidur. Tapi kini wajah itu menyisakan luka yang mendalam di hatinya. Alana sudah membuat hidupnya hancur berantakan. “Kembalilah, Ndra! Lupakan perempuan itu. Papa dan Mama sangat senang kalau kamu mau kembali ke rumah kita. Buktikan pada Alana, kalau kamu bisa jadi orang yang sukses, biar dia nyesel udah pergi ninggalin kamu!” Nita mempengaruhi pikiran Andra. Tentu saja ia tak ingin Andra dan Alana kembali bertemu sampai kapan pun karena yang Nita inginkan adalah Andra kembali tinggal di rumahnya dan membantu Darma mengelola perusahaan mereka. Kemudian, Nita dan Darma akan melanjutkan rencana mereka yang dulu sempat tertunda, yaitu menjodohkan Andra dengan Sherly–wanita pilihan mereka yang lebih dari segala-galanya dibanding Alana. *** “Tuan, saya minta maaf karena belum berhasil menemukannya.” Rian—salah satu orang suruhan Andra kini berdiri menghadap Andra dengan wajah tegangnya. Tatapan mata Andra menajam. “Kamu gagal, tapi masih berani menghadapku?” Delapan tahun berlalu Andra telah berubah menjadi lelaki tegas yang tak berperasaan. Ia tak segan menghardik semua orang yang tak bisa menjalankan tugasnya dengan benar. Kedua kaki Andra juga sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal berkat terapi yang rutin ia jalani. Namun, luka di hatinya tak kunjung sembuh. Masih menumpuk rasa benci. Setidaknya sampai dirinya bertemu dengan Alana dan bisa meluapkan semua amarahnya pada mantan istrinya itu. Makanya, sampai saat ini, dia bahkan masih mencari di mana perempuan yang sudah memberinya luka itu berada. Tentu saja Andra tidak akan puas sebelum bisa menemukan Alana dan memberikan pelajaran pada wanita itu. “Maaf, Tuan. Saya akan berusaha mencari Alana sampai ketemu. Saya akan pastikan itu, Tuan. Saya janji.” “Aku tidak percaya,” kata Andra dengan nada dingin. “Sekarang juga kamu akan ku pecat. Keluarlah dari ruanganku dan jangan berani hadapkan wajahmu lagi padaku!” Bola mata Rian melebar. Ia menatap Andra penuh harap, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Saya mohon jangan pecat saya, Tuan. Kasih saya waktu, saya pasti bisa menemukan Alana dan membawanya pada Tuan. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi! Saya tidak ingin dipecat—“ Andra tak menggubrisnya meski Rian memohon hingga mulut lelaki itu berbusa. Jemari tangan Andra yang keras kini bergerak menekan sebuah tombol yang ada di atas meja kerjanya. Tak lama kemudian, dua orang keamanan datang menghadap Andra. “Bawa dia keluar! Dia sudah mengganggu pekerjaanku!” suruh Andra pada kedua keamanan itu. Mereka mengangguk patuh pada Andra, lantas dengan cepat meringkus Rian yang berontak tak ingin ditarik keluar. Ia masih ingin memohon pada Andra agar tidak memecatnya. “Tidak, Pak! Saya tidak mau. Tuan Andra, tolong jangan pecat saya—“ Andra mendengus, melihat punggung ketiga orang itu yang kini menghilang dari balik pintu ruang kerjanya. Setelah bisa berjalan dengan normal, Darma memang langsung memberikan kepemimpinan perusahaannya pada Andra mengingat usianya yang sudah renta. Pria paruh baya itu tahu jika putranya pasti bisa mengembangkan perusahaannya dengan baik. Terbukti dengan banyaknya proyek besar dengan nilai keuntungan yang fantastis berhasil Andra taklukan hingga bisa membawa perusahaan sang ayah jauh lebih maju dari sebelumnya. “Di mana kamu, Alana?” Andra bertanya sinis. Di dalam ruang kerjanya yang sepi dan sunyi. Tidak ada satu orang pun di sana, kecuali dirinya. “Jangan harap kamu bisa lepas dariku semudah itu. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu harus membayar apa yang kamu lakukan padaku delapan tahun lalu. w************n sepertimu, harus mendapatkan balasannya!” kecam Andra dengan gigi yang menggeletuk. Tatapan matanya sarat akan benci dan kemarahan. Sementara tangannya terkepal dengan erat di atas meja hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Tak bisa dipungkiri jika Alana telah menorehkan luka yang terlalu dalam di hatinya hingga memupuk kebencian yang begitu besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD