Bahkan setelah aku selesai mandi, hujan sama sekali tidak kunjung berhenti. Namun hal pertama yang aku lihat begitu keluar dari kamar mandi adalah wajah Alec“Boo!” serunya membuatku terlonjak terkejut. Ia tertawa-tawa ketika aku memaki-maki karenanya.
“Oke. Maafkan aku.” Alec berdeham-deham. “Jadi kutebak kau sudah mendapatkan cincin dari Dad?”
“Apa semua orang membicarakan kami di belakang?” Aku masih menatapnya dengan sengit.
“Tentu saja, kawan. Apalagi jika ia memutuskan menikah dengan orang yang baru saja ia temui beberapa hari lalu dan di tengah-tengah kiamat seperti ini. Semua orang akan mengira kalau ia hanya putus asa atau mungkin – kesepian.”
Aku tidak ingin menanggapi komentarnya itu. Jadi aku mencoba untuk mendorongnya minggir, namun Alec tetap bergeming. “Jangan cemberut begitu...”Dan sekarang aku mencoba mendengarkan karena ia tiba-tiba berubah serius. “Aku ingin memberitahumu alasan kenapa Dalla dan aku sampai saat ini tidak mempunyai anak.”
Alec kemudian melihat ke kiri dan ke kanan. Sebelum ia mendekatkan kepalanya ke arahku dan mulai berbisik. “Karena Dalla memang tidak bisa.”
Aku nyaris berteriak jika kalau bukan Alec sudah menaruh telujuknya di bibir. Ia meninju lenganku kuat sekali hingga membuatku mengaduh. Akhirnya aku mendesis karenanya. Lebih karena nyeri akibat pukulannya. “Kenapa kau tidak memberitahu Mom dan Dad kalau begitu?”
“Itu karena Dalla ingin memberitahunya sendiri.”
Aku memijat pelipisku sejenak. “Kapan kalian mengetahui tentang itu?”
“Beberapa bulan lalu. Ketika akhirnya kami mencoba untuk melakukan program. Well, sepertinya Tuhan tidak mempercayakan kami untuk mengurus anak manusia...”
Aku mencoba membuka mulut lagi, namun sekali lagi Alec mendesis dengan telunjuk di bibir. “Dan nama penyakitnya rumit sekali. Aku bahkan tidak ingat. Tapi yang jelas kami akhirnya bisa melewati kenyataan itu..”
“Kapan tepatnya kalian akan menyembunyikan ini? Apalagi dengan rencana kepindahan Mom dan Dad ke sini?”
Alec sekarang berubah lebih serius. “Makanya kami masih mencoba untuk mencari waktu yang tepat untuk memberitahu mereka. Namun sepertinya kami tidak perlu melakukannya dalam waktu dekat ini. Toh, mereka bisa mendapatkan cucu dari kalian.”
Aku mengerjap-ngerjap. “Apa?”
“Brooke masih muda dan sehat. Dan kau... Aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan selama kau terkurung di apartemenmu selama ini. Namun kuharap kau juga sehat...”
Aku masih mencoba mencerna informasi itu dan Alec masih tidak juga berhenti mengoceh. “Jadi kau memindah-tangan kewajiban itu padaku?”
Alec memberiku tatapan tidak percaya. “Well, semua orang pasti lebih menyukai memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang baru. Benar, kan?”
Aku menatap langit-langit sekarang. Berusaha keras untuk tidak memaki-maki abangku ini.
“Kau bebas tugas berjaga malam selama sepekan setelah hari pernikahanmu. Jadi jangan membuatku kecewa, oke?”
Setelah itu Alec mencubit pipiku kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkanku yang ingin sekali menendang bokongnya...
***
Malam menjelang dan hujan masih tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali mendengar para wanita sedang menyusun apa saja yang harus dilakukan selama dua hari terakhir di meja dapur. Mereka meminta kami para pria untuk tidak mengganggu mereka dengan tidak mondar-mandir ke dapur. Hanya Gray yang boleh berada di sana dan kucing itu tampak benar-benar menikmati ia berbaring di atas meja makan sambil sesekali mendapatkan belaian di atas ekor oleh Dalla atau garukan di belakang telinga oleh Brooke.
Dari hasil mencuri dengar aku mendapati Dalla adalah orang yang paling bersemangat dari ketiganya. Ia bersedia menjadi perias dan juga perancang pekaian pengantin Brooke atau lebih tepatnya merombak baju pengantinnya untuk Brooke yang memiliki tubuh yang lebih kecil darinya.
“Apa tidak apa-apa?” Brooke terdengar khawatir.
“Tentu saja! Lagipula kita tidak punya pilihan. Dan lagipula kita akan menjadi saudara. Betapa menyenangkan.”
Sedangkan Mom lebih tertarik pada menu apa saja yang harus disiapkan. Dan apa yang harus Alec korbankan untuk menu-menu itu.
“Tidak akan ada orang lain yang akan datang, Mom. Kita bisa makan apapun dan tetap elegan dengan setelan.” Alec juga ikut duduk menghadap ke belakang bersamaku. Dan ternyata ikut mencuri dengar.
“Tidak. Lusa adalah hari istimewa. Dan untuk itu. Aku butuh asisten kokiku untuk menemaniku menyiapkan makanannya.”
“Tapi ia adalah pengantin prianya, Mom!” Alec bersseru tidak percaya.
“Yeah, tapi bukan berarti ia bisa lepas begitu saja dari tanggung-jawabnya.”
Kalimat itu membuatku mengerang keras. “Jadi kapan tepatnya kita bisa membangun kabin itu, Alec?”
“Selama zombi-zombi itu masih berkeliaran. Kalian harus tetap mematuhiku.”
Sekarang aku dan Alec mengerang bersamaan dan kami memilih untuk tidak lagi ingin mednengarkan apapun yang ada di belakang sana.
“Biarkan mereka besok membagi tugas pada kita. Paling tidak kita tidak harus memikirkannya sekarang.” Alec berkata yang langsung aku setujui.
Abe sekali lagi berdiri di depan jendela yang tertutup papan. Sedangkan Dad masih sibuk memutar-mutar tombol radionya dengan Gray berada di pangkuannya.
“Oh, ya. Dalla sudah menyiapkan setelan lamaku untuk kau pakai di hari besarmu nanti. Ia berharap besok kau bisa mencobanya.” Lalu Alec sepertinya teringat sesuatu. “Berhubung kita tidak bisa melakukan hal lain. Bagaimana kalau kita bermain sesuatu?”
Alec kemudian berdiri. Setengah berlari menuju lantai dua dnegan langkah bergema. Lampu-lampu lentera yang dilewatinya bergerak-gerak membuat gelombang cahaya di dinding. Aku menoleh ke arah para wanita yang masih sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga dengan Abe dan Dad.
“Aneh sekali. Kenapa tidak ada berita lanjutan setelah yang kemarin itu?” Dad dengan dahi mengerut dalam. Meletakkan radionya di atas meja kopi dengan raut kecewa.
“Mungkin karena mereka masih sibuk mengurusi para korban dari banjir tersebut. Makanya belum ada berita...” Aku menjawab bersamaan dengan Alec kembali dengan kotak besar di tangannya.
UNO balok. Bagus sekali.
“...Seharusnya mereka tetap memberitakan apapun yang sedang terjadi di sana. Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengan lokasi pengungsian lain selain New Jersey...” Dad sambil memijat pelipisnya.
“Mereka berada di tangan yang lebih baik, Dad. Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka.” Itu Alec sambil menarik pergelangan tanganu agar membantunya untuk menyusun balok-balok UNO itu di atas meja kopi di tengah-tengah kami.
Aku menyodok lengan Alec dan menyuruhnya untuk melihat Gray yang sekarang sudah berdiri siaga di atas pangkuan Dad. Mata kucingnya yang berwarna abu-abu gelap itu menatap lurus-lurus ke arah bangunan UNO yang sedang kami susun.
“Mari kita berharap memang tidak terjadi apa-apa”
Setelah bangunan UNO sudah tersusun. Alec mengedarkan pandangan. “Dad, Abe. Apa kalian mau main? Permainan ini sama sekali kurang seru jika dimainkan hanya oleh dua orang.”
Dad menggeleng. Sudah jelas karena ia lebih memilih untuk mengkhawatirkan hal lain. Jadi kami menoleh ke arah Abe yang menatap kam bergantian dengan raut polos.
“Aku tidak tahu bagaimana cara bermain itu.” Abe menatapku lurus-lurus dengan matanya yang bulat besar itu.
“Oh, ya? Kalau begitu sini! Aku dengan senang hati mengajarimu.” Alec dengan antusias. Memberi isyarat dengan tangannya agar Abe mendekat. Abe kemudian mengambil duduk di lantai dengan punggungnya sangat dekat dengan kaki Dad. Ia tampak lucu dengan kepala Gray yang terlihat di puncak kepalanya. Mata kucing itu masih tertuju kepada bangunan UNO.
Aku juga baru menyadari kalau Abe selalu mendapatkan pakaian serba putih selama ia berada di rumah ini.
Alec dengan semangat mulai menjelaskan cara main dan peraturan-peraturan UNO pada Abe yang matanya juga tertuju pada balok-balok warna-warni itu. Abe mengangguk-angguk selama Alec menjelaskan dan kemudian mengaku paham ketika Alec bertanya apakah masih ada yang ia tidak mengerti.
Dan terrnyata Abe masih tidak mengerti bagaimana cara bermain batu, gunting, kertas untuk memutuskan siapa yang mulai lebih dulu. Jadi Alec mengambil-alih. Katanya sebagai yang tertua dalam grup itu.
Aku mendapati Abe menahan senyum akibat perkataan itu. Namun ia tidak mengatakan apapun setelahnya.
Alec akhrinya menarik satu balok merah dengan sangat berani...
Aku tidak menyangka jika Abe sangat serius dengan permainan itu. Lebih serius dari Alec yang sesekali berseru heboh setelah menarik salah satu balok yang kami kira akan membuat seluruh bangunan UNO runtuh dan berhasil. Abe dan aku sama-sama mengerang frustrasi.
Ketika sampai akhrinya giliran Abe dan ketika ia sedang berkonsentrasi untuk menarik balok yang tersisa. Pada saat itu juga Gray melompat dari atas kepalanya menuju sisa-sisa bangunan balok. Aku dan Alec berseru bersamaan berusaha untuk menahan kucing itu. Abe dengan cekatan menangap pinggang Gray sebelum kucing itu berhasil memukul jatuh sisa-sisa bangunan balok UNO dengan tangan depanya.
Kucing itu memberontak marah dalam pelukan Abe. Nyaris mencakar malaikat itu sbeleum Abe mendekatkan bibirnya ke telinga Gray. Kucing itu langsung berhenti meronta. Tatapannya mendadak kosong seperti Abe sudah membisikkan sebuah mantra padanya. Abe kemudian memutar tubuh, mengembalikan Gray ke dalam pangkuan Dad lalu berbalik ke arah aku dan Alec lagi seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
“Apa?” tanya Abe setelah menaruh baloknya di atas bangunan UNO yang sudah tidak terbentuk itu.
Alec berdecak-decak sambil menggeleng. “Apa trikmu itu bisa diaplikasikan pada sapi dan ayam? Kau harus mengajarkannya padaku!”
“Aku tidak bisa. Maaf, Alec.” Abe kemudian memberiku isyarat agar melanjutkan permainan.
“Kenapa?” Alec sekarang melipat kedua tangannya di d**a.
“Karena aku mengancamnya dengan sesuatu yang paling ia takutkan.” Abe dengan sabar.
“Bukannya kita semua seperti itu? Namun tetap saja melakukan hal-hal yang dilarang?” Alec lalu mengambil jatahnya
“Dan seperti yang pernah dikatakan seseorang juga. Peraturan ada untuk dilanggar.”
Selesai Abe mengatakan kalimat terakhirnya iu. Tumbang jugalah sisa balik UNO di atas meja. Secara “kebetulan” suara petir menggelegar membuat kami semua terlonjak...
***
Keesokan paginya. Tidak. Keesokan subuhnya. Baik Dalla dan Mom membangunkan kami para pria seperti kami sedang diserang oleh sekelompok zombi. Dad dan Alec bahkan sampai mengacungkan senjata mereka ke wajah-wajah istri mereka yang sama sekali tidak terkesan.
“Bangun kalian pemalas. Waktunya bekerja.” Mom bertepuk-tepuk tangan hingga membuat Alec menutup telinganya dengan bantal dan Dad bersumpah-serapah. Abe yang biasanya rajin juga menutup wajahnya dengan selimut.
Sedangkan aku membalikkan badan tengkurap dengan wajahku yang terkubur di bantal.
Entah sampai pukul berapa kami bermain UNO balok semalam. Meja yang kami pakai bermain saja penuh dengan balok-balok UNO yang berserakan. Ketika kami bermain sudah entah berapa lama, akhirnya Dad ikut juga. Dan permainnan terus berlangsung dengan Alec yang terus mengeluarkan botol wine-nya.
“Anggap saja kita sedang merayakan pesta lajangmu.” Alec dengan wajah merona akibat kebanyakan tertawa dan minum. Dad bahkan terus memberi Abe saran-saran sehingga terkadang aku mengingat sekelebat ekspresi kesal di wajah malaikat itu.
Dan di sinilah kami. Masih menolak untuk beranjak dari tempat tidur.
Ketika aku kembali memutar tubuh dan memejamkan mata. Mom sepertinya menyerah dan memutuskan memberi kami waktu memejaman mata lagi. Tidak butuh waktu lama untuk ia kembali berseru keras. Menarik semua selimut terlepas dari tubuh kami. Menepuk-nepuk pipi hingga terasa perih.
Terdengar erangan dan akhirnya semuanya bangun. Saling tunjuk untuk siapa yang ingin memakai kamar mandi terlebih dahulu. Abe lebih dulu yang bangkit berdiri. Tampak terlalu segar untuk menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua. Dad akhirnya menendang lepas selimutnya dan menyeret diri ke kamar mandi bawah. .
Gray menggeliat bangun dan langsung menuju ke dapur. Sudah pasti empat mangkuk air dan makanannya yang sudah pasti telah diisi oleh para wanita. Aku sudah memaksakan diri untuk duduk dan Alec masih juga tidak bergerak...
Ketika aku melepas selimutnya ia kemudian meyentak bangun sambul menggerutu, “Apa kita tidak bisa libur dulu?”
“Tidak bisa. Apa lagi ada hari besar yang menunggu besok.” Mom juga mencubit pipi Alec agar ia terbangun. “Ayo, cepat. Pagar itu tidak akan selesai jika kalian bermalas-malasan.”
Alec melemparkan dirinya ke atas bantal lagi bertepata ketika Abe turun dengan wajah yang lebih bersih.
“Nah, sekarang giliranmu Alec....”
“Kenapa bulan James saja?” rajuknya sambil menyentakkan tangan di samping tubuh.
“Karena kaulah yang memberi ide untuk bermain UNO. Sekarang mandi!”
Aku nyengir lebar sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku. Alec memberiku lirikn mematikan sebelum berjalan menyentak ke lantai atas. Mom hanya bisa menghela napas sebelum berbalik pergi.
Begitu tinggal aku dan Abe saja aku kemudian mencondongkan badan ke arahnya yang tengah melipat selimut miliknya smbil bersimpuh. “Jadi kau bsia capek juga?” t
“Itu karena aku sudah terlalu lama di sin,” jawab Abe dengan tenang sekali.
Dan aku tidak akan ebrtanya kenapa ia belum kembali. Toh, ia selalu memberiku jawaban yang sama.
Karena aku belum siap.
Dad juga kembali dan langsung menghempaskan kembali ke sofa miliknya. Wajahnya sayu lengkap dengan rambut yang basah. Mencoba mencari posisi nyaman untuk kembali memejamkan mata...
Abe selesai membereskan tempat tidurnya. Ia bahkan membantuku dengan melipatkan selimutku, namun dengan membiarkanku tumbang ke samping...
***
Aku membantu Alec untuk membersihkan kandang dan mengisi kotak-kotak air ketika aku mendengar seseorang meneriakkan namaku. Itu Dalla dan langsung mundur begitu menyadari apa yang bertumpuk di atas sekopku.
“Astaga!” Ia mengibaskan tangan di depan hidungnya. “Apa pekerjaanmu belum selesai?”
Dalla mundur ketika aku berbelok untuk melemparkan kotoran sapi itu ke atas kereta dorong. “Masih cukup banyak selama Alec belum kembali dari menyirami tanaman sayurannya yang tidak seberapa. Ada apa?”
“Kau harus mencoba setelanmu untuk besok!” Dalla seakan-akan aku bisa saja melupakan besok hari apa.
“Oh, tapi Alec akan memotong leherku kalau tidak menyelesaikannya.” Aku menancapkan sekop itu ke tanah dan bersandar di sana.
Dalla melempark kedua tangannya di depan tubuh. Nyaris frustrasi. “Kalau begitu selesaikan segera lalu kembali ke rumah. Tapi pastikan sepatumu bersih. Aku dan ibumu sudah membersihkan seluruh rumah...
“...Membersihkan rumah lagi?” Itu Alec yang baru saja keluar dari green-house.
“Kalian meninggalkan ruang eluarga berantakan! Dan kalau tetap seperti itu nanti malam kalian akan disuruh tidur di kandang!”
Dalla kemudian berbalik pergi dengan langkah menyentak. Aku mendengar Alec berdecak-decak. “Wanita dan seluruh logika mereka.” Ia lalu berbalik ke arahku “Ayo, selesaikan segera pekerjaanmu di dalam sana, pengantin pria. Sebelum kakak iparku kembali ke sini dan menyeretmu ikut bersamanya. Tentu saja setelah mencelupmu dalam sumur dulu.”
Aku memutar bola mata lalu mempercepat pekerjaanku.Setelah semua kotoran terangkat, rumput kering an air telah terisi. Aku mengucap pamit kepada Alec yang hanya ia hadiahi dengan lambaian tangan dari balik punggung.
“Ingat, kita masih harus membantu Abe dan Dad untuk menyelesaikan pagar!”
Aku meneriakkan jawaban dan berlari menuju sumur. Paling tidak kaki dan tanganku bersih sebelum masuk ke rumah. Dalla telah menungguku di ruang tengah dengan satu setel jas dan kemeja yang tampak mengilat. Ia mengendus-endus seluruh tubuhku sebelum menagngguk penuh persetujuan.
“Alec lebih kecil darimu jadi aku harus memikirkan banyak hal agar bisa membuat setelan ini muat padamu. Kau coba dulu.”
Aku menerima setelan itu lalu mengedarkan pandangan. “Mom dan Brooke mana?”
“Mereka di atas. Dan mulai siang ini kau tidak boleh bertemu dengan Brooke.”
Aku memutar bola mata. “Baiklah, aku tidak akan bertanya lebih jauh.” Lalu berjalan menuju kamar mandi. Tidak lupa aku mencuci wajahku terlebih dulu sebelum memakai setelan itu.
Aku tidka pernah menaydari jika aku memang sebesar itu, tapi ternyata aku memang besar. Aku tidak menyangka berada di rumah pertanian Alec bisa membuat paha, d**a, hingga lenganku menjadi begitu kekar sehingga membuat kemeja putih yang kukenakam hampir tidak muat. Kulitu menjadi lebih kecokelatan dan rambutku sudha cukup panjang.
Aku tidak tahu berada di luar ruangan bisa membuatku terlihat lebih bisa diandalkan.
Aku memastikan dasi kupu-kupuku juga sudah terpasang dengan baik sebelum keluar dri kamar mandi. Aku mendapati Dalla menunggu sambil berdiri dengan kedua tangannya yang terpilin. Ia kelihatan tegang, namun langsung tersenyum lega begitu menyadari seelan itu muat padaku.
“Kau sudah melakukan yang terbaik,” komentarku ketika Dalla mendekat dan masih saja memperbaiki letak dasi kupu-kupuku. Air matanya menggenang di pelupuk matanya.
“Entahlah. Semua hal yang terjadi belakangan ini membuatku mudah sekali.... Astaga, James. Kau akan menikah!”
Dalla akhirnya menangis sesenggukan. Aku tidak tahu harus berbuat apa jadi aku meraihnya dalam pelukanku sambil menggosok-gosok punggungnya.
“Aku... Dalla... Aku turut menyesal.”
Dalla akhirnya mengangkat kepalanya dan memandangku tepat di mata. “Jadi Alec sudah memberitahumu, ya?”
Aku mengangguk.
“Jangan. Jangan menyesal karenaku. Ada masa depan yang terbentang di depanmu. Bersama Brooke.”
Dalla cepat-cepat menghapus air matanya. “Jadi usahakan saja jangan membuat kancing-kancing itu pecah sebelum kau membawa pengantimu ke kamar. Karena sepertinya kau menjadi lebih besar selama di sini.” Ia terkekeh dengan suara serak.
“Itu karena kalian memaksaku untuk makan tiga kali sehari di sini!”
Dalla memutar bola matanya. “Aku tahu kau hanya makan enak ketika melakukan live-streaming atau merekam konten videomu.”
“Aku rajin makan buah dan sayur, Mrs. Kim. Asal kau tahu saja.”
Dalla berdecak-decak. “Kalau begitu cepat lepaskan setelan ini sebelum kau membuatnya bau dengan kotoran sapi.”
Dalla memutar tubuhku lalu mednorongku ke arah kamar mandi....
***
Setelah makan siang yang sangat singkat. (Karena Mom sellau menyuruh kami untuk selalu bergegas) Para pria sekarang berkutat dengan papan dan tiang-tiang penyangga pagar. Aku berpasangan dengan Alec sedangkan Abe lebih memilih berpasanagn dengan Dad. Dan kami akan bertemu di samping rumah.
Alec dan aku bekerja dalam diam. Namun ketika kami sama-sama berdiri tegak untuk meluruskan punggung kami akhirnya aku berkata,
“Terimakasih karena telah meminjamkanku setelanmu.”
Alec menatapku dengan pandangan menyipit. Jelas curiga setengah mati. “Lalu?”
“Jadi sekarang kau juga tidak mau menerima rasa terimakasihku?” Aku mengalihkan pandangan darinya dengan mengambil papan lain.
“Bukan itu. Jadi kau sekarang menerima kenyataan bahwa kau memang memerlukan orang lain untuk hidup?”
Aku meninju lengannya dan Alec mengaduh. “Jika seandainya zombi-apocalypse ini tidak termasuk dengan kita ehilangan pasokan listrik. Aku rasa kau tidak akan pernah keluar dari apartemenmu itu. Dan tidak berpikir untuk menikahi Brooke secepat itu, tentu saja.”
