DUA PULUH EMPAT: MAKE A WISH

1152 Words
Tadi Jun melihat Mama menghampiri April ke dapur karena April nggak keluar - keluar dari sana dan Nenek sudah ngomel tentang betapa tak becusnya April disuruh ambil minum aja lama. Omelan yang membuat Mama dan Papa saling menatap nggak enak. Ya siapa juga yang betah mendengar anak sendiri dihujat orang lain, sih. Kalau bukan Nenek, pasti Mama Papa juga nggak bakal diam aja. Tapi setelah agak lama di dalam, Mama keluar sendirian. April nggak kelihatan lagi. Dan sampai acara dimulai hingga berlangsung setengah jalan makan, April masih nggak keluar juga. Boleh khawatir nggak? Ini bocah di mana, deh. Hari ini dia dan April melalui banyak sekali perdebatan. Perdebatan pertama waktu April bilang dengan ketus ‘Dan gue bakal lihat lo cipokan sama cewek lain lagi? No thank you!’, tadi siang yang membuatnya teringat secara otomatis pada kejadian waktu mereka liburan ke Bali Lombok dulu. Saat dia mencium Mei. Dia tadi sempat ‘sedikit’ memarahi April karena membuatnya mengingat hal itu lagi. Dia memang ingin lupa tentang itu. Bukan karena itu pengalaman yang nggak enak, tapi karena… ini Mei! Perempuan yang sudah dianggapnya sebagai adiknya. Yah walaupun dia sempat beberapa kali khilaf sama perempuan yang kebetulan duduk di seberangnya kali ini pas masih agak muda dulu, tapi kalau diingat lagi, rasanya kurang etis. Apalagi Mei memang cuma menganggapnya sebagai Abang. Habisnya, Mei juga sih, kalo di jakin nakal dianya langsung ayuk. Nggak kaya April yang baru digodain dikit malah ceramah tiga jam, melebihi khotib sholat Jumat. Dan alasan memang alasan utamanya, karena dulu jiwa mudanya masih menggelora, masih suka coba - coba, sama siapa aja yang penting bisa nyobain. Nggak bener memang dia ini. “Ma? April kok belum keluar ke sini?” Dia bertanya pelan pada Mama saat dia mengambil minum yang kebetulan pitchernya ada di dekat Mama. “Oh, April pulang, Jun.” Mama menjawab pelan dengan wajah yang terlihat murung. Jelas kepikiran karena salah satu anaknya sedang berbahagia dan anak yang lain sedang nggak enak badan. “Pulang? Kenapa?” Tanyanya kaget. Kok April diam - diam pulang, sih! “Katanya tadi dia lagi nggak enak badan. Pucat gitu tadi wajahnya.” Sengaja Mama nggak bilang kalau April habis nangis kencang tadi pas Mama menghampiri si Bungsu di dapur. Biar nggak menambah atensi aja ke April. Mama paham kalau anak bungsunya itu pemalu. Tidak suka menjadi pusat perhatian, berbanding terbalik dengan Mei. “Itu Papa sudah pisahin buat April nanti.” Juni jadi teringat sesuatu. Mereka juga sempat berdebat sengit tentang datang ke pesta ini tadi di halte. April nggak ingin pergi. Dia mau berasalan telat datang dan sebagainya ke Mei, tapi dilarangnya. Jun tadi memarahinya seperti memarahi anak kecil yang nakal. Menyebutnya egois karena nggak mau datang ke pesta Mei, tanpa Jun sadari kalau dia sudah menyakiti perasaan Apri. Belum lagi tadi pas mereka baru datang dan Nenek langsung menyuruhnya ini itu dengan suara keras. April nggak suka dibentak atau di komando dengan suara keras. Dia nggak suka, dari dulu dia memang begitu. Dibentak sedikit dia bisa langsung nangis sampai sesenggukan lama… wait! Apa…. “Ma, boleh Juni aja yang nganterin makannya ke April?” Tanyanya menawarkan diri. Sepintas mata Mama terlihat berbinar, tapi hanya sebentar karena langsung redup lagi. “Boleh sih, Mama juga pengennya gitu, tapi acaranya belum selesai, Mama nggak enak kalau nanti Nenek jadi… Jun tau kan, maksud Mama? Takutnya nanti malah Nenek yang marah loh.” Benar juga. Mama juga kalau diperhatikan terlihat tak begitu tenang di sini. Mungkin memikirkan April yang sendirian di rumah. Tapi acara ini juga untuk anaknya yang lain. Dilema parah. Jun akhirnya memutuskan untuk tetap berada di sana, sambil berdoa semoga acaranya cepat selesai. Jadi dia bisa cabut tanpa diberi pertanyaan yang macam - macam. Neneknya ini, kadang kalau jiwa artis sinetronnya kumat suka banget heboh kaya di drama. Meskipun imbas dari keputusannya untuk stay adalah dia jadi nggak fokus tiap diajak ngobrol dan asal makan aja tanpa memperhatikan apa yang dia suapkan ke mulutnya. "Jun sejak kapan suka timun?" Bunda menegur saat dia melahap satu potong timun hingga tinggal separoh. Saat sadar, dia langsung melempar sisanya dengan wajah jijik. Yang di mulut juga langsung di lepeh. Hiyek!! Bisa - bisanya!!! Dia nggak suka timun. Takut. Bukan, bukan takut, phobia. Eh, bukan juga. Apa ya namanya… geli! Lihat bentukan timun kalo dibelah dan bijinya mencuat - cuat berjejalan di tengah itu bikin dia geli dan jijik luar biasa. April sama Mei sering sekali menggodanya tentang hal itu. Entah sengaja menaruh timun di piring makan bagiannya, atau sengaja makan timun dengan lahap di depannya. Dua - duanya sama sekali nggak menyenangkan buat Jun. "Kirain lo udah tobat dan jadi demen timun, Bang." Mei menegur sambil tertawa terbahak. Sementara ekspresi Jun masih tetap jijik. Nggak mungkin banget dia jadi suka sama timun! Eh, mungkin saja, sih. Kalau bentuk dalamnya timun berubah seperti apel. Mungkin dia nggak akan geli lagi pada buah lonjong dan hijau itu. Karena dia cuma diam saja sambil mengelap lidahnya dengan serbet, perhatian padanya pun beralih kembali pada acara ulang tahun Mei. Lagian dia mau jawab bagaimana? Jawab kalau dia sedang kepikiran April? Pengen nengokin April di rumah? "Saatnya tiup lilin!" Nenek berseru, membuat Mama secara otomatis beranjak dari tempatnya untuk mengambil kue yang sudah disiapkannya untuk Mei. Rainbow cake yang memang kesukaan Mei, dengan tulisan Happy 28th birthday Mei, di atasnya. Mereka semua mulai menyanyikan lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan pelan. Setelahnya, mereka diam dan dan meminta Mei make a wish sebelum meniup lilinnya. Mei memasang wajah malu - malu tapi senang karena malam ini dia benar - benar jadi pusat perhatian. Semua atensi terarah padanya, semua yopik pembicaraan berasal dan selalu tentangnya. Sambil memejam dan menangkup kedua tangannya di depan d*adanya, dia mulai berucap. "Terimakasih kepada Tuhan atas semua yang Mei punya sampai sekarang. Orang -orang terdekat yang sayang sama Mei dan segala kelancaran dan keberuntungan yang Mei punya sehingga bisa sampai pada umur sekian. Semoga semua yang ada di sini selalu dalam lindunganNya, selalu diberikan kesehatan dan keselamatan serta kebahagiaan. Semoga juga, Mei dan Didit langgeng sampe sah…!" "Didit?!" Nenek menyela keras, membuat Mei kembali membuka matanya. Menatap Nenek yang mengernyit kan alis meminta penjelasan. "Maksudnya langgeng sampe sah apa?" Nenek memang belum tau kalau Mei sudah bertunangan. Bukan mau diam - diam. Hanya saja kabarnya nggak sampai ke Surabaya. Mei yang berada tepat di sebelah Nenek tersenyum lebar mengerling manja pada Didit lalu menunjukkan jari manis tangan kirinya yang tersemat cincin. Kalau kata orang jawa sih, cincin di jari manis kiri artinya perempuan tersebut sudah bertunangan dan cincin di jari manis kanan artinya perempuan tersebut telah menikah. "Nenek ih, pura - pura nggak tau. Kan Didit sama Mei udah tunangan Nek, tinggal nunggu…." "Kamu sama dia?!" Nenek menunjuk Didit yang kini memandang Nenek bingung karena wajah Nenek seperti gusar. Kok hawanya agak kurang enak begini, jadinya. "Bukannya kamu sama Jun?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD