BAB 9

1926 Words
Suara bunyi ponsel Aditya berdering dengan cukup keras. Ia yang sedari tadi di rumah tanpa melakukan apa pun—sebab masih memikirkan sang anak—lantas langsung menyabet ponsel itu. Pria yang tengah duduk santai itu mengenryitkan alis mendapati nama Kevin di layar ponselnya. "Hallo, Vin. Ada apa?" "Lo di mana? Di kantor, rumah atau restoran?" tanya Kevin bertubi-tubi. Aditya semakin mengerutkan dahinya. Nada terburu-buru sang sahabat membuat Aditya menjadi penasaran. "Di rumah, Vin. Kenapa sih lo?" "Oke. Gue ke sana sekarang, jangan ke mana-mana lo." "Oke." Aditya lantas mengakhiri panggilan dari Kevin. Entah kenapa sahabatnya itu terlihat sangat panik. Namun, ia mengedikan bahu mencoba menepis segala rasa penasaran dan kembali bersandar pada kursi santai. Sesekali memijit pangkal hidung, yang terasa menyakitkan karena memikirkan masalah yang kembali muncul setelah hidupnya damai selama 15 tahun ke belakang. Beberapa saat kemudian ~ Suara bel berbunyi tepat di kediaman Aditya. Bisa saja Kevin langsung masuk tanpa mebgidahkan tata krama dan sopan santun bertamu. Namun, pria itu masih bisa berpikir waras dan tidak terburu-buru, walau memang apa yang ingin disampaikan penting menurutnya. "Din, bukain pintu, bilang saya di belakang, ya," perintah Aditya yang tak sengaja bertemu dengan sang pembantu di dapur. "Baik, Tuan." Pembantu Aditya pun segera menuju ke pintu untuk membukakan pintu itu. Sedangkan Aditya kembali merebahkan diri di kursi santainya. "Tuan Kevin, itu Tuan Aditya ada di belakang, silakan ke belakang saja, Tuan," ucap Dini sesaat setelah membuka pintu. Kevin pun menganggukan kepala cepat dan setengah berlari menuju ke arah belakang rumah Aditya. Ia lihat sahabatnya itu tengah merebahkan diri di kursi santainya sembari memejamkan mata. "Ck, malah tidur. Dit, Adit! Bangunn!" Guncang Kevin pada tubuh Aditya. "Apaan sih, lo?!" "Gue ketemu Dimas!" cetus Kevin. Aditya hanya meliriknya sejenak, memikirkan ucapan Kevin sesaat dan kembali memejamkan mata. "Woy! Gue didengerin apa enggak ini?" Kini, Aditya yang mendecak kesal. Mau tidak mau, pria itu terduduk. "Terus gue harus apa?" tanyanya santai. "Lo beneran enggak mau lanjutin perkaranya? Dimas ada di Jakarta sekarang. Kalo lo oke gue yang bakal cari tau di mana tempat tinggalnya." Aditya mendengus kesal. Masih saja sang sahabat mencoba untuk membujuk dirinya agar menjebloskan Dimas dalam penjara. "Untuk apa, Vin? Bikin capek doang enggak ada hasil apa-apa. Intinya percuma mau gue bunuh balik dia pun yang ada gue yang nanggung dosa lagi." Mendengar ucapan retoris Aditya membuat Kevin menepuk jidatnya. Ia yang selalu berapi-api ingin memberi pelajaran pada Dimas, tetapi justru Aditya selalu bertingkah sesantai itu. "Astaga, Dit! Lo udah apatis sama istri lo? Dia meninggal gara-gara Dimas dan dia harus bertanggung jawab atas semuanya," ujar Kevin penuh semangat membara. "Kita bukan lagi ABG yang apa-apa dendam harus dibalas. Sekarang gue juga mikir untuk apa semuanya itu? Apa dengan gue cari Dimas, Anggi gue bakal hidup lagi? Enggak 'kan, Vin? Anggi enggak bakal bisa balik lagi ... sampai kapan pun!" tandas Aditya, berharap Kevin sama sepertinya, menyerahkan saja semua perbuatan Dimas pada sang pencipta. Kevin menghela napas dengan kasar, percuma batinnya. Namun, setidaknya ia sudah mengatakan bahwa Dimas berada di dekat mereka. Apabila Aditya ingin membalas sendiri, itu terserah Aditya. Di sudut lain, Aga yang sedari tadi sampai di rumah tanpa tersadari oleh Aditya dan Kevin telah mendengar semua obrolan mereka berdua. Ia lantas mengepalkan tangan, rasa amarah menjalari seluruh benak. Ia tidak menyangka bahwa sang ibu meninggal karena seseorang yang telah membuatnya tiada dan tidak menyangka bahwa papanya mundur dari perkara yang jelas- jelas butuh pertanggung jawaban. Ia langsung teringat akan berkas di laci Aditya yang sempat terlihat dulu dan mulai menghubungkan memori ingatannya dengan obrolan Aditya dan Kevin saat ini. "Jadi semua bener?" Sontak Aditya langsung terbangun dari kursi santainya dan menoleh ke arah pintu pembatas halaman belakang rumah dan ruang utama. Begitupun Kevin yang sangat terkejut dengan kedatangan Aga yang mendadak dan tidak ada tanda apa pun. Seketika Kevin langsung terdiam dan melirik ke arah Aditya. "Kebohongan pasti terungkap, Pa. Dan Papa enggak bisa mengelak lagi kali ini sama Aga," cetus lelaki remaja itu. "Aga tunggu! Ini semua tidak benar! Apa ... apa yang kamu dengar itu hanya ...." Aga mulai terpancing emosi, ia lantas menuju ke arah sang ayah dan menatap mata Aditya dengan tajam. "Enggak bener? Papa munafik! Pembohong besar! Mau sampai kapan Papa berusaha menyembunyikan semuanya sama Aga? Aga tau sekarang, Mama enggak penting buat Papa ... dan satu lagi, Aga rasa Papa juga enggak berusaha menyelamatkan Mama waktu itu." DEG. Pernyataan Aga membuat Aditya bungkam. Menampar seluruh kenyataan yang ada. Di dorongnya tubuh Adit hingga hampir saja terjatuh andai Kevin tak mengimbanginya. Ia tertegun melihat sisi lain anak kandungnya itu. Aga tidak pernah seberani ini dan selalu menghormati dirinya sebagai seorang ayah. Namun, hari ini, Aga sama sekali tidak menghargai Aditya sebagai orang tuanya sendiri. "Dia bener. Gue yang enggak ada usaha buat ,"nyelametin Anggi," ungkap Aditya lirih. Ia langsung terduduk, menelungkupkan kedua tangannya di wajahnya. Ucapan snag anak benar-benwr menghantam seluruh kenyataan bahwa memang dirinya tidak pernah bisa menjaga sang istri dari bahaya yanh mengancam. "Dit, udah, Aga sudah waktunya tau semua kronologinya, dia hanya salah paham, Dit. Lo harus jujur sama anak lo sendiri." Adit menghela napas dan mengatur sedemikian rupa emosinya agar tidak meluap. Rasa bersalah itu kembali mem bebani pikiran. "Andai Aga ngerti, gue cuman takut dia kayak gue yang hidupnya enggak tenang karena dendam yang gue pelihara sendiri. Gue pengen dia jalani hidupnya normal, Vin. Kayak anak-anak yang lain. Tapi gue jg enggak mungkin tutupin semuanya kalo memang benar ibunya meninggal karena masalah itu..." "Lo pasti tau apa yang terbaik untuk Aga. Lo orang tuanya dan dia anak lo, dia pasti ngerti asal lo bisa jelasin baik-baik sama dia, Dit. Aditya menganggukan kepala, lantas melirik ke kamar Aga. Ia membiarkan anaknya sejenak untuk menyendiri. Berbicara padanya ketika emosi sama saja dengan bohong. Di sisi lain, Aga menatap cermin di depannya setelah membanting pintu kamar dengan keras. Lo dibohongi sama orang tua lo sendiri! b**o! batin aga sambil terus menatap cermin. Ia tidak menyangka papanya benar- benar menyembunyikan perihal ini selama bertahun-tahun. Ia tidak ingin membuat ibunya terluka karena sikap kurang ajarnya pada sang ayah, hanya saja kejahatan harus berakhir dengan hukuman yang setimpal. Kasus pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan seseorang bernama Dimas yang didengar Aga harus dituntaskan. "Gue bakalan cari siapa lo! Dimas!!" ungkap Aga geram. Tatapan tajam kembali ia tunjukkan , dengan senyum di sudut bibirnya ia bertekad untuk membalas semua orang yang membuat ibunya menderita. ^^^^ Selang beberapa jam kemudian, tepatnya malam telah menyapa. Suara ketukan pintu terdengar menggelitik indra pendengaran Aga. "Aga, boleh Papa bicara?" tanya Aditya dari luar. Aga menghela napas perlahan. "Masuk aja," ucap Aga kemudian. Aditya pun membuka pintu kamar sang anak, di mana pria itu mendapati Aga dengan gitarnya di teras balkon. "Ada apa? Katakan," ucap Aga ketus, bahkan lelaki itu tidak memerhatikan Aditya. "Kamu bahkan enggak mau melihat Papa sekarang? Papa akan jelaskan semuanya, Aga. Tapi bisakah kita bicara baik-baik?" Rasa kesal yang masih tercipta seakan memupus seiring sang ayah menawarkan hal yang memamg ingin ia dengar. Aga pun terduduk dengan benar dan menaruh gitar di sisinya. Lelaki remaja itu menatap sang ayah dengan datar. "Kalau Papa masih berusaha menyembunyikan apa pun, lebih baik jangan bicara dan keluar dari kamar Aga." Aditya emnghela napas, berusaha lebih bersabar terhadap sang putera semata wayangnya. "Papa bakalan jelasin semuanya, Aga, sedetail yang kamu mau denger, biar kamu memahami posisi Papa. Kamu bakalan tau kenapa Papa selama ini tidak ingin kamu tau yang sebenarnya." Aga pun duduk menghadap Aditya dan menunggu sang ayah berbicara. "Apa yang kamu dengar tadi siang itu benar. Dimas Anggada, nama itu adalah seseorang yang terakhir bersama mamamu sebelum mamamu meninggal." Aditya menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Kalimat setelah ini otonatis emmhuka kenangan buruk yang harusnya sudah ia lupakan. Ada rasa sesak dalam d**a yang muncul. "Lima belas tahun lalu rumah kita kerampokan dan itu kawanan dia, Ga. Mamamu adalah targetnya ... Dimas mencintai istri Papa dan dia tidak rela mamamu menikahi Papa. Kalau kamu masih ingat, pembantu rumah kita yang usianya sudah tua, yang selalu menimangmu dulu, beliau rela ditembak dan tewas di tempat oleh Dimas ... hanya untuk mencegah agar mamamu tidak diculik. Semuanya kacau waktu itu, Aga. Kamu mungkin waktu itu masih tidak mengerti apa pun." Aditya kembali mengembuskan napas saat dadanya semakin terasa sesak. Air mata menggantung di pelupuk, tetapi ia berusaha menahan laju bulir air itu. Sedangkan, Aga mencoba membuka kembali ingatannya. Namun ia hanya mengingat sedikit saja kejadian itu dan yang lelaki itu ingat adalah sosok sang ayah yang lebih baik terdiam. Jarang menghabiskan waktu dengannya, bahkan sekedar untuk makan. "Mamamu meninggal karena ... Dimas melakukan pelecehan seksual. Saat itu mamamu sedang mengandung calon adikmu. Papa enggak tau apa yang dilakukan Dimas sampai mamamu harus mengalami pendarahan hebat dan calon adikmu tidak bisa diselamatkan." Ada suara debas yang terdnegar Aga dari sang ayah. Diliriknya pria yang masih menatap langit gelap malam itu. Aga kini mengerti, rasa sakit yang dirasakan sang ayah juga ia rasakan. Mendengar semua penuturan Aditya membuat Aga menitikkan air mata. Sekeji itu sosok Dimas pada ibunya. "Dan ... mamamu, uga menyusul adikmu setelah itu. maaf, Nak, Papa bener-bener enggak mampu mencegah semua itu. Tuhan lebih sayang sama mamamu dan mungkin enggak ngebiarin mamamu menanggung apa pun lagi berkaitan dengan masalah Papa. Papa minta maaf." Aditya mencoba mengatur emosinya saat kembali menceritakan kejadian yang sebenarnya pada samg anak. Ia sesekali memijit pangkal hidung hanya untuk menahan air mata setiap kali mengingat hal itu. Aditya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Sekali lagi, Aga menatap tak percaya, selama ini sang ayah terbilang cukup dingin pada siapa pun. Beranjak remaja ia lihat Asitya sama sekali jarang sekali tersenyum apalagi sampai mencurahkan perasaannya dan hampir menangis seperti yang ia lihat saat ini. Aga sedikit membatin betapa sang ayah ternyata mencintai mamanya. Namun, keinginan hati masih tidak ingin langsung mempercayai begitu saja. Ia harus mendapatkan informasi lebih tentang semuanya. "Terus kenapa Papa enggak meneruskan perkara? Dia harus dihukum kerena telah menghilangkan nyawa seseorang bukan?" Aditya mengangguk, membenarkan ucapan sang anak. Ia menatap sang buah hati dam tersenyum sebwlum pandangannya kembali menatap langit-langit malam. "Bukan, Papa tidak berusaha menyelamatkan mamamu, bukan papa tidak mau perkara ini berlanjut. Tapi, Aga, untuk apa semua itu? Mamamu enggak akan pernah bisa kembali bersama kita. Sekarang tujuannya untuk apa, Nak? Mamamu enggak bisa hidup lagi 'kan kalau dia dipenjara seumur hidup pun?" Aga masih terdiam tak bisa berkutik. Apa yang dikatakan sang ayah ada benarnya. Seketika ia menyalahkan waktu dan pria bernama Dimas itu. "Papa capek berurusan dengan dendam tak berujung. Papa hanya ingin membesarkan kamu menjadi orang yang bisa membanggakan, menjadi anak yang bisa Papa harapkan ke depannya karena kamu satu- satunya harapan dan satu-satunya kekuatan Papa. Andai kamu tidak ada, Papa tidak mungkin hidup sampai sekarang sejak kepergian mamamu, Nak. "Jadi Papa mohon, Nak, cukup kamu tau alasan kematian mamamu dan jangan pernah lagi ungkit masalah ini. Papa sudah berjuang keras selama 15 tahun bertahan untuk kamu. Kamu yang membuat Papa tegar, kamu yang membuat dunia Papa berwarna meskipun tanpa mamamu. Papa harap kamu tidak menaruh dendam dalam hatimu untuk dia," lanjit Aditya memperingatkan. Aditya pun lantas melanjutkan menceritakan duduk persoalan yang tak akan pernah ada habisnya di hadapan anak semata wayangnya itu. Kisah masa lalu sang ayah membuat Aga terdiam. Lelaki remaja itu tidak mau diam saja mendapati ibunya telah disakiti sedemikian rupa oleh seseorang yang bernama Dimas. Ia bahkan melihat papanya dengan pandangan nanar, terbentuk raut wajah sedih yang teramat mendalam. Aga baru mengetahui bahwa sang. ayah juga sangat kehilangan sosok ibunya. Ia semakin bertekad untuk mencari sosok Dimas dan meminta semua pertanggung jawaban atas kehancