Sabtu malam menjadi malam yang bebas bagi ketiga gadis itu karena mereka tidak di paksa tidur di jam sembilan malam dan tidak ada tugas sekolah yang wajib di kerjakan. Setelah Agung turun, ketiga remaja itu masih bertahan di lantai tiga. Menghabiskan satu slice pizza dengan sangat lambat.
Mata Anne bergerak tidak menentu pada gadis yang baru saja duduk di kursi kecil di depan bangku yang mereka duduki.
Dia mengingat tingkah kurang ajarnya tadi malam dengan mendorong dan mengatai perempuan itu pelakor.
Anne mengikuti langkah Anggun lewat lirikan matanya yang berlalu ke kamarnya dan kemudian keluar dengan satu kotak tissu. Gadis itu memberikannya pada ketiga dara yang duduk di hadapannya dan sedang berebut satu slice pizza.
Anggun hendak tertawa tapi takut di katai sok dekat dengan para remaja itu.
"Tante, Anne minta maaf untuk tadi malam dan terimakasih pizzanya." Usai mengatakan itu Anne berdiri dan langsung berlalu dari hadapan Anggun dengan wajah memerah karena malu tanpa mendengar jawaban Anggun. Di ikuti oleh Maryam yang mengucapkan terimakasih juga.
Sementara Delilah, dia berada disana sebentar lagi menghabiskan satu slice pizza yang dia menangkan karena langsung cemberut dan melengkungkan bibirnya ke bawah untuk mencari simpati dua orang kakaknya itu.
"Tante, tante besok beli lagi?"
Anggun menggeleng karena memang tidak ada rencana untuk jajan pizza lagi. Huh, emangnya harga pizza cuma sepuluh atau dua puluh rebu. Sekali-sekali ajalah. Demi keselamatan kantong.
Bibir gadis itu langsung mengerucut lucu karena keinginan makan pizza tidak terwujud.
"Sesekali baru terasa enaknya, kalau beruntun terasa hambar!" ucap Anggun memberi alasan. Dia membantu gadis kecil itu membersihkan tangannya.
"Ke kamar mandi saja!"
Delilah menggeleng. Dia melap tangan dan mulutnya pakai tissu yang di berikan oleh Anggun.
"Tante beneran istri papa?"
Pertanyaan tiba-tiba yang di lontarkan oleh Delilah sungguh membuat Anggun sangat berat untuk menjawabnya.
Tangannya yang sedang mengusapkan tissu di sela jemari Delilah berhenti sejenak.
Benar dia istri dari Agung, sah secara agama , entahlah secara hukum. Tapi membicarakan itu dengan gadis berumur sekitar tujuh tahun, apakah pantas?
"Coba tanya papa kamu aja," balas Anggun.
Delilah hanya mengangguk.
"Teman Lilah juga ada yang punya dua mama. Katanya nggak enak. Papa dan mamanya sering berantem terus papanya pergi dan nggak pulang. Pas dia tanya ke mamanya, mamanya bilang papanya ada di rumah mamanya yang satu lagi."
Anggun bisa bilang apa untuk menjawab Delilah. Secara sekarang kondisi itu sudah lima puluh persen di alami Delilah.
"Tapi, kalau tante istrinya papa berarti mama Lilah juga, mungkin Lilah nggak akan kayak dia, kan tante satu rumah sama kita. Jadi papa nggak akan pergi-pergi kalau berantem sama mama. Lilah senang kalau papa di rumah aja."
.
.
Satu bulan tidak terasa, Anggun sudah menjadi istri Agung yang bisa di katakan hanya sebagai istri di atas kertas saja.
Anggun tidak masalah sih, mau dia di buang juga tidak apa.
Sejauh ini, hanya bisa terhitung jari Agung bicara pada Anggun. Hanya menanyakan kerja dimana dan kenyamanan di rumah. Pernah juga kena marah karena mengajak Delilah jajan dengan naik motor.
Padahal tidak kenapa-kenapa selama di perjalanan dan tidak ada kejadian buruk apapun, Delilah juga merasa senang-senang saja. Bahkan ketagihan.
Ya, sejauh ini Delilah berdiri di sampingnya. Bahkan saat malam, Delilah sering bermain dulu di kamar Anggun lalu turun ke kamarnya.
Anne dan Maryam juga sekarang ramah padanya. Ruang kosong di lantai tiga sudah sedikit bagus karena sekarang sering di pakai oleh ketiganya. Bangku sudah bertambah dan ada lemari susun tempat beberapa komik dan n****+ milik mereka.
Karena permintaan anak-anak, sekarang juga ada sofa disana.
"Tante, beli jajan yuk. Papa belum di rumah," ajak Delilah dengan nada memelas. Udah bosan sedari tadi menggambar dan Anggun sibuk di laptopnya. Hari ini hari libur dan tersisa mereka berdua yang tinggal di rumah.
Agung dan Rosa pergi kondangan sementara Anne, Maryam dan Kakek Nenek, mereka pergi berkunjung ke rumah tante Fitri.
Delilah menolak ikut dua tim itu karena terbayang suasana yang akan di lalui.
Tidak suka di kondangan karena papa mamanya akan sibuk bicara sana sini.
Tidak suka ke rumah tante Fitri karena tidak ada teman bermain.
Intinya semua membosankan dan Delilah memilih baringan di rumah bersama tante baru penghuni lantai atas.
"Nggak, tante takut ketahuan papa kamu lagi. Papa kamu kalau marah nyeremin."
"Yaaaaaah, bosan tante!"
Anggun melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ayo. Tapi yang dekat-dekat saja ya!"
Dua gadis beda generasi itu berangkat dan mereka berkeliling membeli banyak cemilan. Lupa tujuan awal mereka yang katanya lokasi dekat malah melalak sampai kesana jauh-jauh karena teringat makanan banyak di sana.
"Foto, Tan!" pinta Delilah seraya berpose dengan topi yang dia coba-coba.
"Kamu suka?" tanya Anggun dan di angguki.
"Oke, kita kembaran!"
Mereka menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang di sepakati.
Membeli ini itu dan bahkan singgah di taman hanya sekedar foto-foto.
Saat perjalanan pulang, Anggun menghentikan motornya kala melihat Indri keluar dari sebuah salon kecantikan ternama dan sepertinya gadis itu sedang melakukan perawatan.
Anggun menyipitkan mata dan melihat ibunya juga keluar dari tempat yang sama dan mereka memasuki sebuah mobil yang berhenti di dekat mereka.
"Kalian seperti orang kaya saja!" gumamnya melihat salon itu yang sekaligus ada klinik kecantikannya juga.
Dia melanjutkan perjalanan dengan santai sambil sesekali menjawab pertanyaan Delilah soal beberapa bangunan apa itu.
Dari sini terlihat bahwa Delilah itu jarang di bawa keliling Medan.
Atau mungkin di bawa keluar rumah tapi dengan mobil dan dia tidak memperhatikan apa yang di laluinya.
Tepat ketika mereka sampai di depan gerbang, mobil Agung juga baru saja sampai.
Anggun menelan ludah dan sudah pasrah kalau dia akan kena marah lagi. Lumayan kalau hanya Agung yang marah. Gimana kalau Rosa juga ikutan marah?
"Darimana?" tanya Agung datar saat Anggun memarkir motor di dekat mobil Agung.
"Dari taman, Pak!" jawabnya seraya membuka helm Delilah lalu membetulkan letak topi gadis kecil itu. Dia meraih beberapa kantong yang dia gantung di motor dan menyerahkan sebagian pada Delilah.
Gadis itu langsung berlari ke dalam rumah karena takut kena amuk bapaknya juga.
Kurang asem memang, menyerahkan semuanya pada Anggun padahal dia yang merengek tadi.
"Anggun, aku tahu kamu sedang mengusahakan agar dekat dengan anak-anakku. Pertama kemarin aku tidak marah karena kamu membawa Delilah dan Maryam naik motor kamu. Cukup hanya mas Agung yang ingatkan kamu dan aku pikir kamu orang cerdas yang bisa paham bahwa peringatan itu sekaligus larangan untuk kamu. Tapi kamu malah melanggar lagi. Tujuan kamu apa? Cari muka di depan anak-anak aku? Kalau tadi kalian jatuh atau terjadi sesuatu yang buruk, apa kamu mau tanggung jawab, hah?"
Rosa menaikkan suaranya dan membuat beberapa art di dekat mereka menatap penasaran.
Sementara Anggun, dia sudah menunduk dan memejamkan mata kala suara Rosa menggelegar di telinganya.
Rosa berkacak pinggang dan menarik dan membuang nafasnya kasar.
Sebenarnya satu bulanan sejak Anggun di rumahnya, begitu cepat anak-anaknya lengket pada gadis itu. Walau awalnya Anne menatap penuh permusuhan, tapi setelahnya Anne malah dekat walau tidak sedekat Delilah.
Maryam, gadis cuek itu juga ikut-ikutan suka pada Anggun. Mereka berempat sering menghabiskan waktu di lantai tiga. Di ruangan yang sengaja di kosongkan.
Rosa sedikit cemburu karena anak-anaknya bisa merasa nyaman dengan Anggun sementara dengannya seperti biasa aja.
Bahkan sekarang, anak-anak itu sering meminta Anggun yang memasak sarapan atau makan malam mereka. Di suatu kesempatan waktu itu, malah mereka berempat membuat kue bersama di temani oleh canda tawa. Mereka tertawa lepas ketika bolu buatan mereka malah tidak jadi tapi katanya enak.
Kadang di akhir pekan, ke empatnya mau berenang di kolam yang renang di rumah itu juga karena Anggun menolak pergi ke kolam renang umum.
Mungkin sekarang saatnya mengatakan pada Anggun agar tidak berusaha cari muka lagi.
"Maaf, Bu!" ucap Anggun menunduk. Dia meremas tangannya yang sedang menggenggam pegangan kresek yang berisi beberapa makanan sepertinya.
"Bukannya apa, takut terjadi sesuatu aja sama kalian di jalan. Kalau mau pergi jajan, minta Imron atau Abdul. Siapa aja supir yang lagi kosong buat antar kalian," ujar Agung menyela Rosa yang sudah mangap hendak marah-marah.
Bukan mau membela Anggun, hanya saja Agung ingin menjaga kehormatan istrinya Rosa di depan semua art-nya yang sudah menyembulkan kepala dari balik dinding karena kepo pada teriakan Rosa di garasi.
"Jangan di ulangi!" ujar Rosa lalu beranjak dari sana dengan kaki panjangnya dn kepala yang terangkat tinggi penuh keangkuhan.
Agung berdiam disana dan mengeluarkan dompetnya. Menarik beberapa lembar uang merah dan menyerahkannya pada Anggun.
Anggun berdiam tidak menerimanya karena Agung juga hanya menyodorkannya tanpa suara.
"Ganti jajan kalian hari ini!"
Anggun menggeleng dan tidak menerima uang itu.
"Terimakasih tapi tidak perlu, Pak. Ini tidak seberapa."
"Ambillah, saya tidak memberimu nafkah tapi kamu sudah menjajani anak-anak saya beberapa kali."
Anggun tetap menggeleng tanpa melihat Agung. Bahkan helem di kepalanya masih belum di lepas.
Dia tidak pantas di nafkahi karena dia juga tidak melakukan tugasnya sebagai istri dengan semestinya.
"Maaf Pak, saya tidak bisa terima. Bapak sudah menafkahi saya karena sudah membiarkan saya tinggal disini dan memberi saya makan. Terimakasih!"