Selang beberapa menit kemudian, perempuan itu menyudahi santapannya. Tidak bisa ia menghabiskan seluruhnya jika satu porsi saja menurut perempuan itu sudah sangat banyak. Ia pun melirik pada sosok pria yang masih sibuk dengan ponsel canggihnya itu. Satu bentuk kagum kini dirasakan perempuan tersebut.
"Kok enggak dihabisin?" tanya Aditya tiba-tiba setelah fokusnya kembali pada sang perempuan.
"Eh, ini ... kebanyakan, Mas. Nanti saya makan lagi," ujar perempuan itu sedikit terkejut karena Aditya tiba-tiba menatapnya.
"Rumahmu di mana? " tanya Aditya lagi.
Perempuan itu terdiam karena masih sedikit canggung bisa satu mobil dengan Aditya. Masih ada perasaan was-was, tetapi juga mudah hilang kala mendapati sikap lembut sang pria.
"Di pinggiran kota, Mas. Emmm ... Mas Adit, turunin saya di sini saja. Biar saya cari angkutan umum aja," ujar perempuan itu dengan sedikit tak enak hati.
"Loh, jangan. Saya berjanji mengantarmu pulang bukan? Oh iya siapa namamu?" Lagi. Aditya masih belum mempercayai bahwa apa yang dilihat bukanlah sosok Anggi walaupun paras perempuan itu sama.
"Elia, Mas," jawab perempuan itu singkat.
Jelas! Jelas sudah bukan Anggi yang ada di depannya. Anggi benar-benar sudah tiada. Wanita di sampingnya ini sudah dipastikan bukan sosok sang istri. Ia menghela napas perlahan dan harus sadar bahwa Anggi benar-benar sudah meninggalkan dirinya. Ia tidak boleh lagi merasa terobsesi akan suatu hal, karena ia sudah berjuang melewati psikis yang diombang-ambing karena kepergian Anggi. Ia harus belajar untuk menerima segala kenyataan.
"Di rumah tinggal sama siapa?"
"Sama Ibu aja, Mas."
"Ah begitu, ya udah kamu tunggu sini dulu. Saya belikan makanan sekalian untuk Ibu kamu nanti."
Aditya pun lantas turun sebelum mendengarkan bantahan dari Elia yang berniat mencegahnya. Perempuan itu semakin tak enak hati, tetapi di sisi lain kagum akan kebaikan Aditya. Hingga beberapa menit berlalu, Aditya kembali ke dalam mobil dengan membawa beberapa makanan.
"Ini untuk kamu dan Ibu kamu nanti di rumah. Ambil aja," ujar Aditya sembari menyerahkan satu kantong plastik besar pada Elia.
"Mas, kenapa banyak banget. Ini sih bisa buat tetangga juga, Mas," ujar Elia yang masih menatap beberapa makanan dalam kantong plastik itu.
Aditya hanya tersenyum mendapati celotehan perempuan itu tanpa berniat menanggapi. Setelahnya, ia melajukan mobil menuju ke alamat di mana rumah Elia berada.
^^^^
Tiga puluh menit berlalu, Aditya tepat berada di sebuah pemukiman yang padat penduduk. Ia menyapu seluruh area tempat itu. Sangat berbeda jauh dengan tempat tinggal dirinya. Area perkampungan itu justru ramai oleh beberapa anak kecil yang tengah asik bermain ke sana-kemari. Gang-gang sempit menawarkan hal yang jarang Aditya lihat, jelas sangat kontras bahkan dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Mungkin itu juga salah satu yang membuat beberapa tetangga rumah menatap ke arahnya. Dia tidak sepercaya diri itu, tetapi itu yang ia lihat sebenarnya, hingga Aditya berhenti melangkah kala Elia menghentikan langkahnya.
Ia tatap sebuah rumah kecil sederhana tepat di depan mata. Tidak terlalu luas bahkan tidak memiliki halaman. Pintunya terbuka, tetapi suasana masih sepi. Aditya lantas melirik ke Elia yang tampak senang telah sampai di rumahnya. Hal yang membuat Aditya turut melesungkan senyum karena perempuan itu terlihat sangat bersyukur dengan kondisinya daripada harus terjerumus dunia gelap.
"Mas, terima kasih banyak atas bantuannya ... saya enggak tau harus berterima kasih secara bagaimana. Emmm, uang yang Mas Adit beri untuk bodyguard mami nanti saya akan ganti. Saya cari pekerjaan dulu, nanti saya cicil, ya. Saya minta kartu nama Mas saja biar nanti saya bisa hubungi kalau saya akan membayar."
Aditya menggeleng samar. "Tidak perlu. Kamu tidak perlu membayarnya. Saya hanya ingin membantumu lepas dari mereka. Carilah pekerjaan yang lebih baik setelah ini. "
Elia pun tersenyum dengan lepas. Ia tahu Aditya adalah orang baik dan baru kali ini ia bertemu dengan seseorang seperti Aditya. Orang kaya yang tidak memanfaatkan kelemahan kaum kecil. Bahkan pria itu rela berjalan kaki dari depan gang untuk mengetahui rumahnya.
"Eliaaaa!" teriak seorang wanita dari dalam rumah.
"Ibuuuu ...."
Elia langsung berlari ke dalam rumah itu. Ia peluk erat ibunya karena rindu yang begitu dalam dirasakan. Selama ini, hanya sang ibu yang ada di pikiran Elia. Ancaman demi ancaman yang menghantuinya selama bekerja di kelab berbalut prostitusi itu, selalu tertuju pada sang Ibu. Hanya karena sang ibu yang dimiliki di dunia ini, Elia rela merendahakan dirinya di depan semua p****************g dan mengikuti semua aturan mucikari.
"Akhirnya kamu pulang, Nak. Ibu benar-benar takut kehilangan Elia. Elia baik - baik saja?" tanya sang ibu yang mengusap rambut anaknya.
"Elia baik-baik saja, Bu. Elia berhasil lari dari tempat Mami Anne. Ibu maafin Elia ya, Bu."
"Enggak, Nak. Ibu yang minta maaf. Maafkan ibu yang memiliki hutang banyak dan akhirnya kamu dibawa sama Anne."
"Enggak kenapa-kenapa, Bu. Elia beneran enggak kenapa-kenapa, kok. Asal Ibu baik-baik dan sehat-sehat aja. Oh iya, Bu. Emm, ada seseorang yang membut Elia bisa keluar dari kejaran bodyguard Mami. Itu orangnya," ucap Elia sambil melayangkan pandangannya ke Aditya.
"Siapa itu, Nak?" tanya sang ibu yang menyipitkan pandangannya pada sosok pria yang tengah berdiri tak jauh darinya.
Elia lantas memanggil Aditya untuk ia kenalkan pada sang ibu. Aditya pun melangkahkan kakinya ke arah wanita itu.
"Ini, Bu. Mas ini yang nyelametin Elia. Namanya Aditya."
Sang Ibu dengan tiba-tiba langsung memegang tangan Aditya. Ia sangat berterima kasih pada Aditya yang telah membebaskan anaknya dari belenggu dunia malam itu.
"Terima kasih, Nak Aditya. Ibu sangat berhutang budi pada Nak Aditya. Elia adalah harta ibu satu-satunya setelah kakaknya hilang entah ke mana. Terima kasih banyak atas kemurahan hati Nak Aditya."
Aditya hanya tersenyum dan sedikit tak enak hati dengan sikap Ibu Elia. Seharusnya perempuan di depannya tak perlu seperti itu karena Aditya benar-benar berniat membantu. Aditya juga tidak sengaja bertemu Elia, harusnya sang ibu tidak berlebihan.
"Sama-sama, Bu. Saya hanya membantu Elia saja."
"Nak Adit, ayo duduk dulu. Ibu buatkan minum, ya ... ayo," ujarnya antusias.
Aditya pun ingin menolaknya karena ia teringat Aga, tetapi perempuan itu memaksa dan mau tidak mau Aditya pun mengiyakannya saja. Ia duduk di kursi sofa yang sedikit usang, dengan tatanan rumah yang sangat sederhana dan perabotan yang tak terlalu banyak. Hanya ada almari besar yang terlihat membuat rumah terisi penuh. Ia mengedarkan pandangannya menyusuri seluk beluk rumah Elia dan pandangan itu tercekat saat menemukan sebuah foto berukuran 10R terpajang manis di sebuah meja dekat vas bunga.
Aditya memandangnya nanar, ia lantas berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah foto itu. Menatapnya seolah menepiskan segala hal yang ada di sekitar. Jantungnya mulai berdegup kencang, mata itu bahkan tak lepas dari satu buah foto hingga langkahnya berhenti tepat di depan meja itu. Ia ambil foto itu dan senyum getir mulai menguasai. Ada rasa sesak tak terbendung saat menatapnya.
A—Anggi ...., batin Aditya.
Ia mengusap foto itu perlahan, bahkan tak akan pernah ada habisnya ia merindukan mendiang istrinya itu.
"Itu foto anak ibu yang pertama. Namanya Anggi tapi entah sekarang dia di mana. Sejak kejadian banjir bandang ibu sudah enggak tau Anggi di mana. Apakah anak ibu masih hidup atau sudah tidak ada. Ibu enggak nemuin informasinya," ucap Ibu Elia sedih secara tiba-tiba sembari meletakkan secangkir minuman di meja kaca depan sofa.
Ucapan itu sontak membuat Aditya terpaku membisu. Ia meneguk air liurnya sendiri bahkan tak mampu mengucapkan apa pun lagi. Bibirnya tiba-tiba bungkam dan genangan air mata mulai sedikit demi sedikit membasahi pelupuknya. Semua ini sangat kebetulan baginya. Ia lantas menoleh ke arah wanita paruh baya itu. Masih terasa kelu bibir untuk berucap, tetapi Aditya ingin memastikan.
"Bu ... apa nama anak Ibu itu Anggi Putri Salsabilla?" tanya Aditya meyakinkan bahwa Anggi yang disebutkan sang ibu sama dengan Anggi miliknya.
Sang ibu cukup terkejut saat Aditya menyebutkan nama putrinya itu. Perempuan paruh baya itu bahkan menatap Aditya lamat-lamat.
"Nak Adit tau darimana nama anak Ibu? Nak Adit bertemu Anggi? Iya? Di mana sekarang dia, Nak?"
Sebuah kebenaran yang mulai terungkap.
Kenyataan di depannya lantas membuat tubuh Aditya langsung lemas, rasanya kakinya bahkan sulit untuk berpijak hingga ia menyadarkan tangannya ke pinggiran meja di depannya. Ia benar-benar tak menyangka 15 tahun berlalu pasca meninggalnya Anggi, seseorang yang dirindukan Anggi tepat di hadapan dirinya. Ibunya belum meninggal dan terlihat cukup sehat.
Sang ibu yang melihat Aditya sedikit terhuyung lantas secepat mungkin menghampiri pria itu.
"Nak Aditya kenapa? Nak Aditya sakit? Ayo duduk dulu, Nak," ujar sang Ibu dengan lembut.
Aditya kembali menatap sang Ibu tidak percaya.
"Bu—bukannya Ibu terseret banjir bandang? Ma—maaf Bu, saya lancang bertanya seperti ini," ucap Aditya terbata-bata.
"Iya benar. Kejadiannya sudah sangat lama. Keluarga kami terkena musibah banjir bandang, Anggi dan ibu terpisah. Beruntungnya Ibu masih diberi kesempatan hidup dengan Elia tapi ayahnya enggak. Ayahnya sudah pergi meninggalkan kita semua dan sejak itu Ibu kehilangan Anggi, anak ibu yang pertama. Ibu sudah mencarinya ke mana pun tapi Ibu enggak pernah dapat kabarnya. Ibu pikir Anggi sudah meninggal tapi Nak Aditya ... apa Nak Aditya kenal dengan Anggi?"
Aditya termenung dengan perasaan kembali tak menentu. Ia mencoba menggunakan logikanya untuk mencerna informasi tentang semuanya. Bahkan ia menatap sang ibu lamat-lamat memastikan bahwa ia tak bermimpi.
"Saya ... saya suaminya Anggi, Bu," cetusnya.
"Apa? Anggi sudah menikah? Dia masih hidup? Syukurlah, Nak. Di mana Anggi? Ibu rindu sekali dengan Anggi. Bisa Ibu ketemu?" tanyanya antusias berharap jawabannya sesuai dengan apa yang ia pikirkan.
Aditya sontak tercekat, ia tak mampu memberitahu wanita di depannya ini bahwa anaknya telah meninggal. Ia berusaha mengatur emosi dalam dirinya, mau tidak mau, suka atau tidak suka ibu Anggi harus tau kebenarannya.
"Maafkan saya, Bu. Maafkan saya, maaf saya enggak bisa jaga Anggi untuk Ibu. Anggi ... Anggi sudah meninggal 15 tahun yang lalu," ucap Aditya berat.
"APA?!"
Kenyataan itu membuat tubuh wanita itu tiba-tiba limbung dan beruntung Aditya segera menangkapnya dengan sigap.
"Bu, Ibu! Bangun, Bu ...," ucap Aditya.
Elia yang baru saja datang dari dalam ruang keluarganya sontak terkejut saat mengetahui ibunya pingsan.
"Ibuuu! Ibu kenapa?" tanya Elia panik.
"Elia bantu saya. Saya bawa Ibu ke kamarnya, kamu ambilkan minyak angin atau sejenisnya ya ...."
Elia menganggukan kepalanya cepat dan ia segera berlari menuju ke kotak obat untuk mencarinya. Sedangkan Aditya berusaha menggendong Ibu Elia dan merebahkannya di tempat tidur.
"Bu, Ibu! Sadar, Bu," ucap Aditya sembari menepuk pipi perempuan paruh baya itu.
Hatinya kembali kalut dan merasa bersalah melihat perempuan paruh baya itu kehilangan kesadaran. Rasa cemas hadir dalam benak AdityA. Hingga, beberapa saat kemudian, Ibu Elia pun tersadar dari pingsannya. Ia lantas menangis tak terkontrol dan memanggil nama anaknya itu. Hati Aditya terasa teriris kembali seolah pertahanannya selama 15 tahun ini hilang sudah. Ia lantas berlutut di depan Ibu Elia.
"Ibu, maafkan saya. Saya gagal menjaga anak Ibu. Kalau Ibu ingin menghukum saya, memarahi saya, memukul saya, silakan, Bu. Saya menyesal tidak bisa menjaga anak ibu," lirihnya menyesal.
Lagi dan lagi Aditya berada di titik terendahnya saat mengingat mendiang istrinya itu. Sedangkan sang Ibu masih terdiam dengan air mata yang tetap terus menetes. Perempuan paruh baya itu benar-benar terkejut saat mendapati kenyataan bahwa ia benar-benar tidak bisa lagi memeluk putrinya setelah kejadian memilukan itu. Ia pun menatap Aditya yang masih tertunduk penuh penyesalan hingga tangannya tergerak untuk mengusap wajah pria yang setidaknya sudah menjaga anaknya dan itu berarti pria di depannya adalah anaknya juga.
"Sudahlah, Nak. Ibu enggak kenapa-kenapa. Ibu hanya kaget saja. Ibu sangat rindu dengan Anggi ... tapi mendengar Anggi sudah enggak ada, Ibu sedih. Maafin sikap ibu ya, Nak. Terima kasih kamu sudah jaga Anggi dengan benar. Ibu senang Anggi mendapatkan suami seperti Nak Adit."
"Saya minta maaf sekali lagi, Bu. Saya janji , saya akan bahagiakan Ibu seperti Ibu saya sendiri, saya sangat mencintai anak Ibu."
Ibu Elia pun menggangguk dan tersenyum tipis. Di sisi lain Elia telah mendengar semuanya dari samping kamar itu. Ternyata pria yang menolongnya adalah suami dari kakaknya. Ia bahkan sempat berpikir kakaknya telah hidup bahagia, hidup enak, dan memiliki suami yang baik dan kaya. Ia sedikit kesal mengingat hidupnya selama ini. Ia bahkan menggadaikan kehormatannya demi hutang untuk membayar biaya hidup selama ini. Ia mengepalkan tangannya merasa tak adil dengan kehidupannya.
"Bu, Ibu sudah sadar?" tanya Elia yang berpura-pura khawatir akan kondisi ibunya.
"Nak, ternyata ini suami kakakmu. Berarti dia kakak iparmu."
Elia tersenyum palsu di depan ibunya. Ia lantas menatap mata Aditya yang tersenyum padanya.
"Saya janji akan membahagiakanmu dan Ibu," ucap Aditya sambil mengusap kepala adik Anggi.
Elia benar - benar mirip dengan mendiang istrinya, melihat sosok perempuan muda itu, ia merasa melihat Anggi di dalam diri Elia. Namun berbeda dengan pikiran Elia yang akan berusaha mendapatkan Aditya secara penuh, ia tak peduli jarak usia diantara mereka. Namun, yang ia ketahui hidupnya akan di utamakan jika ia mampu menarik perhatian Aditya.
Persepsi baik itu menghilang seketika sejak ia tahu siapa Aditya dalam kehidupannya. Ia tidak peduli dengan balas budi kebaikan sang kakak ipar, yang ia pikirkan hanyalah kehidupannya bisa makmur tanpa harus bekerja susah-susah.