IV. Kelebihan dalam Kekurangan

1395 Words
"Sekali lagi terimakasih atas kunjungannya, bu Yoana. Jangan kapok main-main kesini." "Sama-sama. Nggak dong. Kan banyak anak-anak yang pintar disini. Ibu suka sama anak pintar soalnya. Jadi gak akan bosanlah." balas Yoana mendapat senyum bahagia dari anak-anak. Yoana dan Nando akan segera pulang. Mereka pun berbondong-bondong mengantarkan sang tamu tersebut. Di teras depan, para anak muda relawan yang semuanya perempuan memperhatikan pengantaran itu. "Udah ganteng anaknya orkay lagi. Perfect banget tuh cowok." "Bu Ratna bilang anak satu-satunya lagi. Duh... liat yang ginian rasanya pengen langsung bawa ke KUA. Hahaha" "Ada-ada aja lu. Lagian cowok kayak gitu ciri khasnya playboy banget. Emang pada mau habis manis sepah dibuang? Gue sih ogah. Daripada ngayal gak penting, mending nikmatin apa aja yang ada. Mukannya kan handsome banget tuh, cukup itu aja buat cuci mata." Berbeda dengan teman-temannya, Rindy hanya mengamati ibu dan anak itu dalam diam. Dan entah ada angin apa, mata coklatnya begitu saja bertemu netra hitam intens milik Nando. Kegiatan saling pandang itu cukup lama terjadi sebelum Nando melempar kedipan sebelah mata lalu berbalik masuk ke dalam mobil. Teman-teman Rindy tiba-tiba histeris disampingnya. "Gue gak salah liat kan? Tadi dia main mata ke gue!" "Jangan geer. Jelas-jelas dia ngeliatnya ke gue!" "Ke gue!" "Gue!" "Stop!" pekik cewek berkepang satu menghentikan kedua temannya itu. "Lo berdua ya, masalah gini aja diributin. Lagian ya, April, Billa, belum tentu tuh cowok ngedipin lo berdua. Bisa jadi dia kelilipan doang. Gitu aja kok ribut. Kayak Rindy dong anteng aja bawaannya. Selow," "Yaelah Katy, justru aneh kali kalo Rindy banyak ngomong kayak cocotnya April. Perlu di rukiyah kalo ampe terjadi." sahut Bila mendapat toyoran dari April. "Enak aje lu. Kayak lu enggak." Rindy hanya bisa tersenyum lucu melihat ketiga temanya yang super aktif di segala hal itu. Ketika keempatnya kembalikan fokus ke depan, mobil silver milik Yoana sudah melaju pergi. "Ndy, menurut lo cakepan kak Angga apa cowok tadi?" tanya April kepo. Mendengar itu Billa dan Katy ikutan nimbrung penasaran. Pasalnya, Angga senior mereka di kampus sudah lama menyukai cewek itu. Cuma Rindynya saja yang tidak pernah peka. "Maksudnya Nando?" tanya Rindy balik dengan polosnya. Ketiga temannya saling lirik terkejut. "Itu nama cowok tadi?" Rindy mengangguk. "Lo kenal dimana? Kok kita gak tau," "Aku juga baru tau, kok. Waktu lagi nyuci piring gak sengaja ketemu di dapur." ketiganya ber-o ria. Rindyani Putri atau gadis yang akrab disapa Rindy adalah gadis ramah yang murah senyum. Rindy tidak akan sungkan memberi senyumannya bahkan pada orang yang tak dikenal. Sekedar ramah tamah saja. Rindy memang mempunyai keterbatasan. Ya, dia adalah satu diantara mereka yang tidak dibiarkan bebas menangkap apapun yang berhubungan dengan bunyi. Gadis cantik itu adalah seorang tunarungu ketika usianya menginjak angka Enam. Saat itu Rindy demam sangat tinggi selama beberapa hari. Dan tiba-tiba indra pendengarannya mengalami gangguan. Dokter yang menanganinya saat itu berkata bahwa demam juga dapat menyebabkan tunarungu dan ini termasuk dalam kategori gangguan pendengaran tipe konduksi. Kondisi ini disebabkan karena telinga bagian tengah tidak mampu menangkap gelombang suara. Sekilas, gangguan pendengaran ini mirip dengan saat telinga bagian tengah kamu mengalami infeksi. Namun saat itu Rindy kecil tidak memperdulikannya. Apalagi zaman sekarang sudah ada alat bantu dengar simple. Ketika awal-awal remaja, kekurangan tersebut memang sempat mempengaruhi mental Rindy. Ia menjadi teramat pendiam mengurung diri merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Sebenarnya itu semua bukan karena ada teman ataupun orang yang mengejeknya. Itu terjadi ketika hormon remajanya meningkat dengan didominasi oleh keingintahuan sendiri. Saat itu dia sedang puber-pubernya dengan media bernama smartphone. Menampilkan banyak perempuan-perempuan cantik yang dimatanya begitu sempurna dilengkapi dengan kepintaran. Disitulah Rindy merasa teramat kecil. Pikirannya membawanya berkelana jauh dimana ia dewasa nanti. Akan bagaimana hidupnya dengan keterbatasan yang dimilikinya ini? Dan semua pemikiran yang ada dikepala anak remaja awal berusia 13 tahun itu berdampak pada kepercayaan dirinya. Rindy selalu mendoktrin diri sendiri akan ketidakpantasannya untuk orang lain disisinya. Guncangan itu tidak hanya mempengaruhi Rindy sendiri. Kedua orang tuanya pun merasa prihatin terhadap perubahan drastis putri mereka. Namun dengan usaha keras keduanya, Rindy akhirnya kembali mendapatkan kepercayaan diri ketika gadis itu berhasil mendapat nilai UN tertinggi saat kelulusan SMP. Ditambah gadis itu berhasil meraih dua piala lainnya dari bidang menggambar dan badminton. Rindy sangat senang kala itu. Senyumnya mengembang dengan raut haru menunjukkan penghargaan yang didapatnya pada kedua orang tuanya. Rindy merasa... hidupnya sudah sempurna apa adanya. Cara orang-orang didekatnya membuat Rindy merasa cukup dengan apa yang dimiliknya. Pria yang dipanggilnya Ayah bukanlah orang yang terkenal juga kaya raya. Beliau hanya pria yang berprofesi sebagai seorang guru tetap di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kawasan Jakarta Utara. Bundanya tidak jauh berbeda. Tidak berbeda dengan ibu rumah tangga lainnya. Wanita itu melimpahkan kasih sayang yang tak terhingga padanya. Mengajarinya agar menjadi gadis baik, tidak sombong, dan tidak boleh mendiskriminasi teman. Dan untuk yang terakhir, tentu saja Rindy sangat paham dan akan melakukannya tanpa diberitahu. Dibedakan itu tidak baik dan menyesakkan bagi objeknya. Terlepas dari itu semua, intinya Rindy menyayangi dan sangat bersyukur karena Tuhan memberikannya orang tua yang luar biasa. Hari-harinya pun berjalan layaknya remaja normal lainnya. Dan untuk masalah teman, Rindy memilik mereka banyak. Entah itu ketika sekolah dasar hingga usianya yang sekarang ini menginjak angka 20. Disamping Rindy yang ramah, dengan diberkati wajah ayu nan manis membuat gadis itu banyak didekati cowok seangkatan, senior bahkan juniornya di kampus. Mereka sama sekali tidak masalah dengan kekurangan yang dimiliki Rindy. Belum lagi wajah lugu yang acap kali terpampang ketika para lelaki itu menyapa sekedar basa-basi. Menanyakan sesuatu yang Rindy tidak mengerti, tentu saja Rindy yang tidak tahu apa-apa hanya memberi raut berpikir keras yang pada akhirnya meminta maaf karena tidak ingat. Gadis itu masih sangat polos dilingkaran remaja zaman sekarang. Contohnya seperti sekarang ini; Rindy berjalan di koridor kampus dengan dua buku tebal dipelukan tangan kirinya. "Rindy," sapa lelaki berhodie army menghentikan Rindy. Rindy membalas senyum cowok itu. "Calon dokter cantik mau masuk kelas, ya?" Rindy kembali tersenyum sudah biasa mendapat sebutan itu. Rindy memang mahasiswi kedokteran tingkat dua disana. "Kamu gak lupakan aku pesen apa kemarin?" ujar cowok itu dengan muka serius. Rindy sontak saja bingung. Semakin gadis itu berpikir maksud cowok didepannya yang saat ini berusaha mengulum senyum, semakin pula Rindy tidak enak hati. Ia merasa tidak mengingat apapun soal pesan yang dimaksud lawan bicaranya. Tapi yang makin membuatnya bingung adalah jangankan pesannya, orangnya saja Rindy tidak tahu. "Kamu... Rian? Eh, Tristan? Maaf, aku bener-bener gak inget." "Yah... kok sakit ya kamu sampe lupa sama aku." Rindy semakin menyesal. "Maaf." mendapati permohonan maaf itu cowok tadi malah tertawa. Ketika tawanya berangsur reda, cowok itu menyorot Rindy geli. "Kamu pesan makanan di resto bunda?" lelaki itu tertawa tertahan kemudian menggeleng. Perlu kalian tahu, bunda Rindy juga membuka restoran makanan nusantara. Rumah makan itu sudah terkenal di kampusnya karena pemiliknya adalah ibu dari Rindyani Putri si gadis mungil berparas ayu. Makanya jika kata pesan itu bukan ditujukan ke arah sana, lalu cowok ini pesan apa sebenarnya? "Jadi...?" "Jadi bener-bener lupa nih? Yaudah aku ulangin. Jadi, yang aku pesen itu cewek yang didepan aku ini." cowok itu mencubit lembut pipi kiri Rindy. Rindy menepisnya agak risih lalu bertanya, "Maksudnya?" "Iya kamu. Kamu ituloh, kalo senyum tuh jangan manis-manis. Bahaya tau." "Gitu aja? Maksudnya apa, sih?" cowok itu mengangguk tanpa dosa. "Emang maunya gimana? Maunya disayang yah?" "Rey..." desis suara berat menginterupsi keduanya. Cowok tadi meringis mengetahui siapa pelakunya. "Pis Ngga, becanda." cowok itu menunjukkan telunjuk dan jari tengah. Lelaki yang baru saja datang menatap tajam ke arah Rey yang kemudian ia alihkan berubah lembut kepada Rindy. Gadis itu membelasnya tersenyum. "Lain kali kalo dia manggil, kamu langsung lari aja. Yang gak jelas gini gak usah diladenin." "Temen kakak?" "Bukan." jawaban enteng Angga membuat Rey membeliak. "Songong banget lo gak ngakuin gue! Oke...oke..." "Kalo gak kenal, kok kalian saling tau nama?" wajah Rindy terlihat benar-benar heran. Dan kedua lelaki dihadapannya saling melirik kemudian tertawa pelan. "Cewek lo, man. Kek gitu aja musti diajarin. Polos ama b**o emang beda tipis. Gue karungin juga lo, Ndi." akibat ceplosanya itu Rey mendapat plototan Angga. Angga menatap Rindy pengertian. "Rindyani, saling tau nama itu soal mudah cantik. Buktinya Rey tau kamu meski kamu gak tau dia? Iyakan?" Rindy mengangguk ragu membenarkan. "Mmm... sore kamu ada waktu gak?" tanya Angga berikutnya. Membirkan Rey yang memilih pergi meninggalkan keduanya dengan sebelumnya menepuk bahu kanan Angga sebagai penyirat kata pamit. Rindy mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu memang sudah memiliki rencana bersama teman-temannya sore ini. Tak pelak Angga sedikit kecewa mendapati itu. Meski begitu Angga menutupinya dengan senyum hangat. "Oh, yaudah. Kamu mau ke kelas kan?" lagi-lagi Rindy mengangguk. "Aku anter." membiarkan saja, keduanya melangkah beriringan dengan membumbuinya dengan obrolan-obrolan singkat yang sesekali membuat keduanya tersenyum.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD