Bab 11. AKU BUKAN PELAKOR

1432 Words
Usia lima belas tahun bukan lagi usia yang bisa di bodoh-bodohi. Bahkan tanpa di beritahu secara rinci, remaja lima belas tahun sudah bisa menangkap keputusan dari suatu perkara yang sedang terjadi di sekitarnya. Sama seperti Anne. Ketika mamanya bilang bahwa gadis yang datang bersama mereka adalah nyonya juga di rumah ini, dia langsung menyimpulkan bahwa seseorang bisa menjadi nyonya karena sudah pasti menikah dengan pemilik rumah. Mulutnya gatal hendak bertanya tapi gadis yang di perkenalkan bernama Anggun itu langsung berjalan ke lantai tiga mengikuti seorang art. "Ma, maksudnya apa?" tanyanya memastikan. Walau sudah bisa menarik kesimpulan, tetap saja dia butuh jawaban dari orang yang terlibat langsung. "Anggun, gadis tadi, sekarang dia istri papa kalian. Kalian harus hormati yah!" ucap nenek yang langsung di hadiahi pelototan oleh ketiga cucunya terlebih Anne. Gadis remaja itu melihat papanya yang juga naik ke lantai tiga dan itu memperkuat perkataan neneknya. Dia langsung berteriak tertahan 'pelakor' dan langsung berdiri. Anne berjalan ke arah tangga dan di ikuti oleh Maryam dan juga Delilah. Sementara Rosa, dia tersenyum di pintu kamarnya "Tidak akan ada yang bisa menerima kamu di rumah ini, Anggun. Kecuali dua sepuh yang akan segera mati itu," ucapnya menatap ibu mertua yang tergopoh-gopoh ingin naik ke lantai tiga mengikuti ketiga cucunya. **** "Dasar pelakor! Berani sekali kamu merebut papa kami!" teriak Anne yang sudah mendorong Anggun hingga terhempas ke lantai. Wajah Anne memerah karena marah pada wanita yang hanya duduk di lantai menatap dirinya dengan mata berkaca-kaca. Tidak ada raut kemarahan di wajah perempuan yang baru masuk ke rumahnya itu membuat Anne semakin gemes. Ingin sekali dia melawan perempuan itu dan merobek mulut manisnya jika sampai menyangkal. "Maaf!" ucap Anggun menunduk. Dia memperbaiki duduknya. Kini dia bersimpuh di depan anggota keluarga itu. "Maafkan aku!" ucapnya mulai meneteskan air mata. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah memikirkan menjadi pelakor. Tapi ibunya malah melemparkannya pada keluarga ini dan dia menyandang status yang dia hindari selama ini. "Anne! Ini urusan orang dewasa. Tolong kamu turun, Nak. Bawa adek-adek juga," titah Agung setelah menghela nafasnya pelan. Pria itu menoleh ke arah tangga dan melihat bundanya yang sudah ngos-ngosan. "Kan, nenek jadi naik juga. Ayo turun!" ucap Agung lagi. Dia memijat keningnya yang tiba-tiba pusing karena kejadian yang semua serba tiba-tiba hari ini. "Loh, Anggun? Kenapa bersimpuh begitu?" Nenek Anne bertanya seraya mendekat pada Anggun dan hendak membantu gadis itu untuk berdiri. Dia menyentuh lengan Anggun dan bertanya, "Kenapa?" Anggun menggeleng lalu menggenggam tangan wanita tua yang merupakan ibu mertuanya. Dia menengadah dan menatap wajah ibu mertuanya dengan mata yang berkaca-kaca. Anggun menelan ludahnya sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang kering dan terasa perih hingga ke ulu hati. "Nyonya, berapa utang keluarga saya? Apakah pembayarannya harus dengan cara ini?" Suaranya serak dan di tahan agar tidak tersedu. Bibirnya hampir melengkung ke bawah tapi di tahan walau terlihat bergetar. Nenek Anne itu tersentak. Bukankah kata Rosa keluarga Anggun sudah sepakat? Kenapa Anggun terkesan tidak suka dengan pernikahan ini? "Apa maksud kamu, Anggun?" "Maaf, aku hanya bertanya. Jika bisa, tolong beri saya waktu sedikit lebih lama untuk mencicilnya. Bukan de---" "Anne, bawa nenek turun. Kenapa kalian naik? Tante Anggun lelah dan hendak istirahat!" Rosa datang dan memutus kalimat Anggun. "Tapi, Ma!" "Turun. Dia Anggun, mama kamu juga sekarang. Mama yang minta dia menikah dengan papa. Nanti mama jelasin jika kalian sudah dewasa. Sekarang bawa nenek turun!" titah Rosa pada putri sulungnya itu. Sebelum turun, Anne menatap sekali lagi pada Anggun yang tetap duduk bersimpuh dan wajahnya kembali menunduk. Remaja itu berpikir tentang beberapa kata yang keluar dari mulut Anggun. Minta maaf dan bertanya soal hutang. "Apa perempuan itu gadis pembayar utang? Apa dia solusi yang selalu di bicarakan mama dan nenek soal anak laki-laki?" gumamnya dalam hati. Dibeberapa kesempatan, dia pernah mendengar pembicaraan para orang tua di rumahnya. Dan pernah membahas tentang pernikahan papanya lagi dengan orang lain demi anak laki-laki. "Apa ini maksud dari diskusi keluarga selama ini?" lanjutnya bergumam. Jauh di lubuk hatinya, melihat perempuan tadi bersimpuh dan meminta maaf. Dia tidak yakin bahwa perempuan itu pelakor. Atau wajah sendunya itu hanya pura-pura untuk mencari simpati? **** "Kenapa kamu bersimpuh? Apa yang di katakan Anne padamu? Tolong maklum yah, dia masih remaja dan pasti masih belum matang pikirannya. Ayo berdiri! Aku akan menjelaskan pada Anne hal yang sebenarnya." Rosa kembali pada settingan bermuka baik. Dia memperlakukan Anggun dengan sangat baik seolah-olah dia menerima gadis itu dengan tangan terbuka. Padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali mencakar wajah Anggun yang lemah lembut walau dalam keadaan di hina seperti itu. "Bu, berapa utang keluarga saya?" "Sudahlah, nggak usah kamu pikirkan. Kenapa membahas hutang saat kita sudah menjadi keluarga." Rieka, si asisten rumah tangga yang berdiri di sudut kamar mencibir dengan ucapan majikan perempuannya. "Munafik sekali!" bisiknya pada diri sendiri. Siapa di rumah ini yang tidak mengenal Rosa? Wanita itu punya banyak akal dan lidahnya tajam saat bicara. Lidahnya juga sangat ahli membalikkan fakta dan keadaan. Jika bukan karena gaji yang besar dan susahnya mencari pekerjaan, Rieka dan beberapa orang lainnya sudah sangat ingin out dari rumah ini karena sikap sang nyonya yang sangat sombong. Rosa membantu Anggun berdiri dan merapikan rambut gadis itu. Lalu wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Dalam hati dia tertawa mengejek Anggun yang akan menempati kamar ini. "Jangan berpikir kamu benar-benar bisa menjadi nyonya disini," gumamnya dalam hati. "Kamu tidur di kamar bawah aja dulu. Aku pikir ini di bersihkan selama ini, ternyata nggak. Besok di bersihkan lagi." "Tidak apa, Bu. Ini juga hampir selesai!" jawab Anggun tetap menunduk. Dalam hati, dia sangat ingin dua orang di hadapannya itu segera pergi dari kamar ini. Selalu ada perasaan hina dan malu dalam dirinya jika sedang berada di sekitar dua orang ini. Rosa menggandeng Agung agar pergi dari sana. Usai pasangan itu menghilang di tangga turun ke bawah, Anggun menghembuskan nafas panjangnya untuk mengusir kesesakan di dalam hatinya. Tak lama, dia merasakan tepukan pelan di pundaknya. "Jangan terlalu percaya dan terlena pada kebaikan nyonya Rosa. Saya harap nyonya mengerti apa maksud saya. Dan hindarilah Anne, dia pendiam tapi kasar. Lebih baik menjauh darinya untuk keselamatan diri dan batin." Anggun hanya mengangguk menanggapi ucapan Rieka. Dia mulai bergerak lagi untuk melakukan pekerjaannya. Membersihkan kamar yang akan menjadi istana sekaligus tempat persembunyiannya. . . "Kenapa dia harus di lantai tiga. Kamu tahu kan, disana itu gudang. Di lantai dua masih ada satu kamar kosong. Atau di kamar tamu saja," ujar Agung saat mereka menuruni tangga. Dari dulu, lantai tiga memang di konsep hanya untuk tempat penyimpanan dan tempat bersantai saja. Tapi karena sibuk, mereka jadi lupa tujuan teras luas yang sengaja di buat di lantai tiga itu. Selain capek naik tangga. Anggun juga pasti akan kesepian disana. Itulah yang ada di pikiran Agung. "Mas mau di lantai satu agar aku bisa mendengar kalian sedang bermesraan?" tanya Rosa memberi alasan. Agung menyipitkan mata, sampai sekarang dia tidak ada niatan untuk membagi dirinya pada orang lain. Walau tujuan menikah ini untuk mendapatkan keturunan laki-laki, dia sedang memikirkan cara lain untuk menghamili Anggun tanpa harus berhubungan dengannya. Tidak peduli semahal apa, selagi dia bisa membayar. Hanya saja ini, belum dia katakan pada Rosa. "Kamu tahu Ros, aku sedang bertanya-tanya dalam hatiku. Setebal apa keikhlasan kamu merelakan aku pada orang lain. Tidakkah menurutmu kamu sudah sangat keterlaluan padaku? Bukankah kamu seharusnya melawan ayah dan bunda waktu itu? Bukan malah mendukung mereka dengan mencarikan aku istri lagi. Kalau hanya karena tanah warisan itu, kita bisa membeli tanah jika kamu sangat ingin. Aku yakin Rahmat juga tidak akan tertarik dengan tanah itu. Kalau aku bayar dia, dia pasti melepas bagiannya." Rosa berdecak dan ikut berhenti karena Agung berhenti juga. Mereka saling bertatapan di pertengahan tangga. Mengenai ucapan Agung itu, dia juga tahu. Tapi akan beda tanah yang di beli dengan tanah yang di wariskan. Di wariskan berarti tidak mengeluarkan uang tetapi justru bisa menghasilkan uang jika di kelola dengan benar. Lagian, dia tidak tahan mendengar rengekan orang tua Agung terus-menerus apalagi sampai meminta Rosa mencoba hamil sekali lagi. Hah, membayangkan hamil dan punya bayi lagi sungguh membuatnya mual. Saat teman arisannya hang out, dia malah di rumah mengurus bayi. Saat teman arisannya berlibur dia akan tinggal karena bayi. Nggak lah! Nggak mau lagi. "Aku rela asal hatimu juga tidak terbagi. Aku yakin kamu tidak akan membagi hati padanya. Ingat tujuan kita!" Rosa memutar badan dan melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Dia tidak mau membahas ini terus-menerus atau nggak mulutnya akan dengan sangat leluasa mengatakan bahwa tanah itu nanti akan di bagi dua dan rumah kontrakan mertuanya juga akan milik keturunan Agung aja. "Roda dunia berputar, apa yang akan kamu lakukan jika takdir membawaku lebih dekat padanya dan jatuh cinta padanya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD