Bab 4. NIKAHI DIA!

1228 Words
Pasangan itu berdiri dan berjalan ke arah Anggun. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan dan berhenti tepat di samping meja yang Anggun tempati. "Hallo Anggun, masih ingat saya, kan?" tanya wanita cantik itu. Anggun mengangguk dan berdiri untuk salim yang di sambut dengan oga-ogahan oleh wanita itu. "Sore, Bu. Kalau tidak salah, Bu Rosa, kan? Yang pernah bertamu ke rumah orang tua saya bulan lalu." "Wah, ingatan kamu bagus juga," ucap Rosa memperhatikan Anggun dari atas hingga ke bawah. Mertuanya benar, sih. Nggak cuma perilakunya yang anggun. Cara berpakaiannya pun anggun padahal bajunya itu seragam perusahaan. Tapi, entah kenapa Rosa melihat keanggunan di tubuh Anggun. "Perkenalkan ini suami saya, Agung Ebrahim. Sebentar lagi akan jadi su--" "Maaaaa!" potong lelaki itu seraya menyambut salam dari Anggun yang mengerutkan dahinya. "Jangan dengarkan dia, silahkan makan lagi. Nanti billnya saya yang bayar," ucap pria itu lalu berlalu kembali ke mejanya seraya menggandeng istrinya dengan sedikit paksa. Dia di seret oleh istrinya tadi agar bisa melihat Anggun lebih dekat. Langkah kaki keduanya di ikuti oleh Anggun melalui sorot matanya hingga pasangan itu kembali duduk dan sekali lagi pandangan mereka bertemu. "Siapa?" bisik Tiffani seraya melihat sekilas ke arah pasangan tadi. "Aku tidak tahu. Tapi wanita itu pernah datang ke rumah ibu. Sudahlah, makan sepuasnya, katanya mereka yang bayar ini." Tiffani bersiul pelan, "Bisa nambah nggak? Di bungkus aja biar ada makan malam nanti. Pasti lapar tengah malam. Malas masak indomie terus. Lagian mumpung ada yang nawarin, nggak papa kali sesekali perbaikan gizi." Kalimat permintaan yang langsung di jawab gelengan oleh Anggun. "Cukup! Kamu kalau malam jangan makan indomie terus. Nanti kamu tambah gendut. Cukup ini untuk makan malam kita, biar kita bisa jadi kayak artis-artis itu. Tetap langsing dan bisa pakai baju ukuran S." Tiffani hampir mengumpat. Ukuran S? sekarang aja dia udah L walau sedikit longgar. Tapi M udah nggak muat lagi. Malah bercita-cita punya ukuran S. Tiffani mengangkat tangan ke arah waiters dan langsung di pelototi oleh Anggun karena mengira temannya itu akan memesan satu makanan lain lagi. "Billnya, Bang!" ucapnya dan langsung di angguki. Tak lama, abang-abang itu datang lagi dan mengatakan bahwa tagihannya udah di ambil oleh meja pasangan suami istri itu. Anggun berdiri dan mengangguk sopan pada pasangan itu dan di ikuti oleh Tiffani sebagai ucapan terima kasih. Keduanya berlalu dengan cepat dan kembali ke rumah masing-masing. ***** "Kenapa lama kali pulang?" tanya Linda pada anaknya. "Kan, udah izin tadi pagi. Mau betulin laptop yang ibu banting tadi malam. Ada pekerjaan Anggun disana. Jadi harus di bagusi." "Cepat, buatkan makan malam. Ibu belum masak karena baru selesai bikin pesanan." "Kan bisa makan itu aja, Bu! Emang nggak ada sisa?" tanya Anggun. "Bosan makan lontong terus!" teriak Indri dari ruang tamu. Anggun menggeleng. Apakah dia salah jika mengeluh pada Tuhannya telah mengirimkannya di keluarga ini? Salahkan dia jika merasa iri dengan keluarga orang lain bahkan tetangganya yang anak-anaknya akur dan saling membantu? Jika dia menyerah di rumah ini dan memilih kos di dekat tempat kerjanya, bagaimana? Seribu persen Anggun yakin akan di maki dan di katai anak tidak tahu diri. Mentang-mentang udah punya penghasilan sendiri dan lain sebagainya yang membuat Anggun menjadi anak paling berdosa di dunia ini. Tidak apa di nilai bodoh dan terlalu lembek oleh orang lain. Lebih baik begitu dari pada di anggap durhaka oleh orang tua sendiri. Anggun melepas seragam kerjanya, dia langsung menuju dapur dan memasak makan malam untuk tiga orang. Sebenarnya segampang itu sih, semua ada di kulkas tinggal blender cabai kalau mau masak sambal dan cuci sayur yang sudah Anggun siangi. Rebus! Udah. Tapi, dasar malas dan tidak mau tahu, lebih penting main ponsel dan lihat orang joget-joget. Lumayan menghasilkan, menghabiskan, iya! Anggun menghela nafas panjang, mau tegur tuan putri, takut dayangnya langsung marah. Tadi malam sudah membanting laptop, bisa jadi malam ini Anggun yang di banting. "Sudah, Bu!" ucap Anggun dari ambang pintu dapur ke ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. Tiga orang itu ada disana dan segera berdiri usai mendengar laporan dari Anggun. Anggun tidak langsung ke kamar. Dia melayani ketiganya terlebih dahulu. "Ayah mau lontong aja, masih ada?" tanya ayahnya. "Nggak ada lagi rendangnya, cuma pake telor!" "Tidak apa-apa. Sayang terbuang. Basi besok!" jawab ayahnya. Dalam hati Herman, dia kasihan pada Anggun yang akan makan lontong saat sarapan dan kadang akan membawa lontong sebagai pengganti nasi untuk bekal makan siang. Jika Herman melarangnya, Anggun hanya menggeleng dan mengatakan sayang jika terbuang. Nanti disana banyak yang doyan dan bisa tukar tukaran makan siang. Hal yang tidak di percayai Herman. Usai melayani tiga orang itu, Anggun masuk ke kamarnya dan mengambil baju ganti. Mandi di kamar mandi yang ada di dapur juga. Di tempat inilah dia biasanya mencurahkan semua isi hatinya. Menangis sambil di guyur air dari gayung agar tidak ada yang mendengar. Kadang dia melama-lamakan dirinya di kamar mandi, melawan rasa dingin yang menusuk telapak kakinya hanya agar bisa menumpahkan sesak di dadanya. ***** Di lain tempat, "Apa salahnya hanya anak perempuan, Bun? Ayah sama Bunda jangan hidup di jaman dulu lagi. Sekarang sudah jaman emansipasi wanita. Emang salah kalau anak-anak gadis Agung yang lanjut usaha Agung? " Pria berumur empat puluh tiga tahun itu menatap tiga putrinya yang sedang duduk menonton tivi disana. Putri sulungnya bernama Anne sudah berusia lima belas tahun dan sekarang baru masuk kelas satu SMA. Putrinya yang kedua, Maryam umur tiga belas tahun dan sudah kelas dua SMP. Sementara si bungsu,Delilah baru berumur tujuh tahun dan sekarang kelas dua SD. Dia sangat menyayangi ketiga putrinya dan memang tiga anaknya itu lebih dekat padanya dari pada ibunya yang sering keluar tanpa anak-anak. "Tradisi keluarga kita tidak seperti itu, Gung. Memang, semua usaha kamu bisa di wariskan pada Anne, Maryam dan Delilah. Tapi itu hanya usaha yang kamu rintis sendiri. Lain dengan usaha turun temurun dan tanah warisan kakek kamu. Kamu tidak lupa kan kalau kamu masih punya paman? Mereka semua punya cucu laki-laki. Bisa saja tanah warisan kakek kamu hanya di bagi mereka bertiga dan ayah pada akhirnya nggak dapat karena kamu nggak punya keturunan laki-laki, Gung." Agung menghela dengan berat. Baginya secara pribadi tidak masalah. Tapi orang tuanya mendesak anak laki-laki sementara istrinya sudah tidak mau hamil lagi. Mereka sudah buat surat perjanjian saat kehamilan Delilah bahwa itu yang terakhir. Jika Agung mau anak lagi, Istrinya Rosa berhak mengajukan perceraian dengan separuh harta Agung menjadi miliknya dan biaya anak perbulan seratus persen jatuh di tangan Agung walau hak asuh di tangan Rosa. Karena itulah Agung tidak mau meminta anak pada Rosa. Bukan soal harta, tapi cintanya pada wanita itu jugalah yang membuat hatinya berat. "Rosa sudah menyetujui mas Agung untuk menikah lagi, Bun. Rosa juga tidak mau hamil lagi karena merawat badan sampai seperti ini bukan perkara mudah. Rosa menyetujui mas Agung menikah dan mendapatkan anak laki-laki dengan syarat, separuh tanah itu nanti akan menjadi milik ketiga anakku." "Ros!" sela Agung yang sampai sekarang tidak setuju walau Rosa dan orang tuanya memuji gadis yang pernah mereka temui. "Kamu emang nggak tertarik sama dia, Mas? Kam cantik, anggun lagi seperti namanya." Ada nada sindiran dari Rosa untuk kedua mertuanya yang memuji Anggun waktu itu. "Dia belum tentu mau juga, dia masih muda dan mungkin punya pacar." Rosa menggeleng, Anggun udah ada di genggamannya sekarang karena orang tuanya. Apapun yang Rosa inginkan, pasti akan terkabul karena uang seratus lima puluh juta yang sudah dia janjikan. "Nikahi saja! Dia tidak bisa menolak lagi. Begitu melahirkan anak laki-laki, ceraikan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD