Selamat membaca, kalau bisa berdo’a dulu ya sebelum membaca.
***
Satu dasar dari terjadinya pernikahan adalah kepercayaan juga menerima apa adanya tentang keadaan pasangan kita, apa pun itu.
***
Cakra memejamkan matanya, laki-laki itu mencoba mengistirahatkan tubuhnya, mengistirahatkan pikiran juga badannya, rasanya laki-laki itu lelah sekali, tapi, pekerjaan dan urusannya tak ada kata selesai barang satu jam pun, dua puluh empat jam benar-benar waktu yang sangat singkat bagi Cakra untuk menjali hidupnya, menjalani harinya, menjalani bisnisnya.
Ponselnya bergetar, ia tahu bukan Nayla yang menelponnya, karena saat tadi di rumah sakit saat ia masih mengurusi Kanaya, perempuan itu sudah mengatakan bahwa ia akan beristirahat.
Cakra meraba ponselnya di samping tempat tidurnya, saat ponselnya bergetar dengan hebat, menandakan ada yang memanggilnya, tautan di kening Cakra menyatu, saat melihat nama Arya yang memanggilnya, apa ini ada hubungannya dengan Kanaya? Rasanya tidak mungkin, jam segini, Arya menelponnya untuk membicarakan masalah pekerjaan, pasti ini tentang Kanaya.
“Kanaya ingin bertemu dengan saya?” ulang Cakra saat mendengar apa yang dikatakan oleh Arya. “Sekarang? Apa ada yang salah dengan Kanaya? Apa terjadi yang tidak-tidak?” Tanya Cakra sedikit khuwatir dengan apa yang didengarnya dari Arya itu.
Jam dua pagi, kenapa, ada apa dengan perempuan itu, hingga jam segini Kanaya ingin bertemu dengannya.
“Tidak Pak, Ibu Kanaya hanya inngin bertemu,” jawab Arya di seberang sana.
Tidak menjawab apa pun setelah mendenagr apa yang dikatakan Arya, laki-laki itu langsung bergegas untuk menemui perempuan itu, menuju rumah sakit di mana Kanaya berada, laki-laki itu yakin bahwa dokter dan suster bisa menyelamatkan Kanaya, tapi entah lah, apa yang membuat Kanaya ingin bertemu dengannya jam dua pagi seperti ini, berarti ini sungguh mendesak bukan?
“Cakra …,” suara lemah Kanaya terdengar saat perempuan itu melihat Cakra masuk ke dalam kamar rawat inap Kanaya.
Arya yang jelas masih terjaga karena menjaga perempuan itu bangkit berdiri, keluar dari kamar atasannya itu, membiarkan Kanaya dan Cakra berbinca berdua saja.
Kanaya menautkan alisnya saat Arya kelaur dari kamanrya, padahal perempuan itu juga ingin berbicara dengan Arya, maksudnya agar Arya tahu tentang apa yang ingin ia katakana pada Cakra, sebenarnya Kanaya bisa meminta tolong pada Arya, tapi, ia paham, bahwa ia tidak akan bisa bekerja setelah ini, dan Arya pasti akan ia fokuskan pada proyek yang akan berjalan ini.
“Jadi ….” Kanaya berucap, perempuan itu mencoba bangun dari posisi awalnya yang membuat Cakra langsung mengejar perempuan itu dan mengatakan bahwa Kanaya tidak usah bangun dari tidurnya.
Cakra menangkap tubuh Kanaya yang ia coba untuk bangunkan ini. “Kenapa sih segala pakai bangun,” cerca Cakra kepada perempuan itu, ia tidak sempat bertanya dengan dokter yang menangani Kanaya di ruang operasi tadi tentang bagaimana keadaan Kanaya, jadi sejujurnya Cakra tidak tahu pasti bagaimana keadaan perempuan itu saat ini. “Kamu gimana, kabar kamu gimana, masih sakit enggak sih?”
Kanaya jujur saja terkesima dengan pertanyaan yang baru saja Cakra lemparkan tadi, laki-laki itu memang terlihat terlalu brutal, maksudnya terlalu sering bercanda dan terlalu menggangu bagi Kanaya, tapi Kanaya juga tahu bahwa Cakra orang yang baik, Cakra laki-laki baik. “Aku baik kok Cak,” ucap Kanaya dengan lembut, “Thank’s,” sambung perempuan itu, dengan lembut, dengan menaap mata laki-laki itu, Kanaya kembali tersenyum.
“Kenapa Kanaya, kamu mau ngomong apa?” Tanya Cakra, laki-laki itu kini menarik banguk, agar bisa duduk lebih nyaman di samping tempat tidur Kanaya.
Jam dua lewat tiga puluh menit, di pagi-pagi buta, Kanaya akhirnya menceirtakan apa yang terjadi di dirinya kemarin, Cakra yang melihat perempuan itu bercerita dengan lancar mengira Kanaya sudah sehat seutuhnya, hingga perempuan itu bisa duduk dengan nyaman berhadapan dengan laki-ali itu, oh sama sekali tidak, itu sungguh salah, jujur saja Kanaya merasakan nyut-nyutan di perutnya. “Iya, jadi kemarin itu aku nolongin cewek, nah waktu aku ditembak, penjahat itu lari bawa kabur si cewek ini, aku kepikiran dia Cak.” Kanaya menceritakan keadaannya, jujur saja, Kanaya tidak meminta belas kesihan kepada Cakra tentang keadaanya ini, Kanaya juga tidak bermaksud mengatakan bahwa ia menajdi pahlawan bagi perempuan yang dibawa kabur itu, tapi, kalau tidak kepada Cakra, Arya, yang membantunya, Kanaya takut perempuan itu tidak akan selamat.
Mungkin perempuan itu selamat, nyawanya masih ada, tapi, siapa yang menjamin bahwa tiga orang laki-laki itu tidak merebut kesucian dirinya, bukan kah sekarang sudah marak kejahatan, kalau tidak diperkosa ya dibunuh.
“Tapi, Kan, jujur saja, ini sunggu merepotkan, maksudku, tadi aku, kami, sudah melapor ke polisi, tapi kami tidak tahu gimana kronologisnya kenapa kamu sampai sepetri ini, jadi polisi nunggu kamu sadar untuk dimintai keterangan ini.” Cakra bukanya menolak dengan permintaan perempuan itu, tapi, Cakra yang saat ini sebagai pendatang di daerah ini, Cakra yang jujur saja tidak tahu jalan di daerah ini jelas tidak bisa membantu banyak dengan apa yang diminta oleh Kanaya, lagi pula, Cakra yakin, polisi bisa menyelesaikan masalah ini.
Kanaya terdiam, benar, benar apa yang dikatakan oleh Cakra, mereka di sini pendatang, mereka juga baru pertama kali di sini, ke sini, jadi wajar saja kalau Cakra menolak permintaan Kanaya yang merepotkan ini, Kanaya rupanya tidak bisa berharap banyak, berharap banyak dengan laki-laki itu. “Ya, benar juga sih, yaudah lah.” Kanaya akhirnya berucap, ia juga tidak bisa mengatakan apa pun lagi, apalagi untuk memaksa Cakra menuruti apa yang ia minta, sangat tidak mungkin rasanya.
“Kamu, begini, apa kamu enggak apa-apa lagi, maksudku, lukamu,” ucap Cakra, jujur saja, Cakra mengkhuwatirkan perempuan itu, Kanaya benar-benar membuat kepala Cakra menggeleng dengan hebat, perempuan itu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, tapi permepuan itu masih bisa memikirkan orang lain, sempat-sempatnya, tapi jujur Cakra mengakui kebaikan Kanaya, perempuan, ia membantu sesame perempuan, tidak menjatuhkan perempuan lain untuk menjadi yang terlihat.
Kanaya tersenyum merngis, tidak, ia sedang tidak baik-baik saja, perut perempuan itu merasa nyut-nyutan, Kanaya memegang pingganya, letak di mana peluru itu tadi sore bersarang di sana, letak di mana Kanaya merasa bahwa napasnya sudah tercekak, benar-benar membuat pengalaman baru di hidup Kanaya, sakitnya pun baru pertama kali perempuan itu rasakan. “Enggak sih,” jawab Kanaya, melihat pinggangnya, dan menyentuhnya dengan telapak tangannya, yang menjadi berwarna merah, menembus baju warna biru yang tengah ia gunakan itu.
Ia dan Cakra bertatap pandang, Kanaya tak segan membuka pakaiannya yang berada di pinggangnya itu sedikit, melihat apa yang sudah terjadi hingga pakaian yang ia kenakan berwarna merah, Kanaya yakin lukanya berdarah. Mata perempuan itu akhirnya tidak salah, perasaanya pun tidak salah, lukanya mengeluarkan darah, entah kenapa, tapi, Kanaya merasa ia tidak bergerak dengan banyak, dan hati-hati.
Cakra dengan cepat memanggil dokter, ia tidak mau telrihat panik walau sebenanrya Cakra sungguh merasa kepalanya ingin pecah, melihat keadaan Kanaya yang seperti ini, perempuan itu benar-benar membuat Cakra khuwatir.
“Sus, bisa tambahin dosisnya enggak, ini masih kerasa sakitnya soalnya.” Kanaya berucap, saat suster membantunya membersihkan perbannya, sejak ia sadar, Kanaya memang merasakan tubuhnya tidak nyaman, tubuhnya merasa sakit, tapi ia mencoba menghiraukan itu semua, walau sebenanrya rasa itu tidak reda juga.
Suster itu mengangguk mengiyakan, menyuntikan cairan di infus Kanaya, membiarkannya obat pereda itu mengalir dengan infus yang tertusuk di tangan Kanaya. “Mbak jangan banyak gerak ya, luka bekas opersinya masih basah soalnya, besok Doketr Hilman akan menjelaskan tentang luka ini besok pagi, dan perkiraan kapan bisa sembuh atau keringnya,” ucap suster itu, setelah melihat pinggang Kanaya yang sudah kembali ia perban, perempuan itu kembali berucap. “Apa masih ada lagi Mbak yang perlu dibantu, apa masih sakit?” tanyanya yang mendapatkan gelengan dari Kanaya. “Baik kalau gitu, Mbak istirahat ya, kalau ada apa-apa silahkan panggil saya lagi, saya permisi Mbak.”
Tidak hanya Kanaya yang mengucapkan kalimat terima kasih saat suster itu pamit, tapi juga Arya dan Cakra, dua laki-laki itu menatap Kanaya dengan bengis, kalau Arya sudah sangat paham atasannya itu tidak bisa diam, dan Cakra juga mulai memahami bahwa Kanaya benar-benar perempuan yang keras kepal.
Sentilan di keningnya didapatlkan Kanaya dari Cakra, sang pelaku penyentilan pun sama sekali tak gentar saat menatap perempuan yang sudah menatapnya dengan tajam itu, Aya menarik napanya, Cakra dan Kanaya setelah ini pasti akan berdebat, padahal waktu sudah menjukan pukul tiga pagi, dan mereka rasanya sudah melewati banyak kejadian, Arya sungguh ingin beristirahat, karena ia yakin, nanti, jam delapan pagi, yang berarti lima jam lagi ia akan ke lapangan, mengambil alih semua pekerjaan Kanaya hingga perempuan itu sembuh.
“Baik Ibu Kanaya dan Bapak Cakra, dimohon untuk kembali beristirahat, jujur saya ngantuk dan capek sekali.” Arya berucap, meleburkan suasana mencengkam antara Cakra dan Kanaya. Mohon ma’af sekali kalau Arya terkesan memerintah atasannya itu, tapi, Kanaya juga butuh istirahat, memangnya ada ya orang yang baru saja bangun dari operasi sudah memikirkan orang lain, tidak, rasanya Kanaya sudah sangat kelewat batas pada dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan dirinya juga.
Cakra mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Arya, Kanaya harus berisitirahat, pun dirinya. “Yasudah, saya pamit, saya ke hotel ya.” Cakra berpamitan, tapi, langkah kakinya tertahan saat Kanaya menahan tangannya, Cakra terkesima, perempuan itu sudah melewati batasnya.
Cakra sejujrunya takut, Keral yang jelas-jelas sudah lama bersama dengan Nayla saja bisa terjerat dengan perempuan itu, lalu bagaimana dengan dirinya yang akan bekerja sama dengan perempuan itu, apa ia bisa meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak akan bisa jatuh cinta dengan perempuan itu, dengan perempuan selain Nayla.
Sebagai seorang laki-laki, munafik kalau Cakra tidak memeprhatikan Kanaya, perempuan itu cantik, memiliki aura yang beda dari perempuan-perempuan yang pernah bekerja sama dengan dirinya, karena kejadian ini, dan mendengar kejelasan, atau cerita yang baru saja Kanaya katakan, Cakra juga meyakini bahwa perempuan itu keras kepala dan tangguh, buktinya, ia membantu perempuan lain, pdahal Kanaya bisa saja mencari bantuan dulu saat kemarin kejadian, tidak menyodorkan badan yang kosong tanpa memiliki back up di belakang, entah Kanaya memiliki sifat tangguh, atau bodoh, karena merelakan dirinya dalam bahaya, dan menghasilkan satu luka tembakan di tubuhnya.
“Nanti, aku mau ngobrol lagi, besok ke sini kan?” ucap Kanaya saat tangannya dilepaskan sepihak oleh Cakra.
Laki-laki itu mengangguk, lalu beanr-benar berpamitan dari kamar dan rumah sakit itu.
***
Jam tujuh tiga puluh menit, Cakra kini sudah siap, dengan panggilan ke Jakarta sana, Cakra menghela napas, ini masih jam enam tiga puluh di Jakarta, di tempat Nayla berada, apa perempuan itu masih tidur, hingga ia tidak menjawab panggilan dari dirinya.
Cakra memilih untuk ke rumah sakit, ia menuruti apa yang dikatakan Kanaya tadi malam, sebenanrnya tidak usah diminta pun Cakra akan ke sana, jelas saja, ia tidak mungkin tidak menjenguk Kanaya, ia juga ingin bertanya beberapa hal tentang pekerjaanya dengan Kanaya.
Suara terdengar dari ponselnya, Cakra berharap itu Nayla, walau sebenanrnya sebagian hatinya merasa itu bukan Nayla, Nayla kan saat ini tidak bisa melihat tidak mungkin ia bisa mengirimkan sebuah pesan kepada dirinya.
Kanaya: Nitip bubur boleh?
Kanaya, rupanya pesan itu dari Kanaya, Cakra tidak membalas pesan itu, tapi, laki-laki itu memerintahkan supir yang bertugas untuk mengantar dan menjemputnya untuk mencarikan bubur untuk Kanaya.
Cakra meyakinkan dirinya, apa yang dilakukannya ini benar, tanpa ada perasaan cinta terlibat di dalamnya, ini hanya demi Kanaya sembuh, agar perempuan itu bisa melakukan aktifitasnya lagi, agar perempuan itu bisa bekerja lagi, agar perempuan itu bisa ke Korea bersama dengannya, menemui Elang dan mengajak laki-laki itu pulang ke Indonesia, ya hanya itu.
Jam delapan kurang sepuluh menit, laki-laki itu sudah sampai di depan kamar rawat Kanaya ,seorang Dokter kelaur dari kamar Kanaya, membuat Cakra menghentikan langkah laki-laki berjas putih itu.
“Ibu Kanaya tidak apa-apa lagi, perluru yang bersarang sudah diangkat dari tubuhnya, tapi, Ibu Kanaya haruas benar-benar istirahat total, jangan banyak bergerak, perkiraan dua minggu lagi baru bisa kering luka jahitannya.”
Cakra mengangguk paham, ia juga sempat membaca beberapa artikel di dunia maya, tentang luka tembak, sungguh, selama hanpir tiga puluh tahun ia hidup di dunia ini, Cakra baru kali ini melihat luka tembak itu, benar-benar melihat di depan matanya, sungguh mengerikan, apalagi suaranya, sungguh, berpuluh-puluh kali bahkan beratus kali ia menonton film action, yang penuh dengan suara tembakan, Cakra rasanya tidak membayangkan bahwa di kehidupannya yang nyata ia benar-benar mendengar suara tembakan itu.
“Kalau saya bawa Kanaya ke Jakarta, dia enggak masalah kan Dok, apa perlu pakai jalur khusus?” Cakra bertanya, jelas saja, Kanaya akan segera ia bawa pulang ke Jakarta.
Doktor itu menggeleng, sebenanrnya kalau diperhatikan Kanaya terlihat sangat kuat, bahkan perempuan itu sudah benar-benar sudah bisa duduk, ia hanya merasa sakit katanya, tapi untuk bagian lukanya tidak ada masalah kalau Kanaya naik pesawat jalur umum.
Cakra berucap terima kasih dan menjabat tangan dokter itu, setelahnya laki-laki itu pun membuka kamar rawat Kanaya, memberikan pesanan perempuan itu.
“Tadi pagi, pagi sekali polisi sudah datang,” ucap perempuan itu setelah mengatakan terima kasih bahwa Cakra sudah membelikan pesanannya, Kanaya juga mengangguk, saat Arya dan Nino pamit meminum kopi lebih dahulu, meninggalkan Kanaya dan Cakra di ruangan itu.
“Terus?” Cakra mengambil alih bangku, di samping bangkar Kanaya, laki-laki itu juga membantu menyiapkan meja untuk Kanaya bisa makan dengan nyaman.
“Katanya mereka bakal urus semua, semoga ketemu deh tuh penjahat,” ucap Kanaya. “Oh iya makasih buburnya.”
Cakra hanya mengangguk, karena saat itu ia merasakan ponselnya berdering, menandakan ada yang memanggilnya, tautan kening Cakra terlihat, Nayla, yang menelponnya, tapi tidak hanya melakukan panggilan suara, perempuan itu malah melakukan video call, bukan kah Nayla tidak melihat dirinya, lalu untuk apa Nayla melakukan video call.
“Sayang,” sapa Cakra yang sudah beranjak menjauh dari dirinya membuat Kanaya menoleh, Nayla batinya, pasti itu Nayla yang menelpon Cakra.
Nayla tidak mengarahkan matanya kearah ponselnya, perempuan itu menatap lurus, jeals, jelas itu yang akan Cakra lihat di layar ponselnya.
“Baru bangun?” Tanya Cakra lagi, pembicaraan pagi itu pun berlangsung, Cakra sama sekali tidak merasa bahwa Kanaya akan keberatan kalau dirinya menyapa tunangannya itu sebentar di kamar rawat inapnya.
Benar saja, Kanaya benar-benar dengan tenang memakan buburnya tanpa ada keluhan yang keluar dari mulutnya, walau perempuan itu terdiam seperti itu, sama sekali tidak mengeluarkan kata atau protes tentang Cakra yang tengah bermesraan dengan tunangannya, Kanaya pikir itu hak Cakra, lagi pula saat ini ia tengah tidak beristirahat, jadi ia sama sekali tidak terganggu dengan apa yang Cakra lakukan di ruangannya.
Kanaya menurunkan bibirnya, ekpresi perempuan itu benar-benar sudah terlihat jelas di mata Cakra, Kanaya tidak seperti beberapa hari yang lalu, yang hanya menapilkan wajah yang datar, perempuan itu bisa juga menyalurkan ekpresinya saat ini.
Kanaya menjulurkan tangannya, berniat untuk meraih gelas yang berisi air putih di sebelah bangkarnya, jahitan yang berada di pinggangnya benar-benar membuat perempuan itu susah untuk bergerak secara leluasa.
Cakra yang tengah memfokuskan matanya kearah tunangannya yang berada di layar ponsel itu pun sama sekali tidak melihat dengan apa yang dilakukan oleh Kanaya, hingga suara gelas yang jatuh dan menghaburkan isinya membuat Cakra meletakan ponselnya dengan cepat, menghentikan perbincangannya dengan Nayla, dan menyusl Kanaya sudah menampikan wajah polosnya, sambil meringis perempuan itu meminta ma’af karena sudah membuat Cakra terkejut.
“Kamu enggak apa-apa Kanaya?” suara Cakra yang bertanya kepada seseorang membuat Nayla terdiam saat mendengarnya
Kanaya?
***