"Oke, Liona, sit down, please."
Liona tersenyum pada dosennya dan segera mencari tempat duduk yang masih tersisa. Ia sedikit menghela napas saat tahu tempat duduk tersisa hanya disamping Aga. Sedangkan, Aga yang terus menatapnya membuat gadis itu sedikit kesal mengingat kejadian-kejadian sebelumnya dan akhirnya terpaksa duduk di samping Aga.
"Anak baru ternyata," celetuk Aga.
Liona menatap Aga yang tampak tertawa kecil dengan tajam. Ia tahu Aga bukanlah orang jahat hanya saja tingkah tengilnya saja yang Liona tidak suka. Gadis itu pun tak lagi menghiraukan Aga, ia langsung fokys pada mata kuliah yang harus dikejar setelah pindah dari kampus lama ke kampus baru.
Aga yang sesekali memerhatikan Liona yang tampak serius tanpa sadar tersenyum tipis melihat perempuan di sebelahnya itu. Lelaki remaja itu tidak akan munafik jika Liona memang terbilang cantik.
Woyy sadar! Lo punya Hana b**o! batin Aga mulai menyadarkannya.
Ia pun lantas memalingkan wajah ke arah depan agar tidak lagi memandangi Liona. Namun sial baginya, wajah Liona begitu menarik perhatian. Terlihat jutek, tetapi sangat cantik. Ia pun mencoba mengenyahkan pikirannya dan berfokus pada apa yang disampaikan dosen di depan.
Berbicara tentang Liona, ia merupakan mahasiswi termuda karena bisa berkuliah di usianya yang masih 16 tahun. Karena kecerdasannya, Liona berhasil dua kali mendapatkan program akselerasi dan lulus SMA di usia belia.
******
Artha Group Office ~
Elia tepat berada di depan gedung besar milik Aditya. Menatapnya sekali lagi gedung megah itu dan selalu kagum dengan semua hal tentang Aditya. Ia langkahkan kaki menuju ke dalam kantor itu. Namun, beberapa karyawan tampak terkejut melihat Elia. Ia merasa sedikit heran dengan sikap karyawan kakak iparnya itu. Banyak yang menatapnya lekat dan sesrkali membuat Elia salah tingkah. Akan tetapi perempuan itu tetap melaju ke arah resepsionis untuk menanyakan letak ruangan Aditya.
Ia pun akhirnya sampai di depan resepsionis dan lagi hal sama terjadi, sang resepsionis tampak terkejut dibuatnya. Seolah tidak menyangka bahwa siapa yang dilihatnya adalah adik dari mendiang istri atasannya.
"Mbak, ruangan Pak Aditya di sebelah mana?" tanya Elia.
"Di ...di sana, eh maaf. Maksud saya di lantai sembilan," ucap resepsionis itu gugup karena melihat wanita di depannya itu sangat mirip dengan mendiang istri atasannya.
Elia menganggu dan tampak cuek. Lantas ia terus berjalan ke arah lift dengan hati ceria.
"Bentar deh, itu bukannya istri Pak Adit? Bukannya Bu Anggi udah meninggal? Dan udah 15 tahun lalu kan, tapi kok—"
"Mirip aja mungkin atau saudaranya itu," sahut salah satu karyawan di lobi dasar itu.
"Eh, masa? Tapi bisa mirip banget gitu ya. Aku sampe kaget ...."
Gelak tawa langsung menguar begitu mereka menatap kaki Elia yang menapak, bukan melayang.
"Kaget karena lihat hantu apa enggak gitu, ya?"
"Psst! Jangan kenceng-kenceng dong, entar Pak Adit tau baru tau rasa kamu!"
Kasak kusuk masih terdengar dari para karyawan lama yang masih bekerja di perusahaan itu, apalagi melihat penampilan Elia yang sama persis dengan Anggi. Bedanya Elia lebih berani berpenampilan 'wah' dengan kemampuan make upnya dibanding Anggi yang tidak semencolok itu.
Sementara itu, Elia melangkahkan kakinya menuju lift setelah sang resepsionis memberitahu. Ia tekan tombol lantai sembilan dan menunggunya beberapa detik. Setelah itu sampailah gadis itu di lantai sembilan.
Sebuah lantai dengan beberapa sekat-sekat untuk para manager yang di depannya terdiri dari anggota divisi masing-masing. Ia berjalan dengan percaya diri ke arah ujung yang diyakini bahwa di sanalah ruangan Aditya. Namun terjadi lagi, bahkan sekarang lebih heboh dibandingkan tadi. Karyawan kakaknya bahkan sampai mencegatnya.
"Kamu— kamu Anggi! Tapi, bukannya kamu sudah—" ungkap Bella yang begitu exited melihat kemiripan Elia dengan Anggi. Perempuan itu masih setia di perusahaan Aditya hingga kini menjadi atasan salah satu divisi. Jelas dia sangat mengenal siapa Anggi.
"Maaf, tapi saya bukan Anggi."
"Enggak mungkin. Ini kamu 'kan, Nggi? Ya ampun aku kangen banget sama kamu, Nggi," ungkap Bella dan langsung memeluk Elia.
Elia berusaha melepasnya dan menjelaskan lagi bahwa dia bukan Anggi. Namun Bella tetap tidak percaya, pasalnya ia sahabat Anggi di kantor dan wanita di depannya benar-benar mirip dengan Anggi sampai terlibat sedikit perdebatan diantara mereka.
Mendengar sedikit perdebatan di luar, Aditya yang tengah melihat berkas-berkas kerjanya dengan sang ajudan Marco tampak terusik.
"Marco, kamu lihat di depan itu ada apa. Berisik sekali."
"Baik, Tuan."
Marco pun segera menuju ke depan untuk mengetahui penyebab kebisingan itu. Namun, ketika ia membuka pintu, hal yang sama terjadi, pria itu tercekat di ambang pintu melihat wanita di depannya dengan jarak 100 meter itu benar-benar mirip dengan Anggi. Ia sampai kehabisan kata-kata dan tak mampu berjalan maju untuk meredam kebisingan. Sampai Aditya tersadar akan hal itu dan sedikit kesal karena Marco tak kunjung mampu meredamkan kegaduhan yang terjadi. Ia akhirnya turun tangan sendiri dan berjalan ke arah luar ruangannya.
Ia pun melihat Marco yang mematung di depan ruangannya dan ia arahkan pandangannya mengikuti pandangan Marco. Pandangan itu ternyata berhenti pada sosok Elia yang tengah berdebat dengan Bella. Ia pun menepuk jidatnya melihat Elia begitu berani ke kantornya sendiri. Namun, Aditya justru tertawa tipis melihatnya. Ia langkahkan kakinya melewati Marco dan beberapa karyawan di sana.
"Kenapa sih, Mbak? Mbak ini dari tadi ngenyel mulu! Aku bukan Anggi, Mbak. Aku Elia! Elia! E-L-I-A!
"Enggak, kamu itu Anggi," ujar Bella yang membuat semua karyawan baru menatapnya tidam mengerti.
"Berhenti," ucap Adit tiba -tiba.
Bella yang langsung melihat ke arah Adit hanya bisa tertunduk.
"Mas, kenapa sih karyawan Mas Adit yang satu ini nyebelin banget!" gerutu Elia.
"Marco, kamu kembali ke ruangan saja," titah Aditya kemudian.
Aditya menghela napas dan lantas menarik tangan Elia untuk masuk ke dalam ruangannya. Menggantungkan pertanyaan besar pada beberapa karyawan lamanya yang jelas mengetahui siapa Anggi.
"Elia, kamu ada apa kemari?"
"Ini, aku bawain ini untuk Mas Adit," ucap Elia sambil menunjukkan box makanan yang dibawanya.
"Buat saya?"
"Iyalah, Mas, masa mau buat karyawan Mas yang pada rese itu!"
Adit tertawa kecil mendapati kekesalan Elia. Perempuan itu tidak mengetahui bahwa kakaknya dulu memang bekerja di sini dan otomatis karyawan lama sangat jelas mengetahui Anggi.
"Elia, mereka kaget melihatmu karena kamu tau 'kan?"
"Iya tau aku mirip Mbak Anggi, 'kan? Tapi kenapa sampai segitunya, sih?"
Aditya tersenyum lagi menatap Elia.
"Karena kakakmu dulu bekerja di sini, jadi sekretaris saya sampai saya nikahi dan mereka tau kalau kakakmu meninggal waktu itu. Jadi wajar mereka kaget melihatmu karena kamu benar-benar mirip kakakmu. Sekarang kamu paham kenapa mereka bersikap seperti itu, 'kan?"
"Oh, jadi gitu. Jadi aku salah ya dateng ke kantor ini?"
Aditya kembali tertawa mendengar kesimpulan Elia. "Enggak, Elia. Nggak salah cuman mungkin waktunya belum tepat karena Anggi nggak pernah bercerita bahwa dirinya memiliki adik kandung. Ya udah lupain aja nanti saya akan jelaskan ke mereka. Oh ya kamu duduk aja dulu di situ, ya. Saya mau selesaikan pekerjaan sebentar."
Elia menganggukan kepala dan berjalan menuju sofa di mana Aditya menunjukkannya tadi. Ia pun duduk di sofa itu sambil mengedarkan pandangannya ke sisi ruangan Aditya yang didominasi warna cokelat tua, cream dan putih. Dipadukan dengan meja kayu yang dipernis mengkikat berlapis kaca dan kursi kulit berwarna hitam serta sofa putih. Sangat elegan, Elia tampak sangat nyaman berada di dalamnya.
Elia dapat melihat juga satu sisi di sudut kirinya adalah sebuah ruangan. Ia menebak-nebak dalam hatinya bahwa biasanya jika ada ruangan khusus berarti bisa digunakan untuk beristirahat.
"Mas, itu ruangan apa?" tanya Elia memastikan tebakannya.
Aditya segera mengedarkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Elia.
"Oh, itu kamar pribadi saya di kantor, Elia. Kenapa? Kamu mau berisitirahat di sana? Silakan saja, Elia," ucap Aditya singkat.
"Ah, tidak, Mas. Aku hanya bertanya saja ...."
Aditya hanya tersenyum dan segera melanjutkan memeriksa dokumen yang tinggal sedikit saja akan selesai. Elia melirik kakak iparnya itu, menatapnya yang tampak serius sekali dalam bekerja. Pantas saja kakaknya jatuh cinta pada pria itu, Aditya merupakan tipe pekerja keras serta benar-benar fokus pada pekerjaannya dan satu lagi pria itu masih menghormati siapa pun yang ada di ruang kerjanya meskipun tengah sibuk. Elia semakin mengaguminya, tekad dalam hati begitu kuat untuk mendapatkan hati Aditya.
Beberapa menit kemudian, Elia pun menyandarkam tubuhnya di sofa empuk itu. Ia begitu sangat nyaman berada di sana sampai tanpa terasa ia menjadi ketiduran.
"Elia, kamu tadi bawa apa?" tanya Aditya dengan memegang dokumen yang ia akan tanda tangani setelah ia baca keseluruhannya.
Merasa tak ada jawaban, ia menengok ke arah Elia dan mendapati perempuan itu tengah tertidur dengan posisi duduk dan tubuhnya bersandar di sofa. Adit tersenyum melihatnya. Ia pun meletakkan dokumen setelah menandatanginya.
Ia langkahkan kaki menuju ke arah sofa di mana Elia tertidur. Ia baringkan tubuh itu di sofanya dan Elia sama sekali tidak terbangun.
Raut wajah polos itu membuat Aditya tercekat untuk beberapa detik. Bayangan sosok Anggi kembali membuat halusinasi.
"Anggi," gumam Adit.
Ia mengusap lembut wajah Elia tanpa ia sadari. Pikiran Aditya mulai terpengaruh oleh kerinduan terhadap istrinya. Melihat Elia saat ini, dirinya seolah-olah melihat wujud sang istri tengah ada di depannya dengan nyata. Namun tangannya tercekat saat ingatan itu kembali pada saat terakhir melihat wajah istrinya. Kepergian Anggi itu seolah muncul kembali dalam ingatannya. Ia segera menarik tangannya dari wajah Elia, menelungkupkannya ke wajahnya dan tampak sedikit frustasi.
Dia bukan anggi, Dit. Sadar, Dit. Kamu tidak bisa begini terus. Kamu harus bisa keluar dari bayangan Anggi, batin Adit.
"Kenapa kamu sangat mirip sekali dengannya, Elia," lirih Adit sambil melihat wajah itu kembali.
Ia pun segera bangkit dari sofa itu dan berjalan menuju ke arah kursi kebesarannya. Ia dudukan dirinya di kursinya dan mengambil putung rokok lantas menyalakannya. Ia termenung sejenak. Pikiran tentang Anggi tak mampu hilang begitu saja dalam benak. Sampai saat ini pun, 15 tahun berlalu, ia masih saja tak mampu menghilangkan sosok Anggi di hatinya. Ia masih merasa Anggi tetap hidup dan tidak membiarkan dirinya bersama yang lain. Pasalnya sampai saat ini pun Aditya tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun lagi meskipun banyak yang mengharapkannya.