9. SUKA DENGAN TETANGGA?

1503 Words
Suara alunan musik klasik terdengar dari arah dapur, membuat suasana pagi di rumah terasa semakin damai. Memancing siapa pun untuk tetap menikmati tempat tidur yang hangat. Namun hal ini tidak berlaku bagi Anya dan Arlo. Justru Agni sengaja memutar musik ini agar anak dan keponakannya segera bangun. Dan benar, usahanya ini selalu berhasil. Tepat pukul enam pagi, Anya sudah turun dari kamarnya dengan pakaian kerja yang rapi. Menenteng sepatu yang sengaja tidak dipakai dan justru mengenakan sandal jepit kesayangannya. Arah kakinya tentu saja menuju dapur. Menghampiri ibunya yang belum berangkat ke warung makan. “Good morning ibunda ratu kesayanganku. Masak apa, nih?” Seperti biasa, Anya memberi pelukan serta ciuman kepada ibunya. Sikap hangat antara anak dan ibu, yang membuat hubungan keduanya tetap dekat. “Mama Cuma panggang roti. Kamu bagi sama Arlo, ya.” “Oke.” Anya mengambil satu roti panggang yang sudah dioles selai nanas, lalu memasukkan ke mulutnya. “Arlo belum bangun? Mama pergi sama dia, kan?” tanyanya sambil mengunyah. Agni menggeleng sambil mencuci tangan. “Mama naik taksi. Arlo ada meeting, jadi Mama nggak mau ganggu dia.” “Ya sudah, aku yang antar ya, Ma.” “Nggak usah. Mama sudah pesan taksi dan sudah ke sini. Lagi pula arah kita berbeda.” Agni mengambil tas di atas meja makan. Tidak lupa, menghabiskan teh jahe hangat yang tinggal setengah gelas. “Jangan lupa, kunci pintu dan pastikan semua aman, sebelum kamu atau Arlo pergi. Terutama ac, jangan sampai lupa dimatikan. Biasanya kamu tersangka utamanya,” ucap wanita itu. Disindir demikian, membuat Anya menghela napas pelan. “Iya ibunda ratu, siap laksanakan.” Anya kembali melanjutkan sarapannya setelah Agni pergi. Selesai sarapan, ia pergi ke garasi untuk menyalakan mobil, sebelum dibawa pergi. Setelah itu, ia ingin kembali ke kamarnya, untuk mengambil ponsel yang lupa dibawa. Saat hendak pergi, samar-samar Anya mendengar suara wanita. Bukan hanya satu, tapi lebih. Saking kerasnya, memancing rasa penasarannya untuk mencari tahu. Lantas, ia mendongak sedikit dari pintu pagar. Betapa terkejut Anya saat melihat Kin sedang bersama dua wanita di depan rumah pria itu. Kedua matanya menyipit, menatap dengan rasa penasaran. “Itu bukannya tetangga di belakang, ya? Kenapa mereka akrab sekali dengan Mas Kin?” Awalnya Anya tidak terlalu ingin peduli. Tetapi saat melihat dua wanita itu berusaha memegang tangan Kin, bahkan saat pria itu menolak pun, rasa kesalnya mulai terpancing. Tanpa pikir panjang, Anya membuka pintu pagar rumahnya dengan keras, demi menarik perhatian dua wanita muda itu. Dan benar, tindakannya berhasil. Anya memasang wajah ramah dan santai. Berjalan menghampiri Kin, yang tangannya masih dipegang oleh dua wanita yang juga menjadi penghuni komplek tersebut. “Zeevanya?” Wajah Kin nampak lega. “Pagi Mas.” “Pagi.” Tatapan mata Anya tertuju pada wanita di hadapannya. “Kalian sedang apa? Kenapa pegang tangan Mas Kin?” Dua wanita itu langsung melepaskan pegangan tangan mereka kepada Kin. “Oh, enggak kok. Niatnya mau ngajak Mas Kin keliling sekali lagi. Biar lebih ramai.” “Iya tapi Mas Kin nolak.” Kin meringis, tersenyum dengan canggung. “Tapi saya buru-buru. Dan waktu joging saya sudah habis.” “Duh Mas Kin. Ini masih pagi loh. Lagian tadi janji mau satu putaran lagi.” “Iya tapi ternyata saya lupa kalau ada online meeting.” Anya berdeham karena sudah tidak bisa menahan kesal. “Sudahlah, kalian jangan maksa. Apa nggak malu ngajak orang yang baru dikenal, buat nemenin joging. Apalagi Mas Kin sudah nolak dengan halus.” “Memang kenapa? Tadi saja nggak nolak.” Wanita dengan rambut berwarna pirang, nampak kesal dengan ucapan Anya. “Bukan nggak nolak, tapi Mas Kin memang suka joging. Mau menolak pun, nggak akan bisa.” Wanita yang satu mendengkus sebal. “Tapi kenapa kamu yang ikut campur? Memangnya kamu pacarnya Mas Kin?” “Aku geli lihat kalian jadi wanita pemaksa.” “Kamu!” Kin menarik tangan Anya untuk melerai agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “Tolong jangan ribut. Kalau didengar sama tetangga yang lain, pasti sangat memalukan,” ucap pria itu. “Sebaiknya kalian berdua pergi saja. Saya cukup terganggu dengan kalian.” Kedua wanita itu nampak kecewa dengan perkataan Kin. Mereka pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tetapi, dari raut wajahnya sudah menyiratkan rasa kesal. Tidak menyangka kalau duda tampan itu akan sejujur ini. “Kamu ada perlu dengan saya?” tanya Kin pada Anya. Anya menggeleng. “Enggak. Aku mau bantu Mas Kin. Dari rumah aku perhatikan, Mas Kin nggak nyaman disosor sama dua wanita tadi. Makanya aku ke sini.” Kin tersenyum sekaligus menggeleng. “Harusnya kamu nggak perlu melakukan ini, Anya. Saya nggak mau kamu jadi bertengkar.” “Gimana bisa aku diam saja. Lagian, harusnya dari awal Mas Kin tegas sama mereka. Dua bersaudara itu, paling suka berburu cowok ganteng. Apalagi kalau Mas Kin berstatus duda. Bisa-bisa diangkut ke rumah mereka,” jelas Anya dengan wajah sebal. Terang saja perkataan wanita itu memancing tawa dari Kin. “Astaga Anya. Kamu ini bisa saja.” Anya mendengkus sebal. “Ya sudah, aku pergi dulu. Lain kali Mas Kin hati-hati, jangan terpancing sama mereka.” “Iya Anya. Terima kasih karena sudah peduli dengan saya,” balas Kin. Sambil menggerutu, Anya kembali ke rumahnya. Ia tidak habis pikir kalau ternyata Kin meladeni dua wanita barusan. “Sudah tahu duda, ganteng pula. Apa Mas Kin nggak sadar kalau pesonanya bisa membahayakan dirinya sendiri?” “Ngedumel sendiri. Kamu nggak waras, Nya?” Suara Arlo di depan rumah membuat Anya terkesiap. Siapa sangka kalau sepupunya akan mengejutkannya. “Bisa nggak sih jangan bikin kaget!” “Siapa yang bikin kaget, Nya?” tanya Arlo. “Kamu saja melamun sambil menggerutu, makanya kaget.” “Ya pokoknya kamu bikin kaget! Arlo heran melihat reaksi sepupunya. Sambil menggaruk kepala, ia menatap kepergian Anya ke lantai dua. “Dia kenapa, sih? Pagi-pagi sudah bad mood.” *** Pagi ini, Anya melakukan siaran dengan Kyomi. Siaran rutin setiap senin sampai jumat, pukul 10 pagi. Program yang dibawakan oleh