Anggun terpaksa meminta ijin pada atasannya agar bisa ijin setengah hari. Dia memberitahukan bahwa ibunya barusan menelepon dan mengatakan ada hal mendadak di rumah dan menyuruhnya pulang.
Jelas terlihat ada kepanikan di raut wajahnya bahkan tangannya sampai bergetar karena gelisah.
"Tenangkan dirimu! Gimana kamu bisa pulang kalau kamu seperti ini? Kamu bawa motor, kan?" tanya atasannya itu dengan lembut.
Sang manager itu mengetahui bagaimana Anggun selama ini. Tidak pernah tidak datang kecuali sakit yang benar-benar sakit sekali. Kalau hanya flu dan demam biasa, Anggun tetap hadir di perusahaan dan berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja.
"Duduk dulu!" ucap atasannya dan Anggun menarik kursi di hadapan atasannya itu.
"Tarik nafas dan buang!" titah sang manager dan di ikuti oleh Anggun.
"Kamu bawa motor sendiri, kan? Jangan pulang sendirian kalau kamu masih gemetar. Atau pulang naik ojol aja, tinggalkan motornya disini. Bahaya kamu berkendara sendiri."
Anggun mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan sangat pelan.
Dia ijin keluar dan langsung bersiap pulang. Aksinya yang tidak biasa menjadi tontonan rekan satu divisi yang memang menempati satu ruangan di perusahaan itu.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Tiffani. Gadis itu berdiri dan memegang kening Anggun lalu keningnya.
"Sama!" ucapnya.
"Aku ijin pulang cepat. Ibu nelpon dan suaranya kayak darurat gitu. Aku takut ---"
Tangan Anggun yang sedang beberes berhenti sejenak karena gemetar lagi. Walau dia tidak begitu di sayang seperti Indri di rumah, tapi dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada orang tua maupun anggota keluarga yang lain. Itulah yang menjadi kelemahannya selama ini, keluarga!
Semakin dewasa ini, dia menyimpulkan sendiri, kalau apa yang di perbuat ibunya padanya itu adalah kasih sayang besar hanya saja caranya berbeda. Anggun selalu mensugesti dirinya sendiri dengan hal-hal positif agar bisa menjaga kewarasannya di rumah orang tuanya.
"Aku akan ijin sebentar antar kamu pulang. Kamu nggak bisa pulang naik motor kayak gini, bahaya!"
Anggun menggeleng. Kedua tangannya bertumpu di mejanya dan kepalanya menunduk.
"Nggak usah, aku akan naik ojol. Aku juga sadar nggak bisa naik motor pas emosiku nggak terkontrol."
Tiffani mengangguk lega. Walau mereka bukan masuk dalam kategori sahabat, tapi di kantor ini, hanya padanya lah Anggun bisa sedekat ini. Selainnya biasa saja. Hanya di anggap sebatas teman satu kantor saja.
*****
Anggun masih saja gelisah bahkan sampai menyuruh supir ojol agar lebih cepat.
Perkataan ibunya melalui panggilan telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya.
"Cepat pulang! Kamu ijin dulu. Ini hal penting soal masa depan keluarga kita!"
Setelah itu, sambungan di putus oleh ibunya. Lalu mengirimkan pesan pada Anggun.
Ibu
[Pulang sekarang kalau kamu sayang sama ibu dan keluarga ini. Semuanya, tergantung padamu!]
Sampai di depan rumah, Anggun tidak melihat mobil ayahnya di depan rumah. Padahal pikiran Anggun pastilah ibu dan ayahnya sedang ribut masalah Indri yang sudah selesai ujian masuk perguruan tinggi.
Di depan rumahnya justru ada satu mobil asing dan ada beberapa orang yang bolak balik keluar rumah mengambil barang dari mobil.
"Assalamualaikum! Bu!" panggil Anggun dengan suara pelan. Matanya beredar di seluruh ruang tamu.
Dia menyipit karena ruangan itu di hias sedemikian rupa.
"Bu!" panggil Anggun sekali lagi dan ibunya muncul dari arah dapur dan langsung menarik Anggun ke kamarnya.
"Kenapa lama sekali?"
"Ini ada apa, Bu?" Anggun malah bertanya tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Lama sekali apa, dia saja sampai mendesak tukang ojek agar menaikkan kecepatan tadi. Mungkin tukang ojeknya sudah kesal karena setiap kali mengurangi kecepatan, Anggun selalu protes dan suruh cepat padahal jalanan padat.
"Cepat kemari!" Anggun di seret dan duduk di kursi yang biasa Anggun pakai untuk belajar atau menulis n****+ online. Kursi yang terbuat dari kayu seperti kursi sekolahan. Di mejanya sudah berjejer alat mekap dan segala macamnya lalu masuklah dua orang perias dan mulai merias Anggun.
Anggun menghentikan tangan perias itu lalu memutar kepalanya ke arah ibunya, "Bu, ini ada apa? Kenapa Anggun di dandani?"
"Nurut saja, sebentar lagi Agung dan keluarganya datang melamar kamu."
Duar
Seperti ada suara petir padahal hari sangat cerah. Anggun berkedip beberapa kali lalu mengangguk seperti orang gila dan menyebut nama Agung beberapa kali. Lalu dia terkekeh dan bangkit berdiri. Memutar tubuhnya agar menghadap ibunya dan dia menengadah untuk menghalau rasa sesak yang tiba-tiba datang.
"Bu, Agung itu siapa? Melamar Anggun, maksudnya apa itu? Anggun mau menikah?"
"Apa lagi?" Linda malah menyolot dan menghindar dari tatapan Anggun. Dia tahu Anggun pasti marah dan kesal tapi masih menahan suaranya dan masih bertanya dengan lembut.
"Anggun tidak mau menikah, Bu. Siapa Agung, Anggun juga tidak kenal. Kenapa ibu selalu berbuat sesuka hati ke Anggun? Bukankah harusnya ibu bertanya lebih dulu? Ini Anggun Bu. Anggun!"
Emosi Anggun sudah mulai naik.
Panggilan telepon yang membuatnya lemas karena berpikiran bahwa ayah dan ibunya bertengkar sehingga salah satunya ada dalam bahaya ternyata lebih berbahaya dari yang dia pikirkan. Dirinya mau di nikahkan dengan orang yang tidak di kenal. Apa ibunya masih waras?
"Mau sampai kapan kamu melajang? Kamu udah hampir tiga puluh Anggun. Mau jadi perawan tua? Masih mau nungguin si Rido yang di Kalimantan? Hallaah, itu akal-akalannya aja minta kamu untuk menunggu. Lihat! Sudah lima tahun dia di Kalimantan sana, ada kabar beritanya? Jangan-jangan sudah kawin sama orang plores sana. Sudahlah, ibu tahu apa yang terbaik untuk kamu. Duduk!"
Air mata Anggun menetes. Dia terharu mendengar kalimat 'ibu tahu yang terbaik untuk kamu'. Seandainya itu benar, dia akan sangat bersyukur bahkan akan tersedu saat berterimakasih. Tapi, Anggun sadar, itu hanya kata pemanis yang keluar dari mulut ibunya agar dia menurut. Kata-kata yang membuatnya lemah dan langsung penuh rasa bersalah jika melawan orang tua.
Dua perias itu keluar dan membiarkan ibu dan anak itu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Dalam hati keduanya, mereka merasa kasihan pada gadis yang hendak di rias tapi bukan ranah mereka untuk protes karena mereka hanya di bayar untuk merias.
"Sebenarnya, Anggun tidak masalah jika terus melajang asal Anggun merasa damai dan tenang. Untuk apa punya pasangan jika seperti ibu dan Ayah. Maaf Bu, Anggun jujur! Soal ibu menjodohkan Anggun, Anggun rasa ibu seharusnya memberitahukannya pada Anggun terlebih dahulu. Bukan dengan cara seperti ini."
Anggun duduk dan menatap dirinya di dalam cermin perias yang sudah di pajang di mejanya. Dia mendengus mengejek dirinya sendiri yang lemah tak berdaya di hadapan wanita yang berdiri di belakangnya.
"Kamu lemah!" ucapnya pada dirinya sendiri melalui sorot mata yang berkaca-kaca. Lalu berkedip beberapa kali untuk menghalau kristal air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Jika dengan menikah dengan pilihan orang tuanya khususnya ibunya adalah yang terbaik menurut ibunya, Anggun bersedia. Semua itu demi bakti seorang anak pada ibu yang sudah melahirkannya. Anggun mengangguk dan mengucek matanya. Dia bangkit lalu mengambil handuk yang dia jemurkan di besi jendela kamarnya.
"Anggun tidak melihat ayah, apa ayah tidak ibu beritahu? Seharusnya di hari yang bahagia ini, ibu dan ayah berdamai agar kebahagiaan dan kedamaian dari diri kalian mengalir pada Anggun. Anggun akan mandi dulu, hanya sebentar," ucapnya dan keluar kamar melewati dua perias yang berdiri di samping pintu.
Di dalam kamar mandi, bukan hanya sebentar tapi lebih lama sedikit dari perkiraan karena Anggun kembali menumpahkan kesesakannya pada air yang menggenang di bak.
Jika saja akal sehatnya sedang sakit, mungkin dia sudah menenggelamkan kepalanya di bak itu dan segera pergi ke alam baka. Bertemu dengan orang-orang yang putus asa dalam hidupnya tetapi di tolak malaikat Tuhan ketika hendak memasuki pintu surga.
Anggun menatap bayang dirinya yang ada di dalam bak, dia tersenyum dengan mata bengkak, "Selamat Anggun!" ucapnya dengan terpaksa. Tanpa mengetahui bencana apa yang akan dia terima sebentar lagi.