“Aku mungkin bahkan tidak bertemu dengan Brooke.”
Alec memutar-mutar palu di tangannya sebelum meringis sambil menggeleng. “Oh, tidak. Kau akan tetap bertemu dengan Brooke. Bagaimanapun caranya.”
Aku memasang papan dan Alec menekan paku di atasnya. “Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
“Karena ia ditakdirkan untukmu Abe mengatakan padaku jodoh dan maut sudah diatur. Jadi jika zombie-apocalypse ini tidak pernah terjadi. Kau akan tetap berakhir dengan Brooke.”
Informasi itu membuatku terpana. “Kalian sering membicarakan hal-hal seperti itu?”
“Oh, ya benar. Abe anehnya mengetahui banyak hal mengenai masalah-masalah semacam itu. Ia mungkin pernah ikut sekolah Minggu atau apa.”
Aku mendengus keras. “Lebih tepatnya ia lebih dekat dengan si empunya seluruh rumah ibadah di dunia ini yang ada di dunia ini.”
Untungnya Alec sama sekali tidak terpengaruh dengan komentarku itu dan kami melanjutkan pekerjaan.
Aku mendengar suara tawa dari kejauhan dan aku mendapati Dalla dan Mom dengan keranjang di tangan singgah untuk berbincang dengan Dad dan Abe. Aku menyadari keduanya melewati kerangka pagar dan menghilang di balik pagar. Alec hanya menoleh sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya.
“Ke mana mereka pergi?” tanyaku sambil berjinjit di atas pagar. Dalla dan Mom telah menghilang dari balik bukit.
“Mereka pergi mencari beberapa batang bunga liar di bawah bukit tempat kau dan Brooke b******u hari itu. Kau tahu, untuk dekorasi. Dalla menyebutkan beberapa jenis bunga yang bisa mereka dapatkan di sana dan aku tidak begitu memperhatikan tadi ketika kita sarapan.”
Aku menggumam mengeriti namun aku mencoba menajamkan telingaku di antara suara angin dan suara ketokan dari dua palu yang saling bersahut-sahutan.
Dan pada saat itulah aku mendengar suara teriakan lalu letusan senjata api.
Alec seperti mendapatkan kekuatan super langsung berlari menuju pintu pagar. Ia sempat menabrak kap mobil yang terparkir di depan pintu dan memaki, namun berhasil bangkit kembali. Aku menyusul di belakang Dad yang telah menenteng senapannya.
Dad dan aku meneriakkan nama Alec, tapi Alec tidak mendengarkan Ia menuruni bukit dengan sangat cepat sehingga nyaris membuatnya terguling akibat rumput yang basah dan tanah yang licin.
Napasku terengah dan ujung kaki celanaku penuh dengan lumpur ketika mendapati Dalla sudah menangis histeris dan terduduk di tanah dengan keranjang bunganya yang hampir penuh. Jasad zombi tergeletak di tanah dengan wajah lebih dulu ke atas tanah yang basah. Dengan tubuh membiru dan urat nadi yang menyembul ke permukaan kulit. Bagian dalam kuku tangannya sangat hitam dan ia memakai pakaian kasual.
Mom masih berdiri terpaku dengan pistol di tangan. Matanya menerawang. Dad dengan lembut menarik lepas pistol dari tangan Mom sebelum menarik istrinya ke dalam pelukannya. Pada saat itulah aku akhirnya pertahanan Mom yang runtuh.
Alec sudah menarik Dalla berdiri. Wanita itu langsung mengalungkan tangan di leher Alec dan terisa di atas bahu Alec.
Abe menyusul kemudian. Tanpa bersuara menyeruak kerumunan dan berjongkok di dekat jasad zombi itu dan membalik zombi itu hingga terlentang. Walau wajahnya menggembung dan bibir membiru, namun gadis zombi cukup bisa dikenali.
“Anak gadis Mr dan Mrs. Thompson.” Alec akhirnya.
“Bagaimana mereka bisa terpisah?” Dad bertanya tidak pada siapa-siapa.
“Mungkin mereka digigit ketika berada di tempat yang berbeda. Aku mendengar anak ini cukup bandel. Dan mereka menjadi bahan ceritaan di komunitas rumah peternakan di sini.”
”Kalian punya komunitas?” tanyaku sambil menegdarkna pandangan.
Dalla telah melepas diri dari Alec dan sekarang pria itu tengah mengedikkan bahu. “Tentu saja. Kalau tidak aku tidak punya akses untuk mendistribusikan hasil ternakmu ke manapun. Karena kau tidak punya seseorang yang mengenalimu.”
“Untuk lebih singkatnya orang tidak mau membeli telur dari ayammu kalau mereka mengira kau adalah seorang pembunuh berantai yang tengah lari ke perbukitan.” Dalla dengan suara serak sekali.
“Pembunuh berantai yang senang memelihara ayam.” Dad mencoba mencairkan suasana juga. “Ayo, selesaikan urusan kalian. Kami akan menemani di sini.”
Dalla menggumam mengiyakan. Ia dan Mom perlahan kembali bekerja untuk mengumpulkan beberapa batang bunga kuning yang terlihat seperti bunga matahari tapi bukan...
Aku, Alec dan Dad menunggu di kaki bukit. Sedangkan Abe masih sibuk memandangi wajah zombi itu sebelum menoleh ke arah kami. “Kita tetap harus memberi penghormatan terakhir pada gadis ini.”
Aku mendengar Alec mengerang namun Dad sudah memberi kami tatapan penuh peringatan. “Ayo...”
“Tapi tanah di sini terlalu basah untuk menghidupkan api...” Alec dengan cepat dipotong oleh Abe dengan suara paling dingin daripada angin musim gugur yang sedang berhembus saat ini dengan,
“Kita punya banyak sisa ranting dan kayu bakar yang bisa dipakai. Aku rasa tidak ada masalah.”
Aku bersumpah melihat Alec menelan ludahnya. “Oke, baiklah. Aku akan mengambilnya. Dan tolong tetap tinggal di sini dan jaga mereka. James, tolong bantu aku.”
Aku melirik ke arah Abe sejenak sebelum menyusul Alec.
“Aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah bisa menolak apapun permintaan Abe. Dan akutidak menyukainya!”
Aku mendengus geli. “Kau sama sekali tidak tahu apa yang sedang kau hadapi, Alec...”
***
Para wanita sudah selesai dari tadi dan sisa kami yang tinggal untuk memastikan api untuk mmbakar jasad itu tidak menjalar ke mana-mana. Abe tetap berdiri di tempatnnya. Memastikan jika jasad itu terbakar dengan sempurna dan begitu api sudah mulai mengecil aku melemparkan seember air ke atasnya.
“Mari berharap besok kita tidak didatangi oleh kejadian semacam ini lagi.” Alec memutar tubuhnya dan pergi bahkan ketika asap belum juga menghilang dari tumpukan abu itu.
Aku berada di tengah-tengah rombongan dnegan Abe berada di belakangku. Setelah iu kami menyelesaikan pekerjaan kami dengan lebih banyak diam. Pagar akhirnya selesai begitu langit sudah mulai menguning.
Pagar kami tidak buruk. Lengkap dengan palang kunci yang bisa digunakan dari luar atau dalam. Jadi jika kami mempunyai urusan kecil keluar dari area pagar kami. Kami bisa mengunci pagar dari luar. Palang itu dibuat Dad amat rumit sehingga aku, Mom, dan Alec bahkan butuh waktu untuk mempelajarinya.
“Para zombi itu tidka begitu pintar, untungnya. Jadi pintu itu hanya bisa dibuka oleh orang-orang yang memakai lebih banyak otak mereka untuk berpikir.” Dad sambil membusungkan d**a.
“Jadi kau bilang kami tidak punya cukup ota untuk berpikir sekarang?” Mom mencubit-cubit lengan suaminya dan Dad mengaduh sambil terkekeh.
“Apa kita tidak sekalian memasang sesuatu yang tajam di atas pagar ini?” Alec mendongak sambil melipat kedau tangannya di d**a.
“Beling dari botol-botol wine mungkin bisa digunakan di sana.” Dad memberi usul.
Tapi Alec sudah menggeleng-geleng. “Tidak. Kita tidak punya cukup waktu. Kita harus berisitirahat lebih cepat untuk acara penting besok.”
“Hey, kau tadi sendiri yang mengatakan itu.”
Namun Alec sudah berbalik badan. “Mom menyuruhku untuk menyembelih ayam!” serunya dan menghilang pergi begitu saja.
Kami lalu bersantai di teras. Menikmati semilir angin. Sebelum Mom berseru memanggil namaku. Aku menyahuti panggilan itu dengan wajah mengerut penuh tanya.
Mom meremas lenganku sebelum bertanya, “Apa kau membawa buku jurnal yang berisi resep-resepku?”
Aku menyeringai. “Tentu saja, Mom.” Tas besarku masih ada di ruang keluarga dan Mom mengerang pelan.
“Dalla bilang kita tidak perlu meakukan upacaranya di luar. Mengingat hujan yang terus datang setiap hari. Jadi begitu kalian sudah bangun besok pagi. Ruangan in akan disterilkan dari barang-brang yang bererakan.”
Aku yang sedang merogoh tas besarku untuk menemukan buku jurnalku itu mengeluh pelan, “Tapi Mom tidak ada orang lain yang datang. Tapi bukan berarti tidak ada kamera yang akan dipakai. Dalla punya kamera polaroid dengan baterai yang bisa dipakai untuk besok.. Jadi jangan banyak membantah.”
Aku kahirnya menemukan buku jurnalku dan menyerahkannya apda Mom. “Baiklah, kalau begitu. Sini bantu aku di dapur. Kita menyiapkan makanan untuk besok.”
***
Malam ini tidak ada hujan sama sekali. Semua orang bersiap untuk hari besar besok dibantu dengan Dalla, menyiapkan pakaian resmi mereka. Aku masih tidak melihat Brooke di manapun. Dan Mom berkata harusnya memang seperti itu.
“Jadi apa yang kalian lakukan padanya di lantai atas sana?” kataku sambil membantu Mom mengupas kentang. Menu kami besok adalah ayam dan sayur panggang. Walau yang bisa dipanggang Mom hanya kentang dan beberapa umbi liar yang tidak sengaja ia dapatkan ketika memetik bunga.
“Dalla sedang memberinya layanan spa komplit yang tentu saja diselingi dengan kelakar-kelakar kecil tentang malam pertama.” Mom memberiku kerlingan. “Well, ada banyak kejutan yang menantimu besok. Jadi bersiaplah.”
“Aku tidak mau membayangkannya sekarang Mom ketika aku masih harus berkutat dengan ayam mentah seperti ini.”
Mom terkekeh pelan.
Aku mendapati Mom selama ini hanya berusaha berhemat dan sekarang ia mengeluarkan semua bahan makanan yang ia punya. Ayam panggang tersebut akan direndam bumbu semalaman. Dan belum apa-apa sudah ingin mencicipinya. Dan tentu saja kelakuanku itu mendapatkan hadiah tamparan keras di atas punggung tanganku.
“Lalu dari mana Dad mendapatkan setelannya?”
“Aku berhasil membawa sepasang, kau tahu. Tidak seperti kau. Kami berhasil sampai di sini dalam sehari.”
“Aku tidak menyangka Mom tidak membawa sueluruh isi rumah ke sini.”
“Tidak juga. Untungya ayahmu sempat menahanku. Lagipula kami memang berendana untuk pindah ke sini.”
Senyum ku perlahan menghilang. “Yeah, Alec sudah memberitahuku. Tapi maukah Mom memberitahuku alasan kepindahan kalian?”
Mom yang sedang membalur ayam dengan bumbu sekarang mendesah panjang. “Karena kamis udah tua dan butuh udara segar. Ayahmu juga masih cukup kuat unguk membantu Alec dengan kebun anggurnya dan juga ternak-ternaknya.”
Dalla kemudian datang dan duduk di meja makan yang penuh dengan batang-batang bunga yang berserakan. Ia sedang menjalin bunga menjadi buket-buket kecil sebelum ia menyahuti panggilanpara pria di ruang tengahs ana yang sedang mengepas setelan mereka. Sekali lagi aku tidak percaya Abe mendapatkan setelan berwarna putih-putih lagi di sana.
Tidak berapa lama kemudian menyusul Gray yang duduk di atas meja. Mengendusi satupersatu bunga berbagai warna itu dengan hidungnya yang pesek. Dalla menggaruk kepalanya sejenak sebelum kembali bekerja.
“Aku tidak tahu kalau kalian bisa seserius ini dalam menyiapkan..” Aku memnbuat tanda kitib dengan kedua tanganku. ““Pernikahan-””ku dan Brooke.”
“Pernikahanmu ini memberi kami harapan. Harapan tentang walaupun kiamat tengah terjadi. Kehidupan tetap berjalan.” Dalla menyahuti yang dihadiahi Mom dengan gumam penuh persetujuan.
“Bukannya ide dari kiamat adalah semua kehidupan berakhir?” Pandanganku berpindah-pindah dari kedua wanita itu.
“Kau bukan manusia jika kau menyerah begitu saja, James.” Mom dengan baik hati.
Dalla menyeringai ke arahku sebelum ia memberi Gray sebuah mahkota bunga berwarna kuning di atas kepalanya. Kucing itu tampak kebingungan, baun tidak berusaha untuk melepaskan mahkota bunga itu dari kepalanya. Dalla menggaruk-garuk bawah dagunya sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.
Aku terkekeh dengan pemandangan itu. Kemudian melanjutkan pekerjaanku dalam diam. Hingga akhirnya aku mendapati Abe yang berdiri di sana. Sedang memerhatikanku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan...
***