Bab 1

1344 Words
Duduk sendirian di ruang tamu, Laila terus menatap pintu yang ada di hadapannya dengan mata yang terkadang basah juga terkadang terpaku melamun dengan tatapan kosong dan itu timbul tenggelam dalam ruangan yang terasa sangat hampa bagi wanita itu. Berharap pintu itu terbuka dengan seseorang yang akan masuk ke dalam ruangan tempat dia menunggu sekarang dengan hati yang sebenarnya saat ini terasa hancur berantakan. Sudah berjam-jam Laila menunggu, termenung dengan semua yang terjadi dalam beberapa hari ini. Semua melintas dalam bayangan yang masih terekam sangat jelas dalam pikirannya dan berharap ada penjelasan dari semua kejadian-kejadian yang sudah merenggut kebahagiaannya, terutama setelah dia pulang dari rumah sakit siang tadi. Kemudian terdengar tawa dengan pekik kesakitan dari Laila, “Bodohnya aku! Bodohnya aku!” Memukul-mukul dadanya yang terasa sesak, di antara tawa dan tangis yang kembali muncul, Laila langsung meringkuk seperti bayi di sofa dengan tangis yang terdengar menyayat hati. “Kenapa aku berharap dia datang? Tentu saja dia tidak akan datang! Terlalu banyak manis madu yang harus dia reguk sekarang ini apalagi bersama orang yang sudah pasti di terima oleh keluargamu!” tangis Laila semakin nyaring dan tubuhnya terus meringkuk rapat juga terlihat rapuh. Dan ruangan itu kembali sunyi hanya terdengar suara tangis Laila yang tersedu-sedu hingga hilang dengan mata bengkak yang mulai tertutup lelah. ***Otw** Jemput aku sekarang. Pesan yang baru Laila kirim setelah dia membereskan semua barang-barang miliknya ke dalam beberapa koper. Laila melihat ke arah cincin yang masih terpasang di jarinya dalam waktu yang sebentar, terpaku sejenak dengan pandangan yang mulai mengabur kembali. Dengan hati yang berat Laila mulai melepaskan cincin itu, meletakkannya di nakas dan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas yang akan dia bawa. Sebuah kotak panjang kayu berukir indah, yang di peruntukkan sebagai hadiah oleh Laila yang kemudian tersenyum perih karena dia tahu apa isi dari kotak itu. Sesuatu yang dia harapkan akan memperbaiki semua keadaan, tapi nyatanya justru belum sempat itu di lakukan semuanya sudah langsung hancur dan sirna. Laila mengetik pesan di gawainya dan mengirim ke nomor ponsel yang akan sebentar lagi dia hapus dari sana. Aku harap kau bahagia dengan pilihanmu, aku pergi. Kemudian Laila meletakkan kotak itu berdampingan dengan cincin yang ada di nakas serta sebuah kartu ucapan. Memang sudah waktunya Laila harus menyerah dan dia tidak akan bertahan untuk alasan apa pun juga, walaupun setelah isi kotak itu nanti diketahui. ***Otw*** “Sudah semua?” tanya Sabrina yang membantu Laila memasukkan semua koper juga tas miliknya ke dalam mobil. Laila mengangguk pelan dan dia melihat ke arah rumah yang membuatnya berada di dalam momen-momen yang sangat membahagiakan. “Masuklah,” perintah Sabrina saat membukakan pintu mobil untuk Laila. Dengan tubuh lunglai Laila masuk dan duduk dengan kepala yang langsung bersandar serta mata yang terpejam menahan tangis yang terus menerus mengalir. “Laila! Laila!” Mata Laila terbuka saat mendengar suara yang begitu dia kenal, melihat mobil yang berhenti tepat di belakang mobil Sabrina. Laila melihat ke belakang, seorang wanita keluar dengan menggunakan daster rumah di susul seorang pria dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek. “Laila, Laila! Jangan pergi! Ayo kita semua bicara baik-baik!” Di balik kaca mobil yang tertutup, Laila bisa melihat wanita dan pria itu mengetuk-ngetuk kaca mobil sambil terus memanggil Laila. “Laila! Maafkan Mas! Ayo kita bicara sayang!” ucap pria itu sambil menatap Laila dengan tatapan memohon. “Laila! Kau harus dengar penjelasan kami! Jangan pergi!” pinta wanita yang ikut berdiri di samping pria itu. “Mau bicara dengan mereka?” tanya Sabrina yang sudah siap menyalakan mesin mobilnya. Dengan tatapan kosong Laila menggelengkan kepalanya, “Tidak.” “Jadi?” tanya Sabrina kembali. “Aku lelah, aku butuh istirahat yang lama sebelum mulai menyelesaikan semua urusan ini,” sahut Laila pelan sambil terus menatap dua orang yang ada di balik kaca mobil. “Mau aku antar ke mana?” tanya Sabrina menatap Laila yang terus memandang kedua orang yang masih terus memanggil dengan memohon agar Laila mau berbicara dengan mereka. “Kembali ke SLEEPS WELL,” sahut Laila terdengar semakin lirih. Sabrina mengangguk dan menyalakan mesin mobilnya, tanpa peduli dia melajukan mobilnya dan meninggalkan dua orang yang terus memanggil Laila tanpa henti. Dan dari kaca spion di sampingnya, Laila bisa melihat laki-laki itu sempat berlari mengejar mobil yang melaju setelahnya laki-laki itu terduduk di aspal jalan dan memukul-mukulnya dengan keras. “Seharusnya aku mempercayai semua perkataanmu Sabrina, bahwa tidak ada dalam kamus hidup kita dengan akhir yang bahagia,” ujar Laila pelan, “Ini mungkin karma yang harus kita terima dari akibat perbuatannya di masa lalu.” Tak ada sahutan dari Sabrina kecuali helaan nafas berat yang terdengar darinya. Dan Laila kembali ke momen-momen yang akan terus membangkitkan memori saat dia yakin kalau dia akhirnya menemukan kebahagiaan dalam hidup seorang pria bernama, Pras! ***Otw*** Penginapan SLEEPS WELL. ... Laila menatap tulisan yang tergantung di depan gedung yang terlihat sangat kuno dengan halaman depan juga samping yang luas. Tapi bukan gedung itu yang di tuju oleh Laila, tapi tepatnya paviliun yang terletak di belakang penginapan itu. “Kak Laila yakin akan tinggal di sini?” Sabrina bertanya dengan raut wajah khawatir. “Ya,” sahut Laila. Sabrina hanya menganggukkan kepalanya dan membantu Laila membawa semua barang wanita itu ke dalam kamar tidur yang memang sudah di tempati oleh Laila sejak kecil. “Kak Laila, mau makan apa atau mau sesuatu?” tawar Sabrina saat melihat Laila yang duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. “Aku mau istirahat, aku lelah,” jawab Laila pelan dengan suara yang parau. Sabrina ingin membuka mulutnya tapi urung, hanya ada tarikan napas kemudian mengangguk mengerti kemudian berjalan keluar kamar tidur itu. Laila masih dalam posisi yang sama dengan tatapan kosong yang tertuju pada jendela yang menghadap pada halaman belakang yang ditumbuhi semak belukar. Dan Laila merasa hampa dan sunyi. Tidak, tidak sunyi! Karena suara dan getaran ponsel terus menerus bergema, tapi Laila seperti tidak hirau dan juga mengabaikannya, karena dia tahu panggilan juga pesan yang terus menerus masuk itu dari siapa. Tapi akhirnya Laila mengalihkan pandangannya ke ponsel yang masih berbunyi dan tampak terlihat nama orang yang melakukan panggilan itu. Dengan tangan bergetar, Laila mengambil ponsel itu menatap cukup lama sampai akhirnya memutuskan untuk menerimanya. “Halo! Laila! Laila!” Tak ada sahutan dari Laila, hanya memandang pada layar ponselnya. “Laila, tolong dengarkan aku! Aku bisa menjelaskan semuanya padamu, berikan aku kesempatan untuk bicara! Beritahu aku kau ada di mana biar aku menyusulmu!” Laila tetap diam dan mendengarkan. “Dengar Laila, aku benar-benar menyesal sudah melakukan ini padamu sayang!” “Aku tidak pernah bermaksud untuk membohongi dirimu sama sekali, aku ...” Laila langsung mengakhiri panggilan itu, dia tidak tahan untuk terus mendengarkan pria itu bicara lebih lama lagi. “AKU MEMBENCIMU! AKU MEMBENCIMU!” Laila berteriak senyaring mungkin hingga dia lunglai dan rebah di tempat tidur, kembali tergugu menangis dengan tubuh yang meringkuk. Dan Sabrina dari balik pintu yang sedikit terbuka hanya bisa memandang Laila dengan hati yang sama sakitnya seperti kakak perempuannya itu. ***Otw*** “Mereka ada di sini, ” beritahu Sabrina pada Laila yang terlihat sibuk di dapur, “Tapi aku menyuruh mereka menunggu di halaman depan penginapan.” Tak ada sahutan dari Laila yang masih sibuk berkutat di depan kompor. “Kak Laila ingin menemui mereka?” tanya Sabrina terus memperhatikan gerak gerik Laila yang mondar-mandir di depan kompor. “Tidak,” sahut Laila. “Baiklah,” sahut Sabrina tak ingin bertanya lebih banyak, karena dia sangat mengerti situasi Laila. Di tinggal Sabrina, Laila telah selesai memasak dan segera menaruh piring di meja dan mulai makan dengan pelan. Pahit! Makan ini terasa pahit sama seperti hidupku, pikir Laila sambil mengunyah tanpa peduli dengan rasa lidahnya. Dia harus makan agar tidak lemah kemudian jatuh sakit, karena ada pertempuran yang harus dihadapi dalam beberapa waktu ke depan, batin Laila terus mengunyah dan menelan dengan rasa sakit di tenggorokan. Dan yang terpenting untuk kehidupan yang lain, yang akan hadir dalam hidupku. Tunggu saja kalian dengan pembalasan yang akan membuat kalian menyesali semuanya, dan makanan itu habis tuntas tak bersisa dengan tetap menyisakan rasa pahit yang terasa lengket.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD