Menjadi istri dari seorang pria yang masih memiliki istri bukanlah impian setiap wanita. Mungkin tidak masalah jika menjadi yang kedua asal pria itu sudah berstatus single, duda cerai hidup atau mati yang penting status ktpnya single.
Berbeda kasus dengan Anggun.
Kini dia duduk di mobil yang sama dengan pria yang sudah menjadi suaminya dan juga istri pertama pria itu.
Anggun duduk di jok belakang dan langsung menghadap ke jendela mobil yang tertutup. Mengabaikan pasangan suami istri yang duduk di depan.
Kepalanya di sandarkan di kaca mobil dan matanya terbuka lebar membaca setiap tulisan yang bisa di tangkap oleh pandangannya di tengah mobil yang sedang melaju.
Ehem
Rosa berdehem mengusir kecanggungan di antara mereka bertiga penghuni mobil ini. Dari waktu berangkat ke rumah Anggun, Agung mendiami Rosa yang tiba-tiba merubah rencana dengan membawa penghulu. Persiapan lamaran secara tiba-tiba di rubah menjadi pernikahan dadakan.
"Anggun Melisa!" ucap Rosa tetapi tidak sanggup mengubah posisi Anggun menjadi tegap dan siap mendengarkan. Gadis itu tetap bersandar di jendela mobil di belakang Rosa.
"Ya, Bu!" jawabnya pelan dan datar.
"Hehehe, kenapa memanggilku ibu? Aku kakak madumu. Panggil aku kakak atau mbak atau Rosa saja tidak apa," ucap Rosa seraya terkekeh. Dia menatap Agung yang masih tetap dengan wajah datarnya seolah tidak peduli dengan apa yang barusan dia dengar dari mulut Rosa.
"Apa kamu tahu siapa nama suami kita? Kamu masih ingat waktu kita bertemu di cafe kapan hari itu, kan?"
Anggun terdiam. Bertemu di cafe dia ingat, tapi dia tidak ingat siapa nama pria itu. Seingatnya, ibunya tadi menyebutkan Agung. Apakah itu nama pria yang sedang mengemudi itu?
"Namanya Agung Ebrahim Tanjung. Ingat, jangan lupa lagi. Sekarang di belakang nama kamu juga sudah ada nama belakangnya, Tanjung."
"Ya!" jawab Anggun tak peduli dengan semua itu.
Tak berselang lama, mereka memasuki sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan raya dengan tembok semen yang tinggi mengelilingi rumah itu. Dari pagar luar, ada jarak sekitar lima puluh meter lagi untuk mencapai pintu utama rumah. Sekelilingnya di tanami beberapa pohon rambutan dan mangga. Di ujung sana seperti ada kebun mini dan Anggun bisa melihat beberapa jenis sayuran di tanami di tanah langsung dan di pot yang di susun bertingkat dan berjejer.
"Ayo turun. Disini rumah kita. Kamu juga akan tinggal bersama kami di rumah ini. Anggap rumah sendiri karena kamu juga nyonya di rumah ini."
Bagi siapapun yang mendengar ucapan Rosa ini, mereka pasti beranggapan bahwa Rosa adalah istri pertama yang sudah sangat ikhlas lahir batin merelakan suaminya di bagi dengan wanita lain. Namun, yang tidak di ketahui oleh orang tersebut, bahwa keramahan dan keikhlasan yang dia tunjukkan semua itu adalah semu. Itu hanya di luar saja dan terlebih di depan Agung.
Anggun tidak menjawab dan mengikuti dua orang itu masuk ke dalam rumah sementara kopernya sudah langsung di ambil alih oleh pekerja di rumah itu.
Rosa berhenti di ruang tamu dan menepuk tangannya dengan kuat sehingga beberapa pekerjanya langsung keluar dan berkumpul.
Sementara mertuanya masih duduk bersama ketiga anaknya di ruang keluarga dan sedang menonton televisi.
"Ini Anggun. Dia nyonya di rumah ini, sama seperti saya. Tolong layani dia sebagaimana kalian memperlakukan saya dan kami semua di rumah ini. Paham?"
"Paham nyonya!"
"Antar dia di lantai tiga!" ucap Rosa membuat semua pelayan menatap heran pada Rosa dan Agung.
Bukankah katanya wanita muda itu juga nyonya di rumah ini? Kenapa di lantai tiga yang nota bene tidak ada yang menghuninya?
Hanya ada satu kamar yang layak pakai karena dua kamar lainnya di jadikan gudang tempat mainan dan pernak-pernik yang sudah tidak terpakai kepunyaan tiga dara itu.
Agung diam saja, menyerahkan semua keputusan pada Rosa karena Rosa adalah orang yang memilih gadis bernama Anggun itu menjadi madunya. Sekalian dia juga mau menunjukkan pada Anggun bahwa tidak semudah itu dia masuk ke rumah ini dan menjadi istri Agung. Jangan karena terlena oleh uang dan kekayaan yang dimiliki oleh Agung membuatnya berpikir menjadi istri Agung itu adalah jalan ninja menuju kesenangan hidup.
*****
Anggun mengikuti seorang art yang mengantarnya sampai ke lantai tiga. Lalu dia masuk ke kamar yang bau apek dan udaranya lembab karena tidak pernah di pakai dan hanya sesekali di bersihkan.
"Saya akan ganti spreinya, Nyonya. Tolong di tunggu ya!" ucap art itu dan langsung berlalu dari kamar itu.
Sambil menunggu, Anggun menarik sprei berdebu dan juga gorden. Dia membuka jendela agar hawa di dalam kamar itu berganti. Tidak ada AC hanya ada exhaust fan di dinding.
Tidak ada kamar mandi di dalam kamarnya tapi syukur karena di lantai tiga ini ada kamar mandinya jadi dia tidak harus bolak-balik lantai satu hanya untuk buang air atau mandi.
"Loh.. Loh.. Nyonya, Jangan! Biar saya aja!" ucap sang art bernama Rieka itu. Rieka tergopoh-gopoh mengambil kemoceng dari tangan Anggun.
"Saya saja! Nyonya duduk di luar aja!" ucapnya yang langsung di gelengi oleh Anggun.
"Jangan panggil aku nyonya, Ka. Panggil Anggun aja. Panggilan nyonya tidak pantas untuk orang sepertiku!"
Tangan Rieka berhenti. Dia menatap Anggun yang sudah menunduk. Lalu tangannya terangkat menghapus setitik air yang jatuh di pipinya.
"Berikan padaku! Aku akan membantu. Sudah malam, Kakak perlu istirahat juga." Anggun mengambil kemoceng dan membersihkan kamar itu bersama-sama dengan Rieka.
"Anda istri kedua tuan, kan?"
Anggun berhenti. Lalu dia menatap Rieka.
"Sepertinya begitu!"
"...!"
"Aku juga baru tahu sore ini. Aku di telepon agar pulang cepat dari tempat kerja karena ada hal mendesak. Ternyata mendesak menjadi istri! Istri Kedua dan mungkin istri kedua yang tidak di inginkan," ucap Anggun melihat sikap Agung padanya yang ogah-ogahan.
Rieka memutar ingatannya sejenak. Sebelum wanita ini datang ke rumah majikannya malam ini, mereka sudah di wanti-wanti bahwa akan ada penghuni baru dan itu adalah seorang gadis yang rela menjadi istri kedua dan akan melahirkan banyak anak di keluarga ini demi uang. Kenapa jika di hubungkan dengan ucapan barusan seperti tidak sinkron?
"Maaf menanyakan ini, tolong jangan tersinggung. Apa kamu selingkuhan tuan Agung? Atau kamu sengaja menggodanya? Atau kamu punya tujuan tertentu menjadi istri keduanya?"
Anggun menatap Rieka dengan sendu.
Dari pertanyaan ini, dia sudah bisa menangkap bahwa yang lain juga pasti mengira dirinya adalah penggoda tuan Agung atau dia adalah wanita yang melemparkan dirinya pada tuan Agung itu demi sesuatu yang berharga dan itu adalah uang.
Dia menggeleng pada Rieka, "Aku baru mengenal tuan Agung sore ini. Bahkan ketika aku di beritahu akan menikah, aku tidak tahu akan menikah dengan siapa."
Rieka langsung menyeret Anggun lebih ke sudut. Dia berjalan ke arah pintu dan melihat ke arah tangga, jalan satu-satunya ke lantai tiga ini.
"Apa kamu di paksa untuk menjadi istri tuan Agung?"
Anggun mengangguk lalu kembali menunduk.
Mengingat dirinya yang sudah sah membuatnya mempertanyakan nasib yang melekat di dirinya.
"Oleh ibuku. Kamu pasti tidak percaya dan mengatakan aku mengada-ada. Aku disini karena di jual ibuku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan disini sebagai imbalan dari uang yang di terima oleh ibuku untuk biaya pendidikan adikku. Mungkin menjadi asisten rumah tangga atau pekerja lainnya, aku tidak di beritahu."
Rieka menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia meraih Anggun ke pelukannya karena ikut merasa sesak atas apa yang di alami gadis itu. Dia juga kasihan karena sudah tahu untuk apa Anggun disini tapi mulutnya tidak berani mengatakan kebenarannya. Dalam hati, dia akan berusaha membantu Anggun agar merasa nyaman di rumah ini.
"Anda pasti wanita kuat, sehingga di beri jalan seperti ini. Aku akan ada di samping anda apapun yang terjadi. Aku akan ingatkan, nyonya Rosa tidak seramah dan sebaik yang terlihat tadi. Tolong berhati-hati padanya."
Rieka langsung melepas pelukannya pada Anggun dan mengusap air matanya.
"Hapus air mata anda. Ada yang datang!" bisiknya seraya menjauh dari Anggun dan mulai bekerja membersihkan sudut kamar yang lain yang tidak berdekatan dengan Anggun.
Anggun juga mengikuti apa kata Rieka. Dia berterimakasih sekali lagi pada yang kuasa karena mempertemukannya dengan orang yang baik dan mengerti dirinya.
"Disini masih berdebu. Tinggallah di kamar tamu malam ini di lantai satu. Besok setelah di bersihkan baru di tempati!" suara Agung terdengar datar dari ambang pintu. Anggun berbalik dan menunduk.
"Tidak apa tuan. Ini juga sudah hampir selesai!" ucapnya menolak secara halus.
Saat dia bicara seperti itu, terdengar suara langkah tergesa dan tak lama muncul dua remaja perempuan dan langsung menarik rambut Anggun dan mendorong Anggun hingga terjerembab di lantai.
"Dasar pelakor! Berani sekali kamu merebut papa kami!"