Bab 18. DENDA SEPULUH KALI LIPAT

1468 Words
Pernahkah kalian mendengar kesabaran orang sabar itu ada batasnya? Atau marahnya orang pendiam itu kalian tahu seperti apa? Lihatlah Anggun, orang yang sabar dan legowo saja terhadap apapun yang di lakukan padanya selama ini. Tivi harga tiga jutaan dan meja seharga dua jutaan tidak dia pikirkan lagi yang penting amarahnya terpuaskan. Dia bahkan tersenyum setelah melihat dua benda itu sudah tidak berguna lagi. "Beritahu Anggun, apa yang ibu janjikan pada keluarga itu!" ucapnya pelan dengan suara yang bergetar. Dari satu pihak, sudah dia tahu apa, tapi dia ingin mendengar dari ibunya sendiri. "CEPAAAAAAAT!!!!" teriaknya karena ibunya hanya diam berdiri di ambang pintu penghubung dapur dan ruang tamu sambil memilin jemarinya. Dia tidak berani membentak Anggun seperti biasa ketika dia melihat rona merah di wajah Anggun karena kemarahan. Dia juga takut melihat balok yang masih ada di tangan Anggun. Bisa saja balok itu di ayunkan padanya dan dia bisa bernasib seperti tivi dan meja kaca itu. Tidak berguna lagi! Sementara Indri, gadis itu berjalan mundur perlahan dalam diam dan masuk ke dalam kamarnya. Dia mengunci kamar itu dari dalam dan duduk beringsut di balik pintu. Dia ketakutan melihat Anggun yang menggila di ruang tamu untuk pertama kalinya. Sadis! Indri menatap laptop baru seharga enam belas jutaan yang terbuka di atas kasur barunya dan itu semua baru di belikan oleh ibunya dua minggu lalu tepatnya setelah Anggun menikah. "Anggun tidak punya waktu yang banyak, Bu. Cepat katakan sebelum Anggun menghancurkan semua yang ada di rumah ini. Apalagi Anggun lihat banyak barang-barang baru. Menyenangkan sekali mengayunkan pancang ini, uap-uap barang baru kayaknya memanggil-manggil," ujar Anggun sekali lagi terkekeh hambar. Pancang di tangannya di hentak-hentakkan ke lantai hingga terdengar bunyi ketukannya. Tatapannya mengelilingi ruang tamu untuk melihat lebih detail lagi, seberapa banyak benda kecil yang baru yang menempati ruang tamu dan dindingnya. Linda berdehem sekali, "Rosa tidak bisa hamil lagi sementara mereka mendambakan anak laki-laki, makanya itu dia minta kamu menikahi suaminya." "Dia yang minta atau ibu yang menyodorkan Anggun?" "Dia mendengar ibu bertanya tentang pak Rohim tokke itu pada bi Surta saat di hajatan, jadinya dia menawari ibu." Anggun mengangguk, sungguh suatu kebetulan sekali. Jika Rosa tidak ada disana, berarti Anggun akan di jual ke tokke Rohim? 'Astaga Ibu, pak Rohim itu bahkan sudah setua ibu,'batinnya sambil menangis karena ibunya begitu tega padanya. Jika ditanya, apakah dia bersyukur Agung yang menikahinya? Ya, tentu saja. Walau dia bukan istri yang di inginkan, tetapi mungkin di jual pada Agung lebih baik dari pada pada pak tua Rohim. "Apa ibu tahu apa yang akan terjadi padaku setelah melahirkan anak laki-laki?" Anggun bertanya sambil terkekeh. Hatinya kembali meratap karena mengingat pembicaraan Agung dan Rosa tadi malam. Pancang di tangannya terjatuh begitu saja saat dia terduduk lemas di lantai di atas beberapa serpihan kaca dari meja dan televisi. "Anggun akan di buang setelah itu. Dan inilah yang ibu banggakan padaku, bahwa ibu sudah memilih yang terbaik untukku, jalan menuju surga yang ada di telapak kaki ibu. Anggun...hiks... hiks... Anggun akan segera di campakkan begitu anak laki-laki itu lahir ibu. Apakah pernah ibu memikirkan itu?" Anggun tersedu menepuk dadanya yang sesak. Ayahnya langsung berlari dari dapur dan memeluk gadis malang itu. "Kalian pasti berfoya-foya menghabiskan uang hasil penjualan diriku tanpa sedikit pun kalian memikirkan bagaimana aku disana. Asal ibu tahu saja, bahkan menelan nasi yang yang tersedia disana aku sangat takut karena itu akan menambah utang yang sudah ibu mulai. Dan semua ini gara-gara anak manja kalian yang tidak berguna itu!" ucapnya geram di akhir kalimat. Anggun menyingkirkan tangan ayahnya dari pundaknya dan segera berdiri. Melewati serpihan itu dan berjalan menuju kamar Indri dengan asap yang mengepul dari telinganya. Dia menekan handle pintu dan terkunci. "Indri, buka!" ucapnya seraya mendorong pintu. Sesekali kakinya menendang pintu itu. Indri terlonjak di balik pintu kamarnya. Dia menjauh dan menatap pintu itu yang masih tetap di dorong dan di tendang dari luar. Tangannya bergetar dan dia bingung harus bagaimana, dia hendak keluar dari jendela tetapi sudah ada jerujinya. "Ibu.. Ibu..." teriaknya dari dalam dengan suara yang bergetar karena takut. Entah kerasukan apa, Anggun berjalan ke dapur dan mengambil palu. Dia menokok daun pintu tepat di samping engsel dan itu membuat pintu rusak dan bisa di buka. "Kemari kau anak kurang ajar. Kau pengacau hidupku. Gara-gara kau aku terhina terus menerus." Indri berteriak dan menangis ketika rambutnya di tarik Anggun dan di seret ke kamar mandi. Dia diguyur dengan beringas oleh Anggun. Entah kekuatan apa yang di miliki Anggun hingga membuat Indri tidak sanggup melawan seperti biasa. "Anggun! Istighfar, Nak!" ucap Herman berlari ke arah Anggun yang juga telah menghempaskan tangan ibunya karena ingin menolong Indri tadi. "Dia anak kebanggaan dan kesayangan Ibu, kan? Aku ingin melihat bagaimana hidup ibu setelah aku melenyapkannya." Tangan ayahnya dia hempaskan juga dan rambut Indri di tarik lagi. Dia hendak mencelupkan kepala Indri ke dalam bak air ketika tangannya langsung di tarik dan tubuhnya di peluk dengan erat oleh seseorang. Seseorang itu adalah Agung yang sedari tadi berdiri di luar pintu masuk, mendengar dan mengamati apa yang terjadi di dalam rumah mertua keduanya. Sore ini, Agung menyadari bahwa apa yang dia pikirkan mengenai Anggun selama ini adalah salah. Dia benar-benar mendengar sendiri kalau Anggun tersiksa dan menjadi korban keserakahan ibunya. "Apa dia baru tahu soal ini sekarang? Soal dua ratus juta dan soal anak laki-laki? Selama ini dia tidak tau untuk apa dia di rumahku?" batin Agung saat berada di depan pintu tadi. Dia teringat pembicaraannya dengan Rosa tadi malam, mereka membahas ini, "Apa Anggun menguping seperti malam sebelumnya?" gumamnya lagi pada diri sendiri. Beberapa menit setelah itu, dia langsung berlari ke dalam rumah karena mendengar ibu mertuanya berteriak dan ayah mertuanya mengatakan istighfar. Dia berlari ke arah sumber suara dan mendapati Anggun yang sedang kerasukan setan, Agung menarik gadis itu dan memeluknya erat. "Jangan menambah masalah dengan masalah baru. Kalau adik kamu sampai celaka, kamu bisa masuk penjara dengan tuduhan pembunuhan." "Aku tidak peduli! Yang penting, pembawa masalah di hidupku hilang dari dunia ini!" ucapnya masih memberontak di pelukan Agung. "Istighfar!" ucap Agung tegas. Pria itu menjauhkan Anggun dari pelukannya dan menghentakkan tubuh gadis itu agar setan yang merasuki pikirannya hilang. "Anak kurang ajar itu memaksakan ingin menjadi dokter padahal otaknya tidak ada. Dia hanya ingin ikut-ikutan dengan orang lain dan akhirnya aku di jual karena ibunya tidak bisa menolak segala keinginannya. Dan sekarang, mereka bahkan mengganti setengah perabot rumah ini dengan yang baru bahkan ibuku itu..." tunjuknya pada ibunya yang sedang menenangkan Indri sementara ayahnya terduduk di lantai dengan wajah lesu. "Ibuku pasti berbelanja emas murni. Setahuku dan seingatku, masih beberapa bulan lalu ibu merengek iri karena melihat perhiasan teman-temannya sangat besar bahkan meminta thr-ku tahun depan khusus untuknya untuk membeli perhiasan, tapi lihat sekarang, emas murni bahkan bergelantungan di badannya. Karena uang penjualanku tidak jadi masuk ke rekening USU khususnya kedokteran tapi ke rekening si banci Willi yang membuka salon." Orang lain pun turut menjadi korban dari mulut Anggun. Apa salah Willi yang membuka bisnis kecantikan sehingga dia di katai banci? "Seharusnya kau tetap jadi dokter saja Indri biarpun otakmu tidak ada agar tujuan kalian menjualku pada keluarga itu tidak sia-sia, kalau hanya sekolah salon, aku bisa membiayainya sampai kau lulus bahkan mengulang tiga kali. Kenapa kau tidak memakai otakmu, brengseek!" teriaknya Anggun memaki Indri. Lalu gadis itu menatap pria di depannya dan baru sadar bahwa itu adalah Agung. Dia melepaskan tangan Agung dari pundaknya dan segera berlutut di bawah kaki Agung. "Tolong talak saya, Tuan. Saya akan mengembalikan dua ratus juta itu dan kerugian yang keluarga tuan alami semenjak menikahi saya," ucapnya tersedu di bawah kaki Agung yang seketika kembali menjadi dilema. Tak lama, Herman juga mendekat dan memeluk Anggun yang sedang bersimpuh di depan Agung. "Tolong beri kami waktu sedikit Agung, saya akan segera mengembalikan dua ratus juta kalian. Tolong lepaskan putriku dari pernikahan tidak sehat ini." Agung menjauh dan duduk karena tidak ingin melihat ayah dan anak itu bersimpuh padanya. Kepalanya mengangguk dan dia menarik nafas panjang. Tidak apa jika melepas Anggun saat ini, nanti biar dia yang menjelaskan pada Rosa dan orang tuanya di rumah. Yang penting, wajah sendu dan air mata sepasang ayah dan anak ini bisa kembali hidup seperti sedia kala. Dia juga tidak rela menjadikan Anggun istri ketika gadis itu merasa sangat terpaksa dan menderita. "Baiklah Anggun Melisa, mulai det--" "Jangaaaan!" Linda berteriak dramatis membuat Agung berhenti. Ketiganya menatap pada Linda yang terlihat gelisah. Nafasnya terputus-putus dan pandangannya beralih dari mereka. "Ibu ada perjanjian dengan Rosa, hitam di atas putih. Jika kamu tidak menepati kesepakatan yang kami buat dan meminta cerai, dendanya sepuluh kali lipat dari nilai kesepakatan." Setelahnya, Anggun tak lagi bisa mendengarkan apa-apa bahkan perlahan dia tidak bisa melihat lagi apa yang ada di sekitarnya. Pandangannya buram lalu menggelap. Gadis itu jatuh melemah hingga pingsan di sisi ayahnya karena syok atas berita baru yang dia ketahui sore ini. "Tuhan, kenapa Engkau sangat kejam padaku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD