Andrian bangun terlebih dahulu, dia masih melihat Aline yang masih tidur di atas ranjangnya. Ia tersenyum melihat Aline yang sepertinya benar-benar nyenyak tidur di atas ranjangnya. Andrian memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi, bersiap untuk berangkat ke kantor. Hari ini ada rapat dengan beberapa investor meskipun dia pemilik perusahaan, dia selalu tepat waktu. Karena itu sama saja dengan mencontohkan karyawannya juga, dan terbukti juga. Tidak ada yang terlambat selama dirinya menjabat sebagai CEO di perusahaan ayahnya.
Tak membutuhkan waktu yang lama untuk Andrian membersihkan diri. Pria itu keluar dengan wajah segar, matanya melihat Aline yang sampai saat ini masih tidur, posisinya sudah berubah menjadi telentang. Dan lagi-lagi Andrian tersenyum melihatnya.
Andrian berjalan menuju walk in closet, pria itu memilah-milah pakaian yang akan dikenakannya. Biasanya pakaiannya sudah disiapkan oleh Aline, tapi karena sekarang Aline masih tidur di ranjangnya. Setelah siap Andrian berjalan menuju lemari kecil tempat dimana kotak obat berada. Ia mengambil salep, kemudian berjalan ke ranjang. Dia lalu duduk di atas ranjang di samping Aline, membawa tangan mungil Aline dengan pelan. Dengan perlahan dia kembali mengobati pergelangan tangan Aline. Dengan cepat ia mengolesi pergelangan tangan Aline, takut jika istrinya itu tahu dan menolaknya. Setelah selesai, dia beranjak dari ranjang lalu mulai berjalan keluar dari kamarnya. Dia akan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Kasihan wanita itu, Aline pasti kesakitan dengan tangannya yang membengkak.
Sarapan hari ini dia akan membuat roti bakar dengan omelet, karena dia baru mengetahui jika Aline tidak menyukai sarapan dengan makanan berat. Jadi dia akan membuatkan itu saja, dan juga itu lebih praktis tidak memakan banyak waktu.
Andrian makan sarapan dengan tenang, setelah itu dia menuliskan catatan di bawah piring Aline. Setelah itu dirinya pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiga puluh menit kemudian, Aline terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia merasa nyaman tidur di sini, cahaya silau matahari menerpa matanya membuat dia pelan-pelan membuka kedua matanya. Aline merentangkan kedua tangannya, kemudian melakukan peregangan. Mata cantiknya ia edarkan kesekeliling dan baru tersadar jika dirinya tidur bukan di kamarnya. Dia seakan tersadar jika dirinya belum menyiapkan kebutuhan Andrian membuat dirinya melompat dari ranjang, sepertinya dia lupa jika tubuhnya tadi masih bergelung dengan selimut. Akibatnya kini dirinya jatuh terjerembab dengan selimut yang masih mengelilingi kakinya. Aline meringis nyeri karena bukan hanya kakinya yang sakit tapi juga pantatnya. Dia benar-benar ceroboh, dan dapat dipastikan Andrian akan kembali menceramahinya.
Aline mendengus dengan tangan yang mulai melepaskan selimut, dengan pelan dia mencoba untuk berdiri. Ia meringis menahan nyeri, double sial. Tangannya belum sembuh kini giliran kakinya yang cidera, dia tidak menyangka dia akan mendapati kesialan dengan waktu yang berdekatan.
"Bu Aline." Panggil Bu Dewi di depan pintu kamar.
Aline setidaknya bersyukur dirinya tidur di kamar Andrian. Karena tidak ada yang mengetahui jika dirinya dan Andrian tidur terpisah, sekalipun asisten rumah tangganya.
Aline kemudian berseru memanggil asisten rumah tangganya itu, dia mengatakan jika dirinya ada di dalam. Pintu kamar itu terbuka menampakkan wajah kaget bu Dewi.
"Bu Aline!"
Seru bu Dewi sambil berjalan setengah berlari menghampiri Aline. Wanita paruh baya itu membantu majikannya untuk duduk di atas ranjang.
"Ibu nggak kenapa-kenapa?"
Aline menggeleng, tak ingin mengatakan yang sejujurnya.
"Yasudah Ibu di sini saja, biar saya yang antarkan sarapannya ke sini. Tadi saya lihat di meja makan ada omelet sama roti, sepertinya tadi bapak yang membuatnya untuk Ibu."
"Memang sekarang jam berapa, Bu?"
Bu Dewi seketika melihat jam yang berada di atas nakas.
"Sudah jam 8, Bu."
"Bapak sudah pergi kalau begitu?"
Bu Dewi mengangguk sebagai jawaban, Aline menghela napasnya kecewa.
"Saya bawakan Ibu sarapan dulu,"
Aline hanya mengangguk sebagai jawaban, matanya kini memandang pergelangan kakinya yang membiru. Sudah dipastikan jika kakinya itu terkilir juga, ingin rasanya ia menangis. Menangisi kecerobohannya yang selalu membuat orang lain repot, sedang asyik-asyiknya dia meratapi kesialannya. Bu Dewi kembali masuk dengan nampan, wanita paruh baya itu menaruh nampan yang berisi sarapan untuk Aline di atas meja.
"Silakan di mana, Bu. Saya mau bersih-bersih dulu."
"Terima kasih, Bu."
Bu Dewi hanya tersenyum membalasnya.
Aline kemudian menggeser duduknya agar lebih dekat dengan nakas, alisnya terangkat tinggi melihat ada sebuah kertas putih di bawah piring. Aline mengambilnya kemudian membacanya, sudut bibirnya berkedut.
Jangan lupa di makan, kabari aku jika ada sesuatu.
Andrian.
Aline rupanya menuruti pesan Andrian, wanita itu memakan sarapannya dengan lahap. Pergelangan tangannya sepertinya sudah mulai membaik, salep yang diberikan Andrian ternyata manjur juga. Dia harus berterima kasih pada pria itu, tapi sepertinya ucapan terima kasih saja tidak akan cukup. Dia harus mencari tahu apa yang disukai Andrian, tapi dia tidak ingin bertanya pada pria itu. Apakah sebaiknya dia bertanya pada ibu mertuanya saja ya? Sepertinya itu tidak buruk juga. Batinnya.
Aline lantas mengambil ponselnya dan menelepon ibu mertuanya itu, dia berbasa-basi menanyakan apa yang di sukai Andrian. Ibu mertuanya itu terlihat sangat gembira ketika Aline menanyakannya, Aline segera mencatatnya di kepala. Dia akan mengingatnya makanan apa yang disukai oleh suami sementaranya itu. Setelah bertelepon ria dengan sang ibu mertua, Aline mulai merasa gerah dia ingin mandi. Tapi, melihat kakinya yang sakit dia jadi kebingungan. Aline kemudian menelepon pada bu Dewi meminta wanita paruh baya itu untuk menuntutnya ke kamar mandi. Karena tidak mungkin jika dirinya berjalan sendiri ke kamarnya dengan kondisi kakinya yang seperti ini.
Setelah dibantu bu Dewi barulah Aline bisa mandi, tapi dia melupakan jika dirinya kini masih di dalam kamar Andrian. Yang berarti jika pakaiannya ada di kamarnya sendiri, itu artinya dia harus ke kemarnya untuk berganti baju.
Aline menghela napasnya, benar-benar hari yang menguras tenaganya. Dia mulai berjalan dengan tertatih, bu Dewi memberikan ide untuk kakinya di urut saja. Namun Aline tidak mau, karena itu pasti akan sangat sakit, jadi dia memilih untuk membirkannya saja.
Dengan napas terengah-engah, Aline sampai juga di kamarnya dia segera berganti pakaian. Lalu berjalan menuju ranjangnya, sepertinya dia ingin tidur saja tidak mau melakukan kegiatan lagi. Terlebih kakinya masih sangat sakit, jadi dirinya lebih memilih untuk diam di atas ranjangnya.
Bosan karena dirinya tidak beraktifitas, membuat Aline memainkan ponselnya. Tapi sepertinya itu membuat dirinya jenuh juga, karena selanjutnya Aline telah tertidur dengan ponsel yang berada di tangannya.
Asisten rumah tangannya, alias bu Dewi entah apa yang ibu itu ceritakan kepada Andrian. Karena wanita paruh baya itu menelepon Andrian ketika pria itu baru selesai meeting. Andrian yang mendengar jika Aline terjatuh, segera bergegas pulang. Dan sudah dapat dipastikan kini Andrian berada di rumah dengan wajah yang begitu khawatir.
Andrian masuk ke dalam kamarnya, dia melihat Aline yang tengah tertidur. Pria itu memandang pergelangan kaki Aline dengan intens, pergelangan kaki itu membiru membuat Andrian hanya bisa membuang napasnya kasar.
"Tidak bisakah kamu, sehari saja tidak membuat aku khawatir, Line?"
Tanya pria itu kepada wanita yang tertidur dengan nyaman di atas ranjangnya.
Tbc