mereka adalah sesi curhat atau berkirim pesan dari pendengar setia Summer Radio. Dan sudah berlangsung selama dua tahun, keduanya menemani pendengar dengan program ini. Dua lagu baru saja selesai diputar. Kini waktunya Anya dan Kyomi memilih beberapa pesan masuk, yang akan mereka bacakan. Wajah Anya nampak tidak semangat. Bahkan keningnya nampak mengerut. Kyomi pun sadar tapi berusaha mencairkan suasana. “Jadi ada pesan dari siapa, nih?” tanya Anya pada Kyomi. “Oke. Ada pesan dari Putri. Katanya mau kirim salam buat pacar yang ada di pulau seberang. Katanya Putri kangen sama pacarnya.” “Wah, jadi pejuang LDR, dong.” “Buat Putri, yang sabar, ya. Semoga segera bertemu sang kekasih.” “Aku suka salut sama pejuang LDR. Bisa tetap setia, menunggu sampai bisa bertemu lagi,” ucap Anya. “Kamu pernah LDR nggak, Nya?” Anya menggeleng. “Hampir, tapi memutuskan untuk berpisah baik-baik karena merasa nggak akan sanggup.” “Nggak mau dicoba?” tanya Kyomi kembali. “Enggak, sih. Mungkin aku tipe yang berbeda dengan Putri tadi. Punya keyakinan untuk tetap bersama. Sepertinya aku terlalu pesimis.” “Mungkin bukan pesimis, tapi nggak mau ambil risiko.” Anya mengangguk. “Betul. Tapi aku karap Putri dan pasangannya tetap bertahan dan langgeng selalu.” Setelah membaca beberapa pesan, waktunya memutar lagu kembali. Anya meneguk air putih karena bibirnya terasa kering setelah banyak bicara. Sebenarnya suasana hatinya sedang buruk setelah apa yang terjadi tadi pagi. Aneh memang, kenapa harus sekesal ini atas tindakan dua orang yang menggoda Kin. “Nya, kamu lagi ada pikiran, ya?” Anya menggeleng ragu. “Kenapa?” “Ya nggak kayak biasanya. Malah aku yang lebih banyak ngomong. biasanya kamu selalu lebih ceriwis daripada aku.” “Tadi pagi, ada hal yang bikin aku kesal. Mungkin secara nggak langsung, ngaruh ke suasana hati kali, ya.” Kening Kyomi mengkerut. Sepertinya Anya punya cerita yang seru. “Memangnya kenapa?” “Soal tetanggaku.” “Tetangga kamu?” Anya menceritakan secara singkat tentang kejadian tadi pagi. Bahkan juga mengatakan hal aneh yang ia rasakan. Kesal pada sesuatu yang harusnya bukan menjadi haknya. “Kalau kamu jadi aku, pasti kesal juga, kan?” “Aku nggak akan jawab dulu. Tapi aku merasa curiga sama kamu, Nya.” “Curiga?” Kyomi mengangguk tegas. “Jangan-jangan kamu suka sama dia.” Anya terdiam dengan wajah menegang. Tidak lama, ia tertawa renyah. “Ngaco. Mana mungkin, Mi. Aku baru saja kenal sama Mas Kin, masa langsung suka.” “Semua bisa terjadi, apalagi menyangkut perasaan,” ujarnya. “Kamu saja merasa aneh, apalagi aku yang sebagai pendengar.” “Nggak. Kamu salah paham. Aku Cuma nggak suka temanku ada yang ganggu. Itu saja kok,” elak Anya. Kyomi mengangkat bahunya ringan. “Kalau Cuma teman, harusnya kamu nggak akan sedongkol ini, sih.” Sepertinya Anya salah memilih tempat curhat. Bukanya ia menjadi lega, tapi justru dibuat semakin gelisah. “Mana mungkin aku suka dengan Mas Kin. Dia hanya orang baru, yang menarik perhatianku. Itu saja, tidak lebih,” gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD