“Mas Juned? April?”
April gelagapan. “Eh.. Bu eh, Kak Sabrina.” Dia meringis kecil. Badannya langsung tegak. Ngantuknya? Bahkan ngantuknya aja lari loh liat Bu Sabrina.
“Eh, Rin? Ke sini juga kamu? Sama siapa? Kalo sendirian gabung aja sama kami.” Jun dengan amat sangat santainya malah mengundang Bu Sabrina bergabung. Ingin rasanya April menendang kaki Jun dari bawah meja saat itu, tapi ternyata kakinya nggak sampai. Nasib jadi orang pendek.
“Kok Mas Juned bisa sama April?” Dia bertanya. Menekankan dengan amat jelas bagian ‘bisa sama April’, Dia juga langsung duduk di sebelah Jun. Berarti dia dateng ke sini sendirian.
“Oh, ini. Tadi saya balik ke kantor ada yang ketinggalan. Kebetulan April pas selesai juga. Dan karena sama - sama belum makan, ya udah, saya ajakin bareng aja makan di sini. Kamu mau makan juga? Pesen lah, Rin.” Jun ngeles dengan mulus dan dengan wajah tanpa dosa. Cowok kaya gini, ngeri nggak sih? Kalau selingkuh nggak ketahuan, abis pinter ngeles pinter acting. Dan yang lebih ngeri, kenapa April bisa suka banget sama dia? Kenapa dia nggak suka yang lain aja, sih?
Bu Sabrina menoleh pada April. Mencari klarifikasi. April harus apa lagi selain membenarkan? Bilang sebaliknya dan siap - siap jadi tumbal besok? Makasih, dia masih ingin kerja dengan tenang dan mengumpulkan sedikit pundi - pundi buat ditabung dari sana.
“Bener, Kak. Saya nggak sengaja ketemu tadi sama Bapak di depan kantor. Eh malah diajak makan ehehehe.”
“Sudah selesai semua bagianmu?” Tanyanya ketus.
“Sudah Bu eh, Kak.” Cepat - cepat dia mengoreksi panggilannya sebelum Bu Sabrina sempat mendelik. “Sudah saya kirim semua ke email Kak Sabrina.”
Bu Sabrina mengangguk. Lalu beralih pada Jun. Ekspresinya berubah manis dan centil. “Itu apa, Mas? Saya boleh nyicip?” Bu, Bu, inget umur, Bu.
April menahan diri buat nggak memutar bola matanya, Lalu fokusnya kembali pada makanan di depannya. Tadi nggak ada Bu Sabrina, makanan ini kelihatannya sama sekali nggak menarik. Sekarang, setelah ada Bu Sabrina, dia jadi… lumayan. Bisa mengalihkan perhatian April. April masih pusing sebenarnya, tapi nggak bisa ndlosor lagi di atas meja, karena ada Bu Sabrina.
Kedua orang di seberangnya sibuk dengan dunianya sendiri, sedangkan April juga sibuk. Sibuk menghabiskan makanannya dan sibuk mencari cara keluar dari situasi yang sangat nggak enak ini. Berasa jadi obat nyamuk!
April berasa invisible dah. Transparan. Mungkin kedua orang ini lihatnya cuma piring dan sendok yang melayang aja di sini. Sosok April sama sekali nggak kelihatan. Berawal dari nyicip, sekarang mereka malah suap - suapan, bikin April jengah setengah mati. Tapi, mau melarang pun, apa hak dia? Dia bukan siapa - siapanya Jun. Tapi perasaan nggak bisa bohong, kan? Dia nggak suka melihat pemandangan di depannya ini.
“Maaf Pak, Kak. Saya sudah selesai. Saya pamit dulu ya. Makasih makan malamnya. Mari. Selamat malam.”
Dia langsung beranjak dari sana, pura - pura nggak lihat kode yang diberikan Jun untuk menunggu di mobilnya. Nggak. Makasih ya Jun, April capek banget hari ini. Mau langsung pulang aja ketemu kasur.
***
Dia langsung pulang dan nggak nunggu Jun lagi. Akhirnya dia pulang dengan taxi online. Padahal niatnya mau hemat. Apa daya. Ini udah jam sepuluh lebih. Bus trans juga udah nggak operate lagi jam segini.
Sampai rumah, udah sepi banget. Karena badannya terasa nggak enak banget, dia cuma basuh wajah dan lehernya. Nggak mandi dulu lah. Terakhir dia mandi malah termehek - mehek paginya masuk rumah sakit. Bau asem - asem dikit nggak papa. Kan tidur sendiri ini.
Sebenarnya ada obat yang harus dia minum setelah makan tadi, tapi tadi dia kelupaan bawa. Dan dia malas minum jam segini. Jadi dia skip. Bandel memang April ini. Nggak patuh sama kata dokter, Dia punya prinsip hidup sendiri.
Dia langsung terlelap. Mungkin karena capek luar biasa. Dia sama sekali nggak denger ponselnya malam itu berkali - kali bergetar menandakan panggilan dan pesan masuk dari seseorang.
April baru menyadari ponselnya nggak ada di dekatnya pas bangun subuh, keesokan harinya. Dia muter - muter mencari dan baru ingat setelah beberapa saat kalau dia nggak ngeluarin ponselnya sama sekali dari tas sejak dia sampai di rumah. Bener. Ponselnya ada di tasnya.
“Ya Tuhan, Juni Salim!” Pekiknya kecil melihat banyaknya pesan dan missed call dari Jun. Buru - buru dia mengetikkan balasan. Bertanya, ada hal urgent apa sampai dia memborbardir ponsel April dengan pesan dan panggilan.
Awas aja kalo ternyata nggak penting.
Bukannya membalas chatnya seperti yang dikira April, Jun malah langsung menelpon balik dirinya.
“Halo?”
“Semalem lo pulang naik apa? Kenapa nggak nungguin gue? Sampe rumah jam berapa? Kenapa telpon sama chat gue nggak ada yang di bales?”
“Udah?”
“Belum! Lo belum jawab.”
April merotasikan matanya. Jun lagi mode jadi mama bebek. Wek wek wek.
“Gue naik taksi online.”
“Kenapa..”
“Gue ngantuk banget Jun. Masa lo tega nyuruh gue ndlosor di tanah deket mobil lo buat nungguin lo kelar sama Bu Sabrina?”
“Kenapa telpon gue nggak diangkat?”
“Ketiduran, Suwer! Nggak bohong gue deh, beneran. Hape gue masih di tas sampe barusan ini gue ambil.”
“Bener ya.”
“Iya, apaan sih, nggak usah reseh. Lo kan udah biasa ninggal gue juga. Nyatanya gue bisa balik sendiri dengan selamat. Dari dulu. Jangan lebay.”
***
Di kantor, maunya April bersikap biasa aja kaya kemarin - kemarin. Kerja, nyapa orang, ngobrol dan basa basi yang semestinya kaya biasanya. Tapi susah! Mata elang Bu Sabrina berasa ngekorin April kemana pun dia pergi.
Mulai dari April dateng, absen, ambil kerjaan di meja kepala redaksi, pas dia ke pantry ambil minum, pas dia meeting sama penulis yang dia kontak untuk kolom rubic mingguannya, semuanya nggak lepas dari pantauan mata elang Bu Sabrina.
April heran. Apa nggak capek matanya dibuat melorot kaya gitu? April yang nggak melotot, cuma lihatin hurum - huruf santai aja kadang bisa kambuh vertigo. Gaga - gara itu, April jadi semakin menghindari Jun di kantor hari ini dan bersikap selayaknya bawahan pada atasan.
April berdoa semoga nggak dipanggil menghadap.
Cukup Bu Sabrina aja yang tau kejadian semalem. Yang lain jangan. Selain Bu Sabrina, Jun juga punya fanbase lain yang berisi mbak- mbak kantor mulai dari karyawan hingga OB. Sungguh. Mereka adalah orang - orang yang dibutakan oleh pesona semu Jun.
Rasanya April ingin koar - koar pake TOA kalau Jun yang kalian lihat di kantor itu cuma pencitraan. Aslinya, sama sekali nggak ada mirip - miripnya! Ya kalo ganteng, emang sih, Jun ganteng. Tajir. Walaupun bukan anak sultan, tapi jelas dia orang berada. Muda, mapan dan berpenghasilan luar biasa. Tapi mereka kan nggak tau kalau Jun itu reseh. Suka ngusilin April? Bar - bar. Jorok, suka kentut dan ngupil sembarangan. Pokoknya nggak banget deh!
Abis itu, April pengen lihat, berapa dari mereka yang masih bertahan suka sama Jun setelah tau semua rahasianya seperti halnya dirinya. Cuma pengen tau aja, saingannya yang beneran ini berapa biji?