11

1339 Words
Hening panjang. Kepalaku masih pening. Sambil meringis aku melempar kakiku ke samping agar bisa duduk dengan tegak. Menunduk untuk memeriksa betisku yang terlilit dengan kain putih yang entah kenapa terlihat sangat familiar...  “Abe, jangan bilang kau mendapatkan kain ini dari dalam tasku?” Aku melihatnya mengangguk dengan sebelah tangan berpangku di atas grand piano. Membuatku kehilangan semua ketenangan dan berteriak padanya. “Ini adalah kaos seharga $ 150! Kau breng..!” Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena Abe sudah berdiri dengan sikap malas yang sangat terlihat. “Tadi kau bilang kau lapar? Semua bahan makanan yang kau kumpulkan tadi sudah aku taruh di...” Melihatnya bersikap acuh tak acuh seperti itu membuatku sadar tidak ada gunanya aku memarahinya. “Apakah tempat ini hotel?” Aku bertanya lalu menarik napas panjang sambil memejamkan mata.. “Penginapan, tepatnya dan tidak ada zombie di tempat ini. Jika kau mengkhawatirkannya. Aku sudah mencari di mana-mana." “Kalau begitu tunjukkan di mana dapurnya.” Aku menemukan kedua tas dan pedang saya di lantai. Keduanya masih terlihat sama. Aku bisa merasakan tatapan Abe yang menusuk-nusuk wajahku saat aku mengambil ponsel dari dalam tasku. Siapa tahu kami membutuhkan senter. Aku mencoba berdiri perlahan dengan bantuan lengan sofa, berhato-hati dengan kakiku yang terluka. Bersyukur karena aku masih tidak merasakan apapun. Mungkin hanya goresan, tapi cukup dalam untuk mengeluarkan banyak darah seperti itu. "Kau terlihat baik-baik saja," komentar Abe. Pada saat aku melirik ke arahnya, ia berdiri tidak jauh dariku. "Aku tahu di mana dapurnya." Ia lalu pergi tanpa mau tahu aku akan mengikutinya atau tidak. Gray yang sedari tadi menyasika seluruhnya di dekat kaki Abe sekarang bergerak dan berjalan melewati pria lebih dulu kemudian menghilang. Akhirnya aku mengikutinya, tetapi lebih lambat. Cahaya bulan membantu kami melewati lorong sempit dari jendela lebar. Dari apa yang aku baca di dinding kami sedang menuju lounge. Di ujung lorong, Abe berbelok ke kiri. Kami berjalan melewati meja bar dan beberapa meja bundar dengan kain putih. Ada mawar layu di vas di atas setiap meja. Ada ruangan dengan pintu ganda yang terhubung ke lounge ini. Abe memegang salah satu pintu ganda agar aku bisa masuk. Aku langsung menyalakan senter dari ponsel. Cahayanya cukup terang untuk menerangi seluruh dapur. Aku juga mendapatkan cahaya dari bantuan jendela. Dapurnya kecil tapi memiliki peralatan yang memadai dari banyaknya panci yang bergantung di atas meja persiapan. Tapi yang lebih aneh adalah dapur ini terlalu bersih. Sepertinya mereka sempat menghabiskan waktu untuk membersihkan semuanya sebelum kiamat datang. Aku berjalan melewati Abe. “Belanjaan” kami sudah ia letakkan di atas  meja besi sebelum saya membuka freezer. Esnya sudah mencair sehingga semua daging di dalamnya sudah busuk. Baunya sangat menyengat, membuatku terbatuk. Aku menutup freezer untuk melihat isi lemari. Ada bumbu kering yang belum tersentuh, berbagai varian tepung, satu kotak telur, dan satu botol minyak zaitun. “Apakah penginapan ini sudah tahu apa yang akan terjadi?” Aku berkomentar sambil menggeleng-geleng. Hidangan utama malam ini adalah pasta dengan saos tomat dan telur. Aku hanya berharap telur-telur itu masih cukup segar untuk digunakan. "Jadi kurasa kita tidak bisa memberi Gray apa pun selain kaleng tuna malam ini." Aku mendengar Gray mengeong sebagai tanggapan dari jauh. Aku tahu cara menggunakan kompor industri semacam ini. Jadi untuk menghidupkannya aku harus menemukan pemantiknya. Walaupun listrik sudah mati, gasnya masih baik-baik saja. Saya bisa memanaskan kembali risotto dan membuat telur goreng tanpa masalah. Abe tidak mengatakan apapun saat aku bekerja. Ia lebih memilih untuk bermain dengan Gray. Kucing itu tampak menikmati ketika Abe menggaruk puncak kepalanya. Aku mengambil salah satu mangkuk stainles dan menaruh sekitar dua sendok makan daging cincang yang aku punya di sana. Abe menaruh Grey di atas meja dan sama-sama kami melihat kucing itu makan. Aku tersenyum lega melihat Gray akhirnya makan walau sedikit demi sedikit. Tapi bagaimana matanya masih belum memberiku petunjuk apapun? Pastaku harum sekali walau terlihat sangat menyedihkan. Paling tidak aku bisa menyelematkan tampilannya dengan menuangkan sedikit peterseli kering di atasnya. "Itu terlihat mengenyangkan." Abe setelah aku melihatnya ciptaanku. "Sepertinya aku juga punya sesuatu." Ace menemukan lilin dari lemari di samping pintu. Lilinnya adalah jenis lilin yang digunakan dalam untuk makan malam "candlelight dinner". Wow! Saya suka permainan kata-kata itu! Abe menyalakan lilin-lilin itu dengan obor. Matanya terlihat berkilau dari cahaya lilin. Ekspresinya juga menarik bagiku. Seperti ia sedang terpikat oleh cahaya tersebut. Abe akhirnya kembali kepada dirinya sendiri saat Gray tiba-tiba mengeong lagi. Makanan dalam mangkuknya sudah habis. “Oke, kau anak nakal. Aku akan memberimu minum. Turun saja dari sana.” Gray mendesis marah, tapi ia tetap mengikuti perintahku. Abe memilih meja yang paling dekat dengan jendela. Aku meletakkan dua piring berisi pasta itu sebelum saya kembali ke dapur. Membawa mangkuk air untuk Gray. "Minuman. Kita butuh minuman. " Jadi aku berjalan ke konter bar. Saya tidak tahu perlu tahu jenis anggur apa ini. Karena aku tidak seperti Alec dan ayahku. Aku hanya mengambil salah satunya dan menemukan pembuka. Suara "pop!" menggema di seluruh lounge. Aku mencuci dua gelas anggur dengan satu tangan di atas air yang mengalir dari wastafel di belakang meja bar. Saat aku sudah duduk di seberang Abe dengan Gray duduk tepat di sampingku. Ketika aku menuangkan anggur mata Abe tertuju pada gelasnya. “Aku tidak benar-benar minum.” Ia mengatakannya dengan cahaya lilin membuat matanya lebih gelap dari sebelumnya. “Sedikit saja, kalau begitu,” Aku berhenti mengisi gelasnya saat itu juga “Jadi ketika zombi memutuskan untuk mengunjungi kita dimenit terakhir. Kau bisa menjadi orang yang menyelamatkanku lagi. ” Jika Abe kesal dengan perkataanku, ia tidak menunjukkannya. Ia hanya mengambil sendoknya dan mulai menusuk-nusuk pastanya yang menjatuhkan saos di atas piring. Setelah itu kami semua makan dalam diam. Bahkan Gray juga tidak bersuara. Abe yang tidak bisa menghabiskan makanannya langsug menyodorkan piringnya ke arah Gray. Kucing itu terlihat sangat senang karenanya. Aku selesai makan. Tiba-tiba Abe meletakkan sesuatu di atas meja. Ternyata Glock yang aku benar-benar melupakannya. “Jadi, kau punya ini tapi kau bersikeras untuk menggunakan pedang?” Aku menyesap anggurku sebelum menjawabnya. “Karena aku tidak tahu bagaimana menggunakannya.” Abe menyeringai sangat menyebalkan sekarang. Seperti ia punya lelucon dan hanya ia sendiri tahu apa maksudnya. "Apa? Kau tahu cara menggunakannya? ” Aku merasakan dorongan untuk menampar sesuatu di wajahnya saat ia bersandar di kursinya. "Aku memiliki kewajiban untuk mengajarimu cara menggunakannya." Gray tiba-tiba meninggalkan kami bersamaan dengan angin dingin yang datang dari jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku bisa melihat bulan dari sini. "Aku baik-baik saja menggunakan pedang." Ekspresi Abe tiba-tiba berubah menjadi serius. “Kau tidak bisa mengandalkan senjata itu untuk waktu yang lama. Kecelakaan sore ini adalah buktinya. Dan bayangkan tidak ada yang akan menyelamatkanmu lagi. " Aku memandang senjata itu dengan penuh kebencian. Pistol itu terlihat sangat menakutkan bahkan dalam cahaya ini. “Saya benar-benar benci membayangkan meraih ini setelah semua yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semua nyawa tak berdosa itu .. " Butuh lebih banyak waktu bagi Abe untuk menanggapiku. "Kau benar. Tapi sekarang ini berbeda. Dan kau telah melihatnya sendiri. ” "Ya. Aku tahu. Semuanya sudah tidak sama lagi. ” Itu benar. Aku tidak ingat kapan terakhir kali saya makan dengan orang lain. Aku sempat berpikir untuk memiliki hewan peliharaan juga, tapi itu sudah lama sekali. Saat ini aku tengah makan malam dengan seorang pria asing dan aneh yang aku temui dalam perjalanan. “Oke, kalau begitu. Besok kau akan belajar bagaimana menggunakan ini sebelum kita melanjutkan perjalanan kita. " Abe tiba-tiba berubah lebih lembut dan aku tidak menyukainya. Dan bagaimana ia bisa bertingkah seperti ia mengenalku untuk waktu yang lama? Dan tahu apa yang harus ia katakan padaku? “Ngomong-ngomong, lukamu harus dibersihkan.” Abe bangkit dengan tangan penuh dengan piring kosong. Aku terus mengawasinya berjalan ke meja bar sebelum ak mengangkat kakiku yang terluka di kursi kosong milik Gray. Saya melepaskan ikatan kain untuk melihat kerusakan yang sebenarnya. Aku mengambil botol anggur dan menuangkan sisa isinya ke luka itu. Aku mendesis pedih. Tapi anggur membuat lukanya lebih bersih. Dan aku masih menyayangkan dari semua kain yang ada di dalam tasku. Kenapa Abe malah memilih kaos yang ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD