Dilema!
Itulah hal yang di alami oleh Agung saat ini. Sepanjang sore ini ketika dia mengikuti Anggun, dari tingkah gadis itu, Agung menyimpulkan bahwa Anggun mau menikah dengannya bukan karena uang tetapi karena di paksa.
Apakah sebaiknya melepaskannya saja? Tapi bagaimana dengan orang tua Agung dan istrinya Rosa yang punya tujuan dengan pernikahan ini.
Agung berdiri di teras lantai tiga dan melihat kerlap kerlip lampu di kota tempat tinggalnya.
Sejenak!
Agung menarik nafas panjang dan membuangnya lalu bergegas turun.
Dia masuk ke ruang kerjanya yang berada dekat tangga.
Ketika dia sedang sibuk bekerja hingga terlena oleh waktu, pintu terbuka dan muncullah Rosa disana.
"Apa mas sibuk?" tanyanya ketika dia menyembulkan kepalanya.
Agung menggeleng dan mengulurkan tangannya.
Dia membawa Rosa ke pangkuannya dan mereka berciuman sejenak seperti pengantin baru yang kasmaran.
"Kenapa belum tidur?" tanya Agung seraya mengusap sudut bibir istrinya.
"Aku gelisah!" ucap Rosa setengah merengek. Dia menjatuhkan kepalanya di bahu Agung dan ikut serta melihat apa yang sedang di tampilkan di layar laptop suaminya.
Angka-angka yang tidak di mengerti oleh Rosa. Walau sempat dua tahun menjadi sekretaris Agung tapi percayalah, dia ada disana karena cinta Agung. Soal pengetahuan, dia sangat pas-pasan cenderung kurang.
"Karena?"
"Anggun!"
"Kenapa dengannya?" ucap Agung enggan menyebutkan nama Anggun terlebih di hadapan istrinya.
"Aku tidak mau dia berlama-lama disini," ucap Rosa manja.
"Bukankah kamu yang membawanya kemari?" tanya Agung mengingatkan Rosa.
"Ya, tapi aku tidak mau dia lama-lama disini. Aku tidak mau kamu sejalur dengan ayah bunda dan anak-anak."
Agung mengerutkan kening. Sejalur apa maksudnya? Apa sekarang Rosa cemburu melihat anak-anaknya dekat dengan Anggun?
Kalau Anggun bisa mengambil hati anak-anak dalam satu bulan, berarti gadis itu punya kemampuan lebih dari Rosa dalam menaklukkan anak-anak, mungkin punya jiwa yang mudah memahami apa keinginan anak-anak. Ketiga putrinya bisa bersama Rosa ya karena tiga dara itu anaknya. Coba anak Fitri yang merupakan keponakannya, Rosa mana pernah bisa dekat, bahkan cenderung bersikap dingin membuat para ponakannya itu menjauh.
"Langsung ke intinya!" pinta Agung.
"Hamili dia dan setelah dia melahirkan anak laki-laki, bercerailah! Dia masih muda dan bisa mendapat jodoh lain di luar sana."
"Tidakkah ini sangat kejam untuknya?"
"Sudah resiko, ibunya yang sepakat. Aku membayar dua ratus juta untuk itu. Sebelum pernikahan, aku udah bayar seratus lima puluh dan semua biaya yang keluar itu dari aku dan bunda. Setelah itu, aku sudah transfer sisanya lima puluh juta lagi."
Agung terlonjak kaget, sebanyak itu? Untuk apa?
Bukankah ayah dari istri keduanya itu seorang pns? Kenapa mereka ingin hidup melebihi kemampuan?
Agung memeluk istrinya dan meletakkan kepalanya di bahu wanita itu, kini dua orang itu saling berpelukan dengan begitu mesranya.
"Kamu tahu, Ma. Doaku sepanjang hidupku sampai sekarang, agar ketiga putriku selalu merasa cukup untuk segala apa yang mereka mau. Aku memohon pada yang kuasa agar hati ketiga putriku di jauhkan dari keinginan memiliki sesuatu yang tidak sanggup dia raih maupun orang tuanya. Aku tidak ingin mereka seperti keluarga itu, yang rela mencampakkan dirinya pada keluarga lain demi uang."
Gadis yang sedari tadi membekap mulutnya di dekat dinding itu akhirnya tahu apa yang menjadi tugas wajibnya di rumah ini. Melahirkan anak laki-laki.
Dan statusnya selain istri kedua adalah gadis yang rela melemparkan dirinya pada pria kaya demi uang dan hidup glamor.
"Selamat ibu, sekali lagi ibu memberiku gelar yang luar biasa," ucapnya dengan hati yang hancur kembali. Baru saja dia merangkai hatinya kembali tetapi kini langsung hancur kala perekatnya masih belum kering.
Dia menyesali dirinya yang menguping. Seharusnya dia lewatkan saja walau dia mendengar ada namanya di sebut tadi.
Dengan sisa kekuatan dirinya, dia bangkit dari berjongkoknya dan berjalan pelan ke arah dapur dan mengisi botol minumnya disana.
Kedua kalinya dalam minggu ini dia mendengar tujuan keluarga ini menjadikannya sebagai menantu.
"Ocha, aku mencintaimu!" suara tersengal dari ruang kerja Agung dan di jawab dengan erangan dari mulut Rosa.
Kedua orang itu sedang bermesraan tanpa sadar bahwa pintu mereka tidak di kunci rapat.
Anggun melewatinya dan berjalan dalam diam ke lantai tiga. Istana ternyaman nya sepanjang hidupnya.
Walau sudah sangat larut, dia tetap melakukan panggilan pada ayahnya.
"Ayah, apa ayah tahu berapa jumlah yang ibu terima dari keluarga ini?"
Anggun langsung memberikan pertanyaan inti saat ayahnya baru saja menyapanya dengan suara serak.
"Ayah tidak tahu karena ayah tidak pernah bertanya pada ibumu. Kenapa kamu membahas ini di tengah malam?"
"Dua ratus juta! Ibu menjual Anggun senilai dua ratus juta dan sudah di berikan semua. Imbalannya, aku harus melahirkan anak laki-laki lalu setelahnya berubah status menjadi janda."
Suara Anggun tertahan karena menahan tangis. Dan itu jelas menyayat hati ayahnya.
"Maafkan ayah Anggun!"
Herman tidak punya kata lain selain minta maaf. Tidak ada solusi yang bisa dia berikan saat istrinya sudah menghabiskan uang itu dengan foya-foya.
"Ayah, Anggun lupa menanyakan ini setiap Anggun bertelepon. Apakah Indri jadi masuk kedokteran?"
Lidah Herman kelu karena tidak bisa menjawab. Hal ini sudah menjadi perdebatan mereka di rumah dan menjadi alasan pertengkaran mereka beberapa kali.
"Apa benar dia sekolah salon?"
Diam ayahnya sudah menjawab pertanyaan Anggun. Gadis itu mengangguk seraya mengusap pipinya yang kembali basah.
Hidungnya yang berair di tariknya dan dia membuang ingusnya pada tissu di tangannya.
"Harusnya dia tetap mengambil sekolah kedokteran saja, agar penjualan diri Anggun tidak sia-sia. Kalau hanya mau sekolah salon, Anggun juga sanggup tanpa harus menikah dengan orang kaya," ucap Anggun tidak dapat menahan kesedihannya lagi. Suaranya terputus-putus karena sangat terluka pada fakta yang sebenarnya.
"Ayah, Anggun tutup. Udah malam. Besok kita bicara lagi. Besok Anggun akan ke rumah," ucapnya lalu mengucapkan salam sebelum memutus panggilan.
Malam kedua berturut-turut dia tidak tidur. Untuk membuat malam ini terasa berguna, dia membuka laptop dan menulis segala kegundahan hatinya disana. Rasa marah dan kecewa pada orang tua yang tidak bisa mengerti dirinya dia tuangkan disana. Rasa marah dan sedikit benci pada sang ayah karena selalu saja mengalah. Walau katanya itu demi kewarasan rumah tangga mereka, bagi Anggun itu suatu hal kebobrokan. Kegagalan jadi ayah, suami sekaligus
kepala keluarga.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Posisi ini bukan keinginanku tetapi pasti tidak akan di percaya karena orang tuaku sudah menerima uangnya. Haruskah aku menelanjangi diriku sendiri dan melemparkan tubuh telanjangku pada pria yang katanya adalah suamiku? Aku ingin tahu, apa reaksinya ketika melihatku berubah menjadi jalaang. Mungkin dia akan memperkuat dugaannya terhadapku selama ini. Lalu, jika aku berhasil melemparkan tubuhku, apakah jika aku hamil akan merasakan kasih sayang suami seperti wanita lain dari suaminya? Setelah anakku lahir, aku akan meninggalkannya di rumah ini dan kemungkinan besar, aku tidak akan di kenali. Masih pantaskah aku di sebut seorang istri kedua? Aku rasa tidak, aku lebih pantas disebut sebagai penyewa rahim senilai dua ratus juta."
Anggun menuliskan kisahnya sendiri dalam sebuah cerita yang akan dia terbitkan di beberapa platform untuk mendapatkan uang lebih.
.
.
Agung hendak mengikuti Anggun hingga ke tempat kerjanya untuk memastikan gadis yang sedang kacau pikiran itu tiba dengan selamat. Tapi saat di tengah jalan padat, Anggun menyelip dan masuk ke dalam sebuah gang kecil yang hanya bisa di lalui roda dua.
Agung memukul setirnya karena kesal.
Seharian ini, Anggun kembali murung saat bekerja. Tapi, karena dia tidak terlalu terbuka dengan dirinya sendiri pada orang sekitarnya, maka mereka juga membiarkannya saja. Tak mau terlalu kepo di luar walau di dalam hati mereka bertanya-tanya. Sejak beberapa minggu ini, Anggun memang terlihat berbeda. Wajahnya ceria tapi tatapannya sendu dan tertekan.
Walau begitu, dia sangat profesional, pekerjaannya tidak akan terbengkalai.
"Kamu bawa bekal nggak? Makan di luar yuk!"
"Oke!" ajak Anggun setelah menggeleng. Dia tidak bawa bekal karena selera makannya tidak bagus akhir-akhir ini.
Salah satu alasannya, karena di tidak mau di anggap terlalu bergantung pada keluarga itu sehingga untuk makan siang juga harus dari keluarga itu.
Mereka pergi beramai-ramai ke sebuah cafe yang tidak jauh dari tempat kerja.
Karena ada yang sudah kenal pemiliknya, tempat bahkan makanan sudah di pesan melalui telepon agar tidak membuang waktu terlalu lama disana.
Mata Anggun menyipit kala melihat seseorang yang akhir-akhir ini terlibat dalam hidupnya.
Rosa!
Wanita itu sedang bersama seseorang dan terlihat mesra.
Sebisa mungkin, Anggun menyembunyikan wajahnya. Dia memilih duduk membelakangi Rosa.
"Hah, teman tapi saling menyuapi?" gumamnya pelan.
.
.
Sepulang bekerja, Agung sengaja menunggu Anggun di persimpangan dari kantor Anggun.
Gadis itu tidak akan ngeh soal itu karena dia tidak pernah memperhatikan mobil Agung seperti apa dan berapa nopolnya.
Kecepatannya tinggi dan dia melaju ke rumah orang tuanya.
"Ibu!" panggil Anggun sedikit kencang.
Begitu pintu rumah di buka, mata Anggun melotot melihat perabot baru yang ada di ruang tamu. Tivi tabung yang dulu sudah berganti menjadi tivi led besar. Di sampingnya ada akuarium berisi ikan hias.
Anggun mendengus melihat semua barang baru itu. Dengan segera dia berjalan ke arah dapur dan mengambil pancang pintu dan berjalan cepat ke ruang tamu. Dengan segera dia memukul televisi dan meja kaca membuat suara gaduh.
Linda berlari cepat dari kamarnya begitu juga Indri.
Keduanya menganga melihat Anggun yang malah berkacak pinggang dengan satu tangan dan tangan lainnya bertumpu di balok tipis di ruang tamu.
"Apa-apaan kamu?" murka Linda.
Sementara Herman yang baru masuk dari halaman belakang tersenyum melihat putrinya yang bisa melawan.
"Terserah padaku. Ini uang hasil menjual Anggun, kan? Untuk Indri sekolah kedokteran? Hahahahaha.
Kedokteran di salon Willi?"
Anggun mengayunkan pancangnya ke arah akuarium itu.
"Jangaaaaaan!"
Pancangnya berhenti di udara.
"Katakan Bu, apa imbalan yang mereka minta setelah memberi ibu dua ratus juta?"