“Pril, Pril… Ayo dong, jangan gini, bareng gue aja, ya.” Jun masih berusaha membujuk.
Seperti biasa, Jun akan selalu datang ke rumah April untuk sarapan kedua. Bukan hal yang baru lagi. Sungkan? Siapa? Jun? Yang benar saja? Jun terlahir tanpa urat malu. Dan kalau bayi pada umumnya lahir dengan tersambung dengan tali pusat, maka Jun adalah satu - satunya yang terlahir dengan pusar tersambung pada… tali kutan*.
Nggak punya malu dan bernyali gede. Super pede, nggak gengsian apalagi nggak enakan. Itu Jun. He has a really bold personality.
“Iya, lo bareng Bang Jun aja, sih. Orang samaan ini kantornya.” Mei ikut membujuk. Membuat Jun menatap penuh rasa terimakasih pada Putri tertua di rumah ini.
“Nggak papa. April naik ojek aja. Nah ini ojek April udah dateng. April berangkat dulu,” Dia beranjak menghampiri Papa, Mama dan Mei untuk dipamiti. Salim dan cium tangan. Bahkan Jun juga dipamiti.
Dan sebelum ada yang sadar apalagi membuka suara, April sudah menghilang dari ruang makan. Suara motor bebek yang menjauh dari rumah menyadarkan mereka.
“Kok lo bego, sih. Kenapa lo dipamitin diem bae!” Mei mengeplak lengan Jun, membuat cowok itu meringis.
“Mei, jangan kasar sama Abangnya.” Mei hanya mendengus mendengar teguran Mama.
“Ngambek itu dia. Marah banget anaknya. Abis lo apain, sih?!”
“Juni abis berantem sama April?”
***
Setelah diceramahin, yang lebih mirip dihujat oleh Mei, akhirnya Jun berangkat sendiri ke kantor. Dia bingung, salahnya dimana. Yah, setaunya yang salah bukan dia sih. Omongan Neneknya yang kemarin bilang April numpang sama dia itu jelas melukai April. April orangnya asik, tapi nggak bisa digituin.
Dia sensitif soal kekayaan keluarganya, dia sensitif kalau ada yang komen model bajunya yang terlalu kuno, atau tentang manner. Dua yang pertama, dia tau alasannya. Tau banget malah.
Papa dan Mama memang bukan orang yang berada, dan April serta Mei dibesarkan dalam kesederhanaan. Lebih tepatnya April. Karena jelas, kala sederhana nggak pantas untuk menggambarkan Mei. Mei itu… wah! Itu kata yang pertama terlintas di pikiran saat melihat Mei. Kesannya memang jadi agak matre, tapi anaknya baik kok. Dia hanya menganggap kalau dia tidak layak yang begitu, dia lebih layak yang begini. Semacam itu.
“Selamat pagi, pak Jun.”
Saking linglungnya, dia nggak sadar kalau sudah sampai di kantor. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kecil saat salah seorang karyawan menyapanya.
“Mas Jun!” Dia berkedip beberapa kali saat Sabrina tiba - tiba menubruknya.
“Kenapa, Rin?” Tanyanya setelah Sabrina kembali berdiri lurus dengan kedua kakinya sendiri.
Dia agak heran sama cewek satu ini. Kok suka banget sih nempel - nempel. Ya asetnya lumayan sih. Depan belakang ada semua. Tapi mohon maaf. Jun nggak selera. Setidaknya, untuk sekarang - sekarang ini, dia tau kalau dirinya nggak tertarik dengan Sabrina walaupun perempuan itu sepertinya jelas tertarik padanya. Dan demi agar Jun meliriknya, dia memanfaatkan tubuhnya juga.
Alih - alih menjawab pertanyaannya, dia malah menarik Jun ke ceruk sepi yang ada di lantai bawah, di dekat rest room lobby.
“Ada apa, sih? Kok ke sini?” Tanyanya pelan. Se gedeg -gedegnya dia pada Sabrina, dia tetap cewek, dan cowok nggak boleh kasar sama cewek. Ajaran Ayah.
“Ini ada undangan award mas, di Bali. Minggu depan. Kantor kita diundang. Tadi sih, aku tanya Pak Ano katanya Mas yang berangkat. Sama saya, ya.” Katanya dengan suara yang melengking mendayu - dayu yang pasti dikiranya amat menggoda.
Padahal. Mohon maaf, kedengeran malah aneh.
“Kan saya ada sekretaris sekarang. Jadi saya sama sekretaris berangkatnya. Kebetulan ada beberapa deal yang harus diurus di sana.”
“Tapi kan ini sesuai sama bidang saya, Mas.”
“April kan dulu dari editorial. Pasti dia ngerti kok yang kaya gitu.” Katanya menepuk pelan pundak Sabrina sebelum meninggalkan perempuan itu, membuatnya manyun. Loh salahnya di mana, sih? Jawabannya kan bener?
Nggak mau ambil pusing, dia segera pergi menuju tangga, meninggalkan Sabrina yang melotot tak percaya di belakangnya.
Dia sampai di ruangannya, menemukan April sudah dalam mode bekerjanya. Dia melihat beberapa Map yang biasa ditumpuk April di sudut mejanya untuk nanti diperiksa oleh Jun sebelum diantarnya ke mereka - mereka yang bersangkutan.
Juni ragu - ragu ingin menyapa. Hari ini terlihat serius sekali. Lucu kan? Baru kali ini ada bos takut sama sekretarisnya.
***
Agenda Jun hari ini full di kantor. Nggak ada meeting, cuma ada beberapa kali menerima kunjungan. Ada juga penyusunan kontrak yang sekarang jadi tugas April, yang nantinya akan dicek lagi oleh Jun.
Mereka hari ini diam. April bukan nggak tau berapa kali Jun melirik padanya. Seperti tadi saat makan siang dan beberapa kesempatan lainnya. Seperti ingin mengajak ngobrol tapi nggak jadi. April jadi gemas sendiri dibuatnya. Tapi segemas - gemasnya, hanya dibiarkan saja oleh April.
April bukannya mendiamkan Jun. Em, maksudnya, bukan sengaja mendiamkannya. Suasana hatinya masih buruk karena perkataan Nenek kemarin. Dia masih sakit hati. Namanya orang sakit hati kan mau diapain juga tetep sakit rasanya. Jadi mending April diam dulu daripada ngomong dan jadinya malah marah - marah.
Jun sedang ada tamu. Dan karena April belum ada tugas lagi, dia jadi mengantuk. Dia beranjak diam - diam menuju pintu. Niatnya mau cuci muka di toilet. Hal yang paling dihindari oleh kebanyakan pegawai kantoran perempuan karena nanti touch up nya repot. Tapi April malah senang, segar rasanya bisa cuci muka di sore hari pas lagi ngantuk - ngantuknya begini.
“Eh Kak Sabrina.” Sapanya pada orang yang masuk saat dia mengeringkan wajahnya dengan tisu.
Orang tersebut melengos, nggak menjawab. April hanya mengedikkan bahunya samar. Udah biasa sih, nggak kaget. Dia melanjutkan membuang tisunya dan cuci tangan.
“Pril.”
“Eh? Iya?” Kaget juga dia tiba - tiba dipanggil setelah dicuekin.
“Kamu tau, kan kalau saya lagi pendekatan serius sama Mas Juned?”
Kok mendadak Jun? Tapi toh dia mengangguk juga.
“Kamu keberatan kalau saya lanjut?”
Keberatan? Lanjut? Lanjut apa? Keberatan tentang apa? Wajah April sudah cengo parah. Tapi dia tetap menggeleng agar Bu Sabrina melanjutkan.
“Saya mau lanjut pendekatan sama Mas Juned walaupun kamu sudah jadi sekretaris dia.”
“Hubungannya kakak pendekatan sama Pak Jun dengan saya yang jadi sekretarisnya apa, ya?” April memuji kendali dirinya. Walaupun cengo parah, dia nggak lantas keceplosan memanggil Jun dengan Jun di depan Bu Sabrina.
“Intinya, saya mau memastikan kamu itu teman atau lawan.”
Maksudnya Bu Sabrina curiga kalau dia suka sama Jun? Panik boleh nggak? Tapi masa sih? Kan selama ini dia nggak bilang sama siapapun. Bahkan sama keluarganya aja nggak. Dia simpan rapat-rapat rahasia hatinya itu.
“Maksud Kakak…? Saya nggak ngerti. Kakak ngira saya suka sama Pak Jun?”
“Bagus kalau nggak.”
Belum dijawab ini, loh, woy! Tapi April diam saja. Memangnya mau bilang apa? Bilang jujur kalau dia emang suka sama Jun sejak dulu? Atau bohong bilang nggak suka? Dua - duanya bukan pilihan bagus.
Bu Sabrina mengipat - ngipatkan tangannya yang basah dan bersiap untuk keluar dari toilet.
“Oh, satu lagi.” April yang sudah siap beranjak mengikuti Bu Sabrina keluar dari toilet berhenti lagi. Apa lagi ini? “Minggu depan, ada undangan award ke Bali. Saya mau saya yang menemani Mas Jun berangkat ke sana. Pastiin kamu bilang nggak saat Mas Jun nawarin kamu.”