Selamat membaca
***
You’re my everthing, in night and day.
***
Kedatangan Kanaya dengan Cakra kemarin benar-benar membuat keluarga Kanaya yang menjemput perempuan itu terkejut karena melihat keadaan Kanaya, padahal keluarganya, sudah mengetahui bahwa Kanaya terkena musibah, perempuan yang didorong Cakra dengan kursi rodanya itu juga terlihat terkejut saat Ibu sambungnya menjemputnya, mengingat keadaan Ayahnya yang harus banyak di rumah, Kanaya sungguh merasa terkejut, pasalnya ia hanya meminta Adiknya saja yang menjemutnya, tapi kali ini, Ibu sambungnya benar-beanr menjadi Ibu terbaik, selain Ibu kandungnya, perempuan yang sudah hampir lima puluh tahun itu berdiri, di depan tempat penjemputan, menanti anaknya itu.
Rayon tersenyum, setelah melihat Cakra mendorong Kanaya, melihat Kakanya tiba dengan selamat, walau saat ingin pulang ke Jakarta, Kakaknya menglami satu kejadian yang menyakitkan, yang mengejutkan, yang menyebabkan kakaknya itu terduduk di kursi roda.
Cakra memperkenalkan diri, saat ia mendorong kursi roda Nayla hingga di hadapan orangtua perempuan itu. “Oh, iya saya Cakra Tante, calon imam, eh maksudnya teman kerjanya Kanaya.” Cakra berucap, mengulurkan tangannya, bersaliman dengan Ibunya Kanaya.
Tidak hanya Kanaya yang langsung shock mendengar apa yang dikatakan oleh Cakra, Rayon dan Ibunya -- Reyna pun benar-benar menautkan alisnya, terkejut saat ada laki-laki yang memperkenalkan dirinya seperti ini, walau berumur hampir lima puluh tahun tapi Reyna yain telinganya masih berfungsi dengan baik, ia mendengar laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai calon imam Kanaya, yang bukan kah itu berarti sebagai calon suaminya Kanaya? Calon suaminya dari anaknya itu?
Kanaya dengan cepat menggeleng dan memukul lengan Cakra dengan kencang, tidak mungkin Cakra mengatakan itu di depan orangtuanya, Kanaya sungguh tidak ada minat menjadikan Cakra sebagai calon imamnya, sama sekali tidak akan pernah itu terjadi, di kehidupan sekarang apalagi di kehidupan yang akan mendatang.
“Cakra jangan bercanda,” tegurKanaya setelah memukul tangan laki-laki itu. “Enggak Mah, dia bercanda, sudah ah males, ayo pulang,” tanpa mengcuapkan kalimat terima kasih karena sejak dari Kalimantan hingga di hadapan orangtuanya Kanaya selalu diperhatikan, selalu dibantu Cakra, tidak hanya saat kemarin di rumah sakit dan menolongnya pun Kanaya tahu, banyak sekali jasa Cakra kepadanya, tapi mengingat kelakuan laki-laki itu benar-benar mebuat Kanaya hilang akal dan kesabaran, mungkin kalau Cakra bercanda kepadanya saja itu sungguh tidak apa-apa, tapi jangan keterlaluan seperti ini, ia mengatakan itu di hadapan orangtuanya, di hadapan adiknya.
“Ah, baik Cakra, kami pulang dulu, terima kasih sudah membantu Kanaya ya.” Reyna berucap, melihat Kanaya yang sudah pergi lebih dahulu dengan Rayon yang mendorong kursi rodanya, membuat perempuan itu semakin tertawa.
“Ah iya Tante, ma’af sudah menbuat Kanaya marah,” ucap Cakra setelah Reyna berpamitan dengannya.
Cakra tersenyum geli, ia hanya ingin bercanda dengan Kanaya, karena ia tahu setelah ini, Kanaya akan cuti selama dua minggu, di pesawat dan sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit, Kanaya juga sudah diberikan petunjuk oleh dokter, sebaiknya perempuan itu menginap di rumah sakit lagi, agar luka di pinggang perempuan bisa dipantau lebih lanjut, dan tidak menyebabkan hal yang berbahaya, atau hal yang tidak diinginkan.
Melihat waktu yang sudah hampir siang menjelang sore, Kanaya memilih untuk pulang saja, pinggangnya sama sekali tidak merasakan sakit untuk saat ini, Kanaya juga sangat rajin meminum obatnya, tadi pun di pesawat dan selama perjalanan dari hotel ke Bandara yang ada di Kalimantan, Cakra sama sekali tidak membolehkan ia bergerak sedikit pun, laki-laki itu benar-benar menajaganya dengan baik.
“Jangan berpikir apa yang dikatakan orang tadi benar loh Mah, apa yang ia katakan tadi sama sekali enggak benar, anaknya memang begitu suka bercanda,” selama di perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta, Reyna benar-benar tersenyum kearah Kanaya, melihat Ibunya yang bertingkah, dan menganggap apa yang dikatakan oleh Cakra tadi benar, membuat Kanaya benar-benar merasa muak, ia tidak suka begini, menjadi bahan lelucon, menajdi bahan candaan, dan tidak dipercaya begini.
Reyna menyeritkan keningnya, seolah bingung dengan apa yang dikatakan oleh Kanaya itu. “Loh, Mamah enggak ngomong apa-apa loh, Mamah juga enggak nyinggung masalah cowok tadi,” sahut Reyna yang semakin melebarkan senyumnya, ia baru saja bertemu dengan Kanaya, dua tahun lalu, disaat Kanaya mengatakan bahwa hidupnya benar-benar kacau, Reyna tidak susah mengambil hati perempuan itu, dengan gampang Reyna bisa masuk ke dalam kehidupan Kanaya, mungkin saat itu Kanaya benar-benar butuh tempat untk bersandar dan mencurahkan hatinya, saat itu, ia juga sama sekali tidak keberatan menajdi pundak untuk Kanaya bersandar saat itu.
Dua tahun lalu, saat Kanaya menemui mereka di rumahnya, Kanaya langsung mengatakan bahwa ia ingin hidup dengan Ayahnya, hidup sebatang kara membuat Kanaya yang dasarnya memang lemah tapi pura-pura kuat benar-benar membuat Kanaya hilang arah, apalagi saat itu, Kanaya sudah menjadi benalu di hubungan orang lain.
Beberapa waktu setelahnya, Kanaya pun tidak segan menceritakan apa yang tengah ia alami, disaat bersamaan suaminya mengalami sakit, saat itu anak-anak dari ia dan suaminya – ayahnya Kanaya, memang kurang berminat dalam dunia bisnis, oleh karena itu Reyna menyarankan Kanaya yang kebetulan S1-nya lulusan bisnis mengambil alih perusahaan Ayahnya, dan kebetulan anak-anak dari Reyna juga setuju dengan apa yang ia usulkan.
Dua tahun berlalu, sejak Kanaya juga menceritakan tentang jalan cintanya sebelumnya, Kanaya sama sekali tidak terlalu atau bercerita lebih lanjut dengan hubungannya denagn lawan jenisnya, dan kali ini, di Bandara, siang hari, Reyna dibuat terkejut, saat ada laki-laki yang mengatakan kalimat itu kepadanya, di hadpannya dan juga dihadapan Kanaya sendiri.
“Mah, plis lah, dia cuman bercanda,” kata Kanaya lagi, “Ah, Cakra benar-benar malesin.” Kanaya kembali bersuara, ia semakin terusik dengan sneyum Reyna yang semakin melebar, perilaku itu benar-beanr menggangu dirinya.
Kanaya benar-benar ingin memukul laki-laki itu sampai frustasi rasanya, kenapa Cakra bisa mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak masuk akal itu, Cakra sungguh sudah kelewatan dalam hal bercanda, dan itu sungguh mengusik Kanaya.
“Loh, Mamah kan enggak ada ngomong apa-apa, tanya aja Rayon,” kata Reyna membela diri, ia sungguh tidak mengatakan apa-apa sejak masuk ke dalam mobilnya, ia juga tidak menyinggung tentang siapa Cakra, Reyna hanya menanyakan tentang kabar Kanaya, tentang luka perempuan itu.
Kanaya akhrinya kalah dengan apa yang ia katakan, ia tahu jelas dengan tabiat Reyna, walau Ibunya itu diam saja, tapi dari ketawanya saja ia sudah meledek Kanaya, benar-benar memuakan bagi Kanaya.
Kanaya meraih ponslenya, ingin mengirimkan beberapa cacian kepada Cakra, ia sungguh merasa marah dan sebal kepada laki-laki itu, banyak kata dan umpatan yang sudah Kanaya ketik di layar ponselnya, di room chat dirinya bersama dengan Cakra, tapi, saat melihat profil laki-laki itu bersama dengan Nayla, Kanaya kembali menghapus isi chatnya, tidak jadi mmengirimkan pesan kepada laki-laki itu.
Ia lupa, Cakra dan dirinya sudah ada di Jakarta, Kanaya masih ingat dengan janjinya kepada dirinya sendiri, ia ingin menjaga kehormatannya, ia tidak ingin hidupnya tercemar lagi dengan perbuatan dan kecerobohan yang ia perbuat sendiri, Kanaya ingin menjalani hidup lebih baik, menjadi permepuan yang punya harga diri, walau ia tahu, ia tidak pantas menjadi wanita terhormat, lagi, karena ia sendiri yang menginjak-nginjaknya.
Cakra sudah ada di Jakarta dan kemungkinan laki-laki itu juga bertenya dengan Nayla, Kanaya harus ingat bahwa dirinya dan Cakra hanya teman kerja, hanya rekan kerja, mereka tidak berteman, ia juga dan Cakra sudah sepakat, Cakra akan menemukannya dengan Nayla nanti, saat mereka sudah berada di Korea, dan untuk saat ini, Kanaya benar-benar harus tidak menghubungi laki-laki itu, bukan kah dirinya tidak ingin hal yang buruk itu terjadi lagi, Kanaya tidak ingin kan ia kembali menjadi perempuan bodoh, terperangkap dalam hubungan orang lain, menajdi benalu dihubungan orang lain.
Pesan yang sudah Kanaya tulis dengan segala emosi, benar-baanr sudah ia hapus, perempuan itu juga sudah menutup kembali room chat dirinya dengan Cakra, ya Kanaya harus sadar bahwa Cakra hanyalah rekan kerjanya, bukan temannya, teman dekat, apalagi calon Imamnya.
***
Nayla merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang, wangi farpum itu sungguh familiar di hidungnya, kecupan lembut di pucuk kepalanya juga membuat Nayla yakin bahwa laki-laki itu kini sudah pulang, sudah ada di rumahnya.
“Hari ini jadwal kontrol kan?” Cakra berucap, membalik tubuh Nayla akan berhadapan dengannya, perempuan itu terlihat sangat cantik, walau tanpa polesan yang tebal, kulitnya yang putih pucat membuat Cakra semakin mencintai perempuan itu, semakin sadar bahwa di depannya ini benar-benar Nayla, wanitanya itu sudah benar-benar kembali.
Nayla mengangguk, wajahnya terlihat terkejut, tangannya meraba wajah Cakra, perempuan itu merasa sedih, ia benar-benar ingin melihat Cakra, benar-benar ingin melihat dunia, ia juga ingin hidup dengan normal, Nayla ingin menikah dengan Cakra, ingin menjadi Ibu untuk anak dari laki-laki itu, ingin menjadi istri yang berbakti kepada Cakra, tapi, kalau begini Caranya, Nayla merasa tidak pantas untuk mendampingi laki-laki itu.
Cakra Nugraha, pengusaha muda, yang sangat bertalenta di dalam bisnisnya, pengusaha-pengusaha kelas kakap, yang sudah mendahuli Cakra di dalam dunia binis pun kini mulai mencari Cakra, bekerja sama dengan laki-laki itu, mengingat pekerjaan Cakra yang amat memuaskan, terdengar di telinga mereka, jelas saja, berita itu semua di dengar dari mulut Ibunya, sehabis Nayla bangun dari tidurnya, Navla tidak habisnya membanggakan Cakra selama ini, dari Cakra yang setia dengan dirinya, dari Cakra yang sempat juga memenangkan penghargaan menjadi pengusaha muda yang berpengaruh, dari Cakra yang selalu menemani Nayla, dan tentang Cakra yang terlihat hancur di hari pernikahan mereka dahulu, itu semua Nayla dengar dari Ibunya, dengan perasaan yang hancur, dan senang sekaligus.
“Cak, kalau aku buta permanen bagaimana?” pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Nayla, Nayla juga sudah membayangkan bagaimana hidupnya nanti, mungkin bagi Nayla sendiri yang buta, ini tidak apa-apa, ini sudah menjadi takdir di dalam hidupnya yang ia setujui saat di dalam kandungan Ibunya, tapi Nayla memikirkan bagaimana hidup Cakra setelah ini, laki-laki itu sudah menghabiskan banyak waktu untuk menunggu dirinya, sedangkan Nayla sama sekali tidak bisa menemani Cakra setelah ini, tidak bisa menemani laki-laki itu untuk membangun bahtera rumah tangga yang bahagi yang selalu mereka bicarakan, Nayla tidak bisa menjadi perempuan yang sempurna untuk Cakra.
Cakra tersenyum, laki-laki itu kembali mencubit pipi Nayla, Cakra tahu senyumnya itu belum bisa dilihat oleh Nayla, tapi tangan perempuan itu ia arahkan ke wajahnya, ke bibirnya, agar Nayla tahu bahwa saat ini Cakra tengah baik-baik saja, bahwa saat ini Cakra sama sekali tidak merasa keberatan dengan apa pun keadaan Nayla sekarang, Cakra pasti akan menerima perempuan itu, bagaimana pun bentuk dan keadaanya.
“Nay, kan sudah aku bilang, enggak apa-apa, bagaimana keadaan kamu, bagaimana bentuk kamu, asal kamu di sini, di sisiku Nay, aku sudah merasa cukup.” Cakra kembali berucap, kalimat yang berkali-kali sudah ia katakan kepada Nayla, kalimat yang ia kayakan juga kepada Navla, Cakra sudah mengatakan kepada semua orang bahwa ia mencintai Nayla, bagaimana pun bentuk dan wujud Nayla nantinya.
Nayla memeluk tubuh laki-laki itu, kekhuwatiran Nayla masih tetap sama, walau ia tahu Cakra tengah tidak kenapa-kenapa, walau Nayla tahu Cakra baik-baik saja dan menerima dirinya apa adanya, Nayla masih khuwatir, Nayla hanya buta, tapi telinganya masih berfungsi dengan normal, telinganya baik-baik saja, Nayla kemarin, beberapa kali mendengar nama perempuan itu disebutkan, sudah dikatakan bahwa Nayla hanya tidak melihat, semua indera di tubuhnya masih berfungsi dengan baik-baik saja, dan Nayla perempuan, yang memiliki isnting tidak main-main, ia tahu, ia merasa saat Cakra berdusta atau saat menyembunyikan sesuatu darinya.
“Yaudah ah, ayo, nanti antriannya panjang,” ucap Cakra, membantu tunangannya itu untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya berada.
Nayla menahan bibirnya saat ingin memabas nama perempuan yang ia dengar itu, nama Kanaya tidak dimiliki oleh orang itu saja, Nayla tahu, apalagi di Jakarta, pasti banyak nama perempuan seperti Kanaya, lagi pula, Cakra kan laki-laki baik, tidak mungkin Cakra bisa melakukan tindakan-tindakan yang nantinya akan menghuancurkan dirinya, akan menghancurkan hubungan mereka.
Nayla mengarahkan wajahnya kearah jendela, Jakarta hari ini kabarnya bagaimana ya, apa Jakarta tengah mendung, apa Jakarta tengah hujan, walau Nayla merasa gerah ia tahu bahwa Jakarta tadi sempat didera hujan sebentar, ah, Nayla merindukan melihat hujan, sungguh.
Tangan Nayla yang tersusun rapi di atas pahanya disentuh pelan oleh Cakra, Cakra merasakan ada satu hal yang berbeda dari perempuan itu, Nayla sekarang tak terlalu meresponnya, Nayla juga seolah males untuk mengangkat telpon darinya, kalau Nayla takut ia akan meninggalkan perempuan itu hanya karena Kanaya, hanya karena Nayla mendnegar nama Kanaya keluar dari mulutnya, maka, Cakra akan memastiakn itu tidak akan pernah terjadi, kalau Nayla juga takut bahwa dirinya akan meninggalkan Nayla hanya karena Nayla buta, hanya karena Nayla merasa tidak sepandan berada di sampingnya, maka Cakra sudah akan meninggalkannya sejak dua tahun yang lalu, sungguh, Cakra tidak punya alasan untuk meninggalkan perempuan itu, bagaimana pun keadaan Nayla.
Nayla mengarahkan kepalanya, saat mendengar suara Cakra yang memanggilnya, Nayla rasa ia sudah berada di parkiran rumah sakit, tempat tinggalnya selama dua tahun terakhir ini. Nayla dituntun oleh Cakra untuk berjalan ke ruangan dokter, sesekali saat mereka masih berjalan dari parkiran, Cakra mengusap kepala tunangannya itu, membelai rambut Nayla dengan gemas, sungguh, bagaimana pun keadaan Nayla, rasa cinta Cakra tidak berkurang dari perempuan itu, sedikit pun.
Nayla kembali bertemu dengan dokter Hilman, Dokter yang rasanya seperti Ayahnya, Dokter yang sudah merawat Nayla hingga Nayla sadar seperti ini, senyuman di bibir Nayla tercetak jelas, saat kembali mendengar bahwa saraf-saraf di tubuh Nayla sudah bekerja dengan nomal, tanpa ada masalah lagi, walau, satu masalah yang besar yang mereka semua tahu, ya, tentang Nayla yang masih tidak bisa melihat dunia.
“Saya segera mencarikan donor mata untuk Nayla, walau sebenarnya saya sendiri tidak menemukan hal yang aneh saat pemeriksaan di mata Nayla.” Dokter Hilman berucap, bahkan hasil pemeriksaan Nayla ia bawah ke rumah, saat di rumah sakit, saat berdiskusi dengan Dokter lain, Dokter Hilman benar-benar tidak menemukan hal yang aneh dari hasil pemerisaan terhadap mata Nayla, mata perempuan itu normal, dan sama sekali tidak ada yang salah kalau dilihat dari hasil pemeriksaan yang mereka lakukan.
Nayla terdiam seribu bahasa, maksud dari Dokter Hilman apakah dia berpura-pura buta? Nayla sendiri saja tidak ingin menjadi seperti ini, Nayla juga ingin melihat, Nayla ingin melihat dirinya, melihat Ibunya, melihat dunia kembali, seperti dengan apa yang dahulu bisa ia lihat.
“Maksud Dokter, saya beprura-pura buta?” Tanya Nayla langsung, koma hanya membuat dirinya terdiam tak sadarkan dirinya, bukan mengubah dirinya, walau Nayla sudah tubuh dewasa seperti ini, Nayla tetap Nayla yang mudah tersinggung dan mengeluarkan kata-kata yang pedas, ya, Nayla benar-benar sudah hidup walau tanpa melihat dunia.
Cakra langsung menoleh, memandang perempuan itu saat sebait pertanyaan kelaur dari mulut Nayla, sedangkan Dokter Hilman mencoba untuk memberikan pengertian, tidak, maskdunya tidak menuduh Nayla, bahwa paseinnya itu berpura-pura buta, tidak sama sekali, tapi, Dokter Hilman hanya bingung, dari pemeriksaan yang sudah ia lakukan, ia sama sekali tidak menemukan ada yang aneh, atau ada yang tidak wajar terjadi dari jaringan penglihatan Nayla.
“Kalau Dokter Hilman tidak bisa, tidak sanggup, saya akan cari dokter selain Bapak,” perkataan Nayla, kembali membuat Cakra terkejut, perempuan itu juga mulai beranjak dari duduknya, Nayla mencoba meninggalkan ruangan itu, sungguh, Nayla sangat tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Dokter Hilman tadi, ia seolah dituduh berdusta, Nayla sungguh benci keadaan seperti ini. Jujur saja ia sudah emrasa tertekan beberapa waktu belakangan ini, Nayla merasa dirinya stress, ia hanya diam di rumah, tidak ngapa-ngapain, beradaptasi dengan gerak tubuhnya karena sudah lama tidak digerakan, dan hari ini saat Nayla sedang memeriksa keadaan, ia malah diberikan pernyataan seperti ini, sungguh, rasanya sakitnya menjadi dua kali lipat, sudah buta dan dituduh pura-pura buta.
Nayla membuka pintu ruangan itu sendiri, dengan penglihatan yang sama sekali tiak mendukung dirinya, tangannya meraba dinding, mencoba pergi dari ruangan Dokter Hilman, sedangkan Cakra berusaha mengejar permepuan itu, terlambat, Nayla sudah jatuh, perempuan itu mnabarak seorang perempuan yang duduk di kursi roda yang tengah didorong oleh seorang laki-laki, di pinggir lorong rumah sakit, di depan ruangan PaK Hilman.
“Mbak, Mbak enggak apa-apa?” Tanya perempuan yang ditabarak, atau yang sebenarnya ia lah yang menabrak Nayla itu, Nayla sendiri tidak melihat saipa yang salah di sini. “Ma’af Mbak,” ucap perempuan itu lagi. “Saya enggak lihat,” kata permepuan itu, mencoba untuk membantu Nayla berdiri, padahal Rayon sudah membantu perempuan yang ia tabrak itu berdiri, Kanaya benar-benar meminta ma’af atas kejadian yang ia alami.
Nayla menggeleng, mengatakan ia tidak kenapa-kenapa, suara Cakra membuatnya terdiam, dan mengurunkan niatnya untuk berjalan lagi, untuk mencoba kabur dari laki-laki itu.
“Kanaya …”
***