Farhan memandang Putri masuk ke dalam mobil berwarna putih. Tidak ada yang berubah pada istrinya itu kecuali bobot tubuhnya semakin langsing. Tidak ada yang lebih menyenangkan menemukan harapannya kembali. Kandas hubungan tidak semata-mata bisa lari bergitu saja. Kisah percintaan tidak semuanya berjalan dengan mulus kadang ada badai yang menimpa. Maka badai itu akan ia lewati dengan sekuat tenaga, agar keinginanya tercapai.
"Itu istri lo," Arnold menghidupkan mesin mobil, ketika mobil putih itu meninggalkan area basement.
"Iya," Farhan tidak akan mengulur-nglur waktu lagi, ia akan membawa Putri ke dalam pelukannya. Ia berusaha setenang mungkin, ia tadi hampir saja berlari mengejar sang istri, tapi Arnold mencegah, agar bermain dengan lembut. Dia lah satu-satunya wanita yang sudah membuatnya hampir gila.
Ketika ia memutuskan menikahi Putri di gereja, ia sudah mengambil keputusan dan komitmen untuk membangun rumah tangga. Ia akan membangun sebuah pernikahan yang harmonis dan saling melengkapi. Tapi ternyata ekspetasinya salah, wanita yang ia nikahi malah meninggalkannya.
Sejatinya pernikahan bukanlah sebuah tujuan, tapi merupakan suatu perjalanan hidup yang harus dinikmati mau suka maupun duka. Ia memang tidak sekaya teman-temannya seperti Alan, ia juga bukan pengusaha sukses. Dirinya hanyalah seorang pekerja, mengais rejeki di negri ratu Elizabeth. Bukan berarti ia tidak bisa menghidupi istri dan anak-anaknya dengan penghasilannya. Ia hanya ingin hidup lebih sederhana dan bermakna, itu saja yang ia impikan. Menginginkan istri yang selalu menemaninya kemanapun berada, ketika pulang kerja ada yang menyambut kedatangannya, itu merupakan hal yang sempurna menurutnya. Ia sama sekali tidak menuntut Putri untuk memasak enak seperti Arnold, ia juga tidak menuntut Putri membersihkan rumah, ia sama sekali tidak menuntut itu, toh ia selama ini hidup sendiri semua ia bisa melakukan sendiri, bahkan lebih romantis jika dilakukan bersama-sama. Ia hanya ingin Putri menemani hidupnya dan membesarkan anak-anaknya bersama.
Arnold mengikuti mobil berwarna putih itu dari belakang. Ia melirik Farhan yang hanya diam menatap lurus kedepan.
"Lo mau ketemu saat ini juga,?," Arnold sebenarnya ia iba terhadap Farhan yang berharap bertemu dengan anak dan istri.
Farhan menoleh ke arah Arnold, "Rencana lo gimana?,"
"Sekarang istri lo ada di depan mata, lo bisa langsung ketemu dia,"
"Dan lo ...,"
"Gue bakalan ngamanin Mince, kalau lo mau,"
Farhan menyungging senyum, "Yakin,"
"Ya, Mince itu lumayan lah menurut gue,"
Farhan seketika tertawa, "Kayaknya lo deh yang agresif,"
Arnold tersenyum, melirik Farhan yang mulai membaca gelagatnya "Gue niat buat bantu lo men,"
"Ah bilang aja, lo terpesona sama Mince,"
Farhan menahan tawa ia tahu bahwa Arnold memiliki niat terselubung, menyandarkan punggung sambil melipat tangan di d**a, "Gue tau lo men, kalau suka sama sesuatu pasti kebawaanya ngebet,"
"Perasaan lo aja, yang naksir gue banyak, kalau model kayak Mince biasa lah,"
"Yang biasa aja itu yang gereget men !,"
"Pengalaman ya sama yang biasa?,"
"Yoi, macam lo enggak tau gue aja !,"
"Lo sama Alan dapat sekelas artis, dan kalau gue kayaknya enggak ikutan deh," Arnold terkekeh.
"Jadi lo mau sekelas Mince,"
"Mungkin,"
Farhan meninju bahu Arnold, "Dasar kampret lo !,"
"Biasalah men, macam lo enggak tau gue aja,"
"Lo sekarang free?," Farhan mulai menyelidiki.
"Ya, baru putus Minggu kemarin,"
"Kenapa?,"
Arnold fokus dengan kemudi setir, ia mengedikkan bahu, "Dia tobat men, katanya gue sama dia beda. Sekarang dia lebih tertutup, mungkin dia sedang mendalami keyakinannya. Dia bilang takut dosa kalau sama gue,"
"Lo taulah pacaran kita kayak apa, udah terlalu lama penghuni di Britania Raya,"
Farhan seketika tertawa, "Jadi,"
"Yaudah kita putus baik-baik,"
"Jadi sekarang lo mau sama Mince,"
"Kalau dia mau tidur sama gue,"
Tawa Farhan lalu pecah, ia melirik Arnold ikut tertawa, "Tai lo men, lo bener-bener asem !,"
"Kebutuhan men !,"
Farhan kembali memandang lurus ke depan, ia melihat mobil putih itu belok ke arah perumahan, "Mobilnya belok, pelan-pelan, kita lihat dari jauh aja,"
Arnold menepikan mobil, ketika mobil putih itu masuk ke dalam salah satu rumah berpagar tinggi, "Kita di perumahan apa sih?," tanya Arnold penasaran, karena tadi ia terlalu fokus mengikuti jejak mobil.
"Perumahan Green Ville,"
"Kita di Kebon Jeruk kan," Arnold mencoba memastikan, ia membuka kaca pintu mobil, karena ia melihat mamang cendol, cilok, melintas di jalan.
"Iya,"
"Deket dong sama apartemen gue,"
"Lumayan, sepertigaan sana udah apartemen lo. Tapi gue enggak yakin ini tempat tinggal Putri. Palingan dia cuma sebentar, kita tunggu aja sampai mereka keluar,"
"Oke,"
***
Sementara di sisi lain, ada dua orang yang khawatir akan keselamatannya.
"Perasaan gue makin enggak enak deh Min," Putri sudah berkali-kali memandang ke arah belakang. Memperhatikan mobil yang menurutnya mencurigai.
"Sama gue juga," Mince membenarkan, ia menambah kecepatan agar lekas ke rumah bunda.
"Langsung ke rumah bunda aja ya,"
"Iya, langsung jamput Mona," Putri meremas tangan menahan gugup. Entahlah ia merasa bahwa Farhan sedang mengikutinya.
"Tadi lo berdua Arnold ngomongin apa sih? Asyik bener sampe katawa-tawa gitu,"
"Masa' sih, dia cuma kenalan sama gue doang, bener deh gue aja tadi enggak ada maksud, nanggepin ucapan dia,"
"Dia enggak lebih dari Farhan lo, playboy abis !," dengus Putri.
"Iya iya tau, gue enggak bakalan mau sama tuh cowok, sekelas dia masa' mau kenalan sama gue. Kan enggak lucu tuh, dia kan sekelas lo, secara keren gitu. Alaah, enggak mungkin lah dia enggak ada maksud apa-apa deketin gue?,"
"Itu lo sadar !,"
"Basi tuh cowok, gue enggak bakalan percaya !,"
Mince melirik Putri, wanita itu mengibaskan rambutnya kebelakang, "Cowok jaman sekarang mah jangan di percaya ! Gombal, ngumbar janji udah kayak kampanye, sumpah kesel gue !,"
"Ya iyalah, janji-janji busuk !,"
Mince menghentikan mobilnya dihalaman, ia dan Putri lalu bergegas masuk masuk ke dalam rumah. Ia hanya ingin semuanya lebih aman kembali ke apartemen bersama buah hatinya.
***
Benar dugaan Farhan hanya menunggu dua puluh menit, mobil putih itu meninggalkan area perumahan. Arnold segera menutup kaca, ia memutar mengikuti arah mobil itu. Farhan menarik nafas panjang, ia tersenyum penuh arti. Ia menarik nafas dalam-dalam, menenangkan hatinya, sebentar lagi ia akan bertemu dengan istri dan anaknya.
Arnold melirik Farhan, ia yakin sahabatnya itu mengharapkan semangat lagi hidup dan matinya. Ia sepertinya tidak menunda lagi, akan mempertemukan Putri dan Farhan, walau dengan cara yang sedikit licik, mungkin membawa Mince dengan paksa.
Arnold sebagai sahabat yang baik tentu saja, akan membantu sekuat tenaga baik suka maupun duka. Ia akan menolong Farhan dengan seluruh kemampuannya tanpa imbalan apapun. Farhan meminta bantuan kepadanya tentu saja dia sudah mempercayakan ia terhadap masalah menimpanya. Ia tahu Farhan, jika masalah kecil, dia tidak mungkin meminta bantuan seperti ini. Mungkin beban yang menimpanya begitu berat, sehingga ia dan Alan turun tangan. Farhan melakukan ini bukan berarti dia tidak bisa menyelesaikan. Hanya saja ini terlalu sulit menyelesaikan sendiri.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan lobby. Farhan menelan ludah memandang Putri menggendong bayi, sebenarnya ia terharu menatap buah hati dan istrinya. Hatinya seketika berdesir. Ini merupakan pertama kalinya ia melihat mereka. Oh Tuhan, ia seakan tidak pantas berada di sini, selama Putri hamil hingga melahirkan, ia tidak ada di sampingnya. Ia tidak tahu bagaimana tersiksanya Putri hamil, menginginkan sesuatu tengah malam, muntah-muntah, kakinya bengkak, atau apalah kesakitan selama wanira hamil.
Dirinya, yang seharusnya menjadi suami siaga, malah tidak ada di samping sang istri. Sementara dia di sini datang tiba-tiba menginginkan dan butuh pengakuan. Pantaskah ia menjadi ayah yang baik jika seperti ini. Ini jelas tidak adil bagi Putri. Semoga permasalahan hidup yang ia hadapi, segera selesai dan membuahkan hasil.
Arnold masuk ke dalam basement, memarkir tepat di depan mobil berwarna putih itu. Ia memandang Mince membuka pintu ,
"Kita eksekusi dia," Arnold tersenyum licik dan menyeringai nakal.
"Lo paling suka, ya model ginian,"
"Ya iyalah, macam lo enggak tau gue men,"
Langkah Mince terhenti, memandang dua laki-laki bertubuh bidang berjalan mendekatinya. Ia menelan ludah, mencengkram tas menghilangkan rasa takut. Apa yang ia takuti semuanya terjadi, Arnold dan Farhan terseyum licik. Seketika keringat dingin jatuh dipelipis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain mengambil jurus seribu bayangannya.
Arnold mengejar Mince yang sudah ngacir meninggalkannya. Jika ingin bermain kejar-kejaran seperti ini, seharusnya Mince latihan dulu mengelilingi tower apartemen ini. Lihatlah dengan berapa langkah saja ia bisa mengejar ketertinggalan dan ia lalu menarik tangan kurus itu.
"Apa mau kalian !," hardik Mince, ia memberanikan diri menatap iris mata tajam Arnold.
Oh tidak, betapa liciknya laki-laki ini. Arnold hanya diam tidak menanggapi ucapannya. Ia tahu bahwa ke dua laki-laki ini telah mengikutinya dari tadi. Ia mengikuti langkah Arnold terseok-seok, menuju mobil jeep berwarna hitam itu. Ia tidak tahu bahwa yang mengikutinya dari tadi adalah mobil jeep hitam ini. Ia melihat Farhan yang melipat tangan di d**a, seakan siap untuk menerkamnya.
"Lepasin !," Mince memberontak, melepas cekalannya. Apalah daya tenaga tidak seberapa dari laki-laki kekar ini.
Arnold mengurung tubuh ramping itu tepat di sisi pintu mobil. Ia tidak berniat sedikitpun melepas cekalannya. Arnold menyungging senyum, menatap wajah cantik itu,
"Saya tidak menyangka bahwa kita bertemu lagi di sini, mungkin kita berjodoh,"
"Jodoh lo bilang ? Jangan ngarep ! lo sengaja ngikutin kita !,"
Arnold tertawa, ia memandang iris mata bening itu, "Iya dong,"
Mince masih melepas cekalannya, "Lepasin !,"
"Jangan harap kamu bisa lolos," Arnold dengan penuh penekanan.
"Ini apa-apaan sih !," Mince semakin kesal, karena ia sudah terkurung oleh dua orang berandal ini.
Arnold menyungging senyum, ia semakin mengerat cekalannya, "Mana kartu apartemen kamu,"
"Enggak ada ! Lepasin !,"
"Gue enggak bakalan kasih buat lo," teriak Mince.
Arnold melihat Farhan, ia memberi perintah agar Farhan mengambil alih tas kecil itu. Farhan menyungging senyum dan mengambil tas dari lengan Mince. Sebenarnya ia ingin tertawa melihat Arnold yang sudah menguasai wanita itu. Ia mengambil dompet dan memeriksa kartu yang ada di sana. Tidak ada tanda-tanda kunci apartemen terselip di dompet, yang ada semua kartu kredit dan debit. Ia mengeledah tas Mince satu persatu memeriksa setiap saku di sana, yang ia dapat hanyalah kunci mobil.
"Enggak ada men,"
Alis Arnold terangkat, ia memperhatikan tubuh Mince. Pandanganya tertuju pada celana jins. Ia yakin kartu apartemen wanita ini ada di saku celana. Ia menarik pinggang Mince merapat ketubuhnya, ia merasakan aroma mawar putih dari tubuh Mince. Benar dugaanya bahwa kartu akses menuju apartemen itu ada di saku belakang. Ia tersenyum mendapati apa yang ia cari, kartu berwarna biru itu ia serahkan kepada Farhan.
"Lo hanya perlu ini men,"
"Yoi," Farhan mengambil kartu itu dari tangan Arnold.
"Berengsek !," Mince tidak terima, emosinya di ujung kepala. Laki-laki itu mengintimidasi yang hanya bisa memperlakukan wanita seenaknya. Arnold kembali mencekal tangan Mince.
"Thank's bro,"
"Pergi sana, gue urus nih orang,"
Farhan tertawa ia lalu meninggalkan Arnold dan Mince begitu saja. Yang pasti ia akan segera bertemu dengan istri dan anaknya. Ia menoleh kebelakangng sekali lagi, memastikan Arnold baik-baik saja. Ia tersenyum penuh arti dan meneruskan langkahnya.
Arnold memandang iris mata bening itu, "Sepertinya kita perlu bicara empat mata,"
"Enggak ! Lepasin !,"
Arnold membuka hendel pintu menyuruh Mince masuk ke dalam. Mince masih bertahan diposisinya, jika ia masuk ke dalam mobil penjahat ini. Ia pastikan nyawanya tidak bisa tertolong lagi.
"Kamu mau aku paksa atau masuk sendiri,"
"Apaan sih !," dengus Mince.
"Beraninya sama cewek !,"
"Masuk !,"
"Enggak ! Enak banget nyuruh-nyuruh gue, emangnya lo siapa !," timpal Mince tidak terima.
"Sebenernya aku enggak terlalu suka berdebat sama kamu. Aku cuma memberi peringatan sekali lagi,"
"Aku paksa atau masuk sendiri !,"
Mince memberanikan diri memandang iris mata tajam itu, kilatan mata tajam itu menyala-nyala. Ada ketakutan tersendiri berhadapan dengan laki-laki ini. Ia menggigit bibir bawah dan melirik ke samping. Ia dengan cepat meloloskan diri, berlari sekuat tenaga meninggalkan Arnold.
Arnold tidak bisa diam begitu saja, ia berlari mengejar Mince yang sudah berani meloloskan diri darinya. Memang tidak terlalu sulit mengejar Mince, ia menarik tangan itu dengan sekali hentakkan. Lalu dibawanya dengan paksa menuju mobilnya. Ia tidak peduli wanita ini berontak, ia tidak ingin Mince mengacaukan pembicaraan Farhan dan Putri di atas sana.
"Kalau kamu coba kabur lagi, aku enggak segan-segan cium kamu di sini,"
"Berengsek !," ia memandang Arnold sudah menutup pintu mobil. Habislah sudah riwayat hidupnya menjadi tawanan laki-laki ini.
"Bersikaplah manis, aku enggak akan nyakitin kamu !," Arnold menghidupkan mesin mobil, meninggalkan area basement.
***