Si*al! Jun kepikiran banget kan, jadinya sama kalimat April. Dan nggak tau kenapa, itu bikin moodnya down seharian ini. Dia susah buat fokus sama kerjaannya karena di kepalanya udah penuh sama pertanyaan - pertanyaan yang malah cuma dijawab sambil lalu sama April.
April beneran ini udah nggak perawan?! Dia lakuin itu sama siapa?! Emangnya April punya pacar?! Sejak kapan? Kok dia nggak tau?! Jadi ini serius April udah nggak…
“Arrrgh!” Dia melempar map yang sedang berusaha dia pahami isinya ke atas meja. Wajahnya gusar dan kesal.Dia mengusap kasar wajahnya dengan tangan kanannya. Kepalanya pusing! Dia juga jadi luar biasa galau dan gaje.
“Kenapa?” April bertanya dari mejanya.
Matanya bertemu pandang dengan mata besar April yang berkelopak tebal. Membuat kesan mata itu selalu terlihat ngantuk. Tatapannya yang polos membuat Jun semakin gusar sendiri tanpa alasan yang jelas. Masa sih, anak ini… dia tau April nggak polos - polos banget. Tapi dia juga tau kalau April bukan orang yang nekad an. April bukan orang yang impulsif.
Nggak seperti kebanyakan orang yang dia kenal, April selalu berhati - hati. Selalu mikirin perasaan orang lain sebelum perasaannya sendiri.
Dia menatap April dalam, sampai April yang ditatap jadi jengah sendiri.
"Apa sih, Jun? Gitu amat liatin gue."
"Gue lagi mikir."
April membuat wajah kaget yang dibikin - bikin, yang biasanya sukses membuat Jun sebal luar biasa.
"Lo bisa mikir sekarang?! Wah, sungguh prestasi yang luar biasa Bapak Juni!"
"Si*lan lo."
"Mikir apa sih. Kerja nih, kerjaan lo dari tadi nggak kelar - kelar nih. Gue juga ntar yang diburu-buru."
"Ck! Nggak konsen gue."
Sekarang April beneran mengernyit bingung. Wajahnya jadi concern, bukan lagi ekspresi meledek seperti sebelumnya. Dia memutar kursinya menghadap Jun. "Ada apaan sih? Lo lagi ada masalah?"
"Ada gede bangetm sampe pusing gue mikirinnya dari tadi."
"Serius? Mau cerita?"
"Mau. Tapi lo aja yang cerita sama gue."
"Kok jadi gue?" April bertanya nggak terima.
"Karen cuma lo yang punya jawabannya. Bilang sama gue siapa."
"Siapa yang siapa?"
"Siapa yang merawanin lo?"
Ekspresi April berubah lagi jadi jengah. Ini lagi, ini lagi! Bosen dia.
"Kenapa sih lo penasaran banget."
"Kenapa lo kasih ke dia, Pril?"
"Well, dengerin. Ini punya gue. Gue yang jaga, gue yang berhak nentuin mau gue kasih sama siapa. Dan lo, sampe saat ini setau gue, lo bukan siapa - siapa gue. So stop mingling. It's not your business."
Selesai berkata begitu, dia pergi meninggalkan ruangan.
***
Ada yang mikir April ke toilet? Maaf, kalian salah. Apr ke rooftop. Biasanya di atas sana sepi kalau bukan jam istirahat. Paling satu dua orang yang lagi ambil 10 menit break buat sekedar ngopi atau nyebat.
Apri jarang ke atas sini sih. Tapi hari ini dia bete kan, jadi sekali - kali lah. Biar bete nya ilang.
Dia nggak nyangka sama sekali pertanyaan yang xia ucap sambil lalu pada Jun tadi pagi bisa berbuntut sepanjang ini. Lagian ngapain sih Jun sekepo itu sama April. April loh nggak pernah ngurusin Jun udah mantap - mantap sama siapa aja selama ini. Dia bukan nggak tau. Dia cuma nggak mau tau detailnya.
Buat apa?!
Lihat cupang bertebaran di leher Jun aja dia udah nyesek banget. Bisa berakibat dia mewek semaleman bayangin Jun abis ngapain aja sampe tanda matanya jelas gitu. Mana banyak banget. Tapi dia stop di situ aja. Dia nggak mau ngorek lebih jauh seperti dengan diapa Jun kaya gitu, di mana dia lakuin itu, ceweknya cakep nggak, Jun puas nggak mainnya.
Nggak, nggak mau! Gila aja, buat apa nyakitin diri sendiri sampai segitunya!
"Eh maaf, gue kira nggak ada orang." April meminta maaf saat dia asal buka aja pintu ke rooftop dan bikin seseorang yang ada di baliknya mengaduh.
Kayaknya April buka pintunya terlalu bar - bar dan pintunya jadi kena orang ini.
"Masnya nggak papa? Maaf, saya nggak sengaja." Katanya lagi.
"Nggak papa Bu April. Paling benjol dikit gara - gara kebentur. Tapi nggak papa, kok. Silakan, silakan, saya sudah selesai pakai."
Loh? Dia tau nama April? Tapi cowok ini siapa ya? April kayaknya belum pernah lihat deh. Perawakannya nggak setegap Jun. Tapi bukan tipe yang kurus kering. Kelihatan fit banget malah. Tinggi, bahu lebar, rambut jabrik yang di styling khas anak muda jaman sekarang. Tampilannya rapi, dengan kemeja yang dimasukkan dan lengan digulung setengah lengan. Wajahnya… April nggak pinter menilai wajah cowok. Kalau standarnya adalah Jun sebagai angka sepuluh, cowok ini… not bad lah, 7 atau 8? Dia pakai kacamata, tapi itu sama sekali nggak mengurangi nilai wajahnya. Malah dia melihatan cool dengan benda itu.
"Anak baru kah? Kok saya belum pernah lihat, ya?"
April agak kaget saat dia tiba - tiba mengulurkan tangan kanannya. "Janu. Januar. Anak web."
Oh anak web. Pantesan.
April menyambut uluran tangan Janu dengan ragu - ragu. "April."
"Iya, saya tau ini Bu April."
Asem, dipanggil Bu!
"Kayaknya umur kita nggak jauh beda, jangan panggil Bu ya. Baru seperempat abad soalnya."
"Serius?! Muda banget! Nggak nyangka ternyata April lebih muda dari saya."
Serius?!
"Boleh lo gue an aja?"
"Sure." April mengangguk, tersenyum.
"Oke. Gue udah selesai di sini. Harus buru - buru balik sebelum dicari tim. Lo kalo mu pake silakan."
"Iya… btw, serius sori buat yang tadi. Nggak sengaja."
"Santai… duluan."
***
Udah mau lima belas menit, tapi April belum balik juga. Anak ini kemana coba?!
Jun mondar mandir gelisah di ruangannya yang sekarang jadi agak sempit karena ad meja April. Tadi dia sempet nunggu di depan toilet agak lama sambil mainan hape. Tapi April nggak ada di sana. Kalau nggak ke toilet dia kemana lagi?!
Jun mencoba berpikir kira - kira kalau dia jadi April, pas ngambek gini dia kemana? Hmm, biasanya sih April kalau ngambek suka makan. Tapi masa sih dia pergi jajan?! Ini kan bukan jam istirahat!
Di udah coba cari di pantry lantai ini dan lantai bawah, tempat teman - teman yang kata April masih mau nemenin dia makan. Kali kan gosip mereka di sana. Cewek kan suka gitu, suka lupa waktu kalau udah mulai ghibah. Tapi nggak ada di sana Aprilnya.
Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan mendial nomor April. Getar ponsel yang beradi dengan meja dari arah meja April membuatnya mengumpat lagi. Ponselnya ditinggal!
"April lo kemana, sih?!"
"Mas Juned…" panggilan pelan itu membuatnya berbalik menghadap ke pintu. Hanya untuk menemukan in Chef editornya, Sabrina sedang melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Jun hanya diam, dan oleh Sabrina, itu dianggap sebagai undangan untuk masuk.
"Dari tadi saya perhatiin dari tempat saya kok Mas Juned mondar mandir aja. Kenapa, Mas?" Tanyanya dengan nada manja.
"Nggak papa Rin, cuma lagi agak pusing aja."
"Loh Mas Juned pusing?"
Bukannya pergi dan membiarkan Jun sendiri seperti yang seharusnya dilakukan oleh mereka - mereka yang memiliki empati, Sabrina malah semakin mendekat dan kali ini memegang lengan Jun dan mengelusnya pelan. Dia ngapain, sih?
"Dikit."
"Mas, saya pijatannya enak loh. Mau nyoba? Dijamin pusingnya langsung ilang deh." Tanpa menunggu persetujuan, dia langsung beranjak ke belakang Jun dan langsung memijit tengkuknya.
Anjir! Nyaris Jun berseru saat jari Sabrina menekan di titik yang tepat sehingga membuat kepalanya agak entengan sedikit.
Sabrina ini tinggi. Dibandingkan Jun yang tingginya 182 centimeter, Sabrina dengan heels nya itu, menjangkau tengkuk Jun dengan mudah. Kalau disandingkan dengan April, cewek yang tingginya 168 centimeter itu terlihat mungil dan pendek sekali. Jadi perkiraan Jun, tinggi Sabrina mungkin sekitar 170 lebih?
"Gimana Mas Juned? Enakan?" Pijatan Sabrina masih berlangsung. Kali ini dia menekan pundak Jun pelan agar dia duduk di kursi tamu yang ada di depan mejanya.
Dengan posisi sekarang, Sabrina lebih tinggi dari Jun, tekanannya semakin mantap di titik- titik tegang di sekitar pangkal kepalanya. Dia nyaris saja mengerang lega karena jari Sabrina saat pintu kantornya mendadak terbuka dan April yang baru masuk terkesiap kaget.
"Maaf, maaf. Saya keluar lagi, silahkan dilanjutkan."