4. PERHATIAN UNTUK TETANGGA

1456 Words
Anya menuruni anak tangga rumahnya yang tidak terlalu panjang, kemudian melangkah menuju dapur untuk membuat sarapan. Penampilannya sudah rapi dengan make up tipis serta rambut yang diikat rapi. Tidak lupa tote bag di tangannya untuk memuat beberapa barang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam dan ia harus berangkat pagi untuk siaran radio jam tujuh. Di dapur sudah terdengar ribut suara sang ibu. Agni selalu bangun pagi karena harus buka warung makan dan menyempatkan diri membuat sarapan untuk Anya dan Alro. “Pagi kanjeng ratu tercinta dan cantik sejagat raya .” Dipeluk dan diciumnya sang ibu dengan penuh semangat. Meski ibunya galak dan mereka sering bertengkar, tetapi hubungan Anya dan Agni sangat dekat. Tumbuh dewasa dengan kasih sayang ibunya, membuat ikatan batin mereka juga kuat. “Pagi Sayang.” “Mama buat apa?” tanya Anya sambil melihat apa yang ada di dapur. “Mama buat zuppa soup. Tolong bawakan ke rumah Kin, ya.” “Buat Mas Kin?” Anya agak terkejut. “Memangnya dia mau, Ma?” Agni mengangguk yakin. “Pasti mau. Ini bukan kali pertama, kok. Sebelumnya Mama sempat bawakan makanan dan dia terima.” “Oh begitu. Tapi ini masih terlalu pagi. Mungkin dia belum bangun.” “Biasanya jam segini dia lagi siram taman.” Kening Anya mengernyit, wajahnya heran. Bagaimana tidak, ibunya sampai tahu hal sedetail itu mengenai tetangga baru mereka. “Kok Mama sampai tahu kebiasaan Mas Kin?” Agni menghentikan aktivitasnya mencuci piring, lalu menatap putrinya. “Anya, selama kamu dinas ke luar kota, Kin sudah ada di sini. Jadi sudah pasti Mama tahu apa yang jadi kebiasaannya karena Mama selalu bangun dan berangkat pagi.” Anya menggaruk pelipisnya mendengar penjelasan ibunya yang terdengar gemas kepadanya. “Kan, aku nanya karena nggak tahu, Ma.” “Sudah cepat antar. Kamu buru-buru, kan. Sarapan dulu sebelum pergi,” ucap Agni mengusir putrinya. Sambil membawa kotak berisi zuppa soup, Anya berdiri di depan pintu pagar rumah Kin. Ia menekan bel rumah, agar dibukakan pintu. Ada jengkel yang Anya rasakan karena apa yang ibunya katakan tidak benar. Rumah Kin terlihat sepi tanpa ada aktivitas. Tetangganya masih belum menampakkan batang hidungnya. “Mama sok tahu. Mana Mas Kin bangun pagi terus siram taman? Keadaan rumahnya saja masih gelap,” gerutunya. Anya sempat menghentikan aksinya menekan bel rumah karena berpikir mungkin Kin sedang istirahat. Apalagi setelah kejadian kemarin, ia ingin bersikap lebih hati-hati. “Baiklah, kita coba sekali lagi. Kalau nggak ada respon, artinya aku harus pulang.” Keputusan Anya sudah bulat. Jari tangannya menekan sekali lagi bel rumah milik duda itu. Dan hasilnya masih sama, tidak ada jawaban. Anya menghela napas, lalu berbalik badan. “Lagian kurang sopan ganggu orang sepagi ini.” Kaki Anya mulai berjalan menuju ke rumahnya. Tetapi baru beberapa beberapa langkah saja, ada sesorang yang memanggilnya. Niatnya untuk kembali menjadi tertunda. “Zeevanya?” Anya menoleh ke sumber suara dan melihat Kin keluar dari rumah. Pria itu melangkah mendekati pagar, tempat ia sedang berdiri. “Mas Kin, aku ganggu, ya?” Pria itu datang dengan mengenakan hoodie berwarna hitam dan celana panjang. Wajahnya khas bangun tidur, tapi terlihat pucat. Ditambah dengan perban yang masih menempel, sisa kejadian kemarin. “Tidak. Saya sudah bangun tapi masih berbaring,” jawabnya dengan suara yang aneh. “Suaranya Mas Kin kok serak begitu? Lagi sakit?” “Semalam saya demam tapi sekarang sudah tidak apa-apa.” Begitu pintu pagar dibuka, Anya langsung mendekat, lalu menempelkan punggung tangannya di kening pria itu. Wajahnya terkejut karena tubuh Kin masih panas. “Panas begini, masa bilang nggak apa-apa.” Kin masih berusaha mengulas senyum. “Tidak apa-apa. Saya sudah minum obat.” “Jangan-jangan karena kejadian kemarin. Apa kita ke dokter lagi? Aku takut terjadi infeksi,” Anya mulai panik. “Sejujurnya, saya sangat takut jarum suntik. Jadi mungkin saya demam karena harus menerima jahitan,” jelasnya. “Ya ampun, maafin aku ya, Mas. Ini semua gara-gara aku. Mas jadi luka dan sekarang malah demam,” ucap Anya penuh sesal. Bukannya marah, pria itu justru kembali mengulas senyum manis. “Sudah saya bilang, saya tidak apa-apa. Jadi jangan merasa bersalah. Lagi pula karena urusan kita juga sudah selesai kemarin.” Anya mengangguk pelan. “Sudah minum obat?” “Sudah,” jawabnya. “Kamu bawa apa? Oh iya, ada keperluan apa pagi-pagi ke sini?” “Oh.” Anya langsung menyerahkan pemberian ibunya. “Ada zuppa soup buatan mama. Katanya ini untuk Mas Kin. Makan sekarang Mas, mumpung masih hangat.” “Wah. Mama kamu baik sekali. Seminggu saya pindah ke sini, ini kali ke tiga dikasih menu sarapan untuk saya.” “Mama memang suka masak, Mas.” “Kalau begitu sampaikan terima kasih saya kepada mama kamu.” Anya mengangguk. “Iya Mas.” Kin kembali memperhatikan penampilan Anya. “Pagi-pagi sudah rapi, mau pergi kerja?” “Iya Mas.” “Ya sudah, kalau begitu saya masuk dulu. Sekali lagi terima kasih.” “Mas Kin tunggu!” “Iya?” “Mas Kin beneran nggak apa-apa? Saya bisa kok lagi ke dokter.” Kin menggeleng pelan. “Istirahat yang cukup, sakitnya pasti hilang.” “Ya sudah, kalau memang maunya Mas Kin begitu. Cepat sembuh ya, Mas,” ucap Anya sebelum benar-benar pergi. *** “Capek, Non?” Anya menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kerjanya setelah menyelesaikan siaran radio selama satu jam. Berita yang ia bawakan di hari minggu adalah tentang olahraga. Seharusnya siaran ini adalah jadwal temannya. Tetapi karena sedang cuti, akhirnya Anya yang menggantikan. Padahal ia masih sangat lelah setelah tugas seminggu ke luar kota. “Nggak, sih. Cuma nggak biasa siaran jam segini,” jawabnya. Anya melihat rekan kerjanya menikmati bakpia yang ia bawa dari Yogyakarta. “Aku mau nanya sesuatu sama kamu. Tapi jawabnya serius ya.” Kyomi, rekan kerja Anya mengangguk cepat. “Mau tanya apa? Jangan nanya soal gosip selama kamu keluar kota karena aku nggak tahu.” Anya berdecak. “Bukan. Lagian aku nggak peduli soal gosip di sini.” “Terus mau nanya apa?” “Jadi gini, kalau kamu punya tetangga baru dan dia lagi sakit, kira-kira kamu peduli, nggak?” Kening Kyomi langsung mengkerut, menatap Anya dengan curiga. “Tetangga baru?” “Iya. Dia sendirian dan sedang sakit. Tindakan kamu gimana, Mi?” “Jujur saja, nggak usah berandai-andai atau bermisal-misal,” sindir Kyomi. “Sebenarnya kamu lagi mengalami sendiri, kan?” Anya berdecak sebal. “Jawab aja, Mi. Kamu bakalan peduli atau cuek saja?” Kyomi menarik kursi di sebelah Anya, lalu duduk di sana. Mulutnya sudah berhenti mengunyah dua buah bakpia rasa cokelat. “Gimana, ya? Menurutku sih, sesama tetangga harus punya hubungan baik. Dengan tujuan, kalau ada apa-apa, bisa saling bantu atau minta tolong. Ya sebaiknya kasih perhatian, apalagi tinggal sendiri,” jelas Kyomi. “Oh begitu …” “Memangnya kamu punya tetangga baru? Cewek atau cowok? Kok kamu sampai galau begini?” cecar Kyomi. Anya menghela napas, lalu menyalakan komputer di meja kerjanya. “Rumahnya si Arlo sudah ada yang beli. Nah yang beli cowok dan seorang duda.” “Wow! Duda?” “Kenapa?” tanya Anya karena heran melihat reaksi temannya. “Dudanya ganteng nggak? Atau tipe om om hot gitu? Butuh sugar baby, nggak?” Tatapan mata Kyomi sudah menyiratkan isi kepada wanita itu. Anya menyipitkan mata, lalu berdecis pelan. “Kepo! Nggak akan aku kasih tahu biar kamu penasaran.” “Ih! Sudah pasti ganteng dan hot makanya sampai buat Zeevanya Gabriella galau. Dari pertanyaannya saja sudah aneh, sudah pasti ada sesuatu di antara kalian,” sindir Kyomi. “Berisik!” *** Anya menatap makanan yang tergeletak kursi sebelahnya. Makanan khas orang sakit serta beberapa buah. Tidak lupa juga beberapa roti dan camilan karena kemarin ia melihat kulkas milik tetangganya kosong. Tetapi Anya sangat ragu membawakan itu semua. Bukan karena sayang dengan makanannya, tapi malu dengan reaksi Kin nanti. Padahal niat Anya baik dan tidak ada maksud terselubung. Terlebih ia masih merasa bersalah setelah apa yang terjadi kemarin. “Apa suruh Arlo saja, ya?” gumam Anya. “Tapi dia belum pulang.” Akhirnya Anya memutuskan untuk turun dari mobil yang sudah parkir di garasi rumahnya. Tidak lupa makanan untuk Kin dibawa keluar. Disaat yang bersamaan, terdengar suara deru mobil. Anya bergegas karena mobil tersebut milik duda itu. “Mas Kin lagi sakit, tapi kenapa keluar rumah? Wah, jangan-jangan dia pergi ke dokter sendirian,” batinnya. Saat Anya keluar dari rumahnya, saat itu juga Kin turun dari mobil. Wajahnya langsung menampakkan senyum melihat pria itu. Apalagi mendapat sambutan manis, membuat Anya merasa senang. “Zeevanya?” “Mas Kin …” Belum selesai Anya menyelesaikan kalimatnya, ada seorang wanita turun dari mobil Kin. Wanita cantik yang membuat Anya terdiam dengan raut wajah terkejut. “Dia siapa, Mas?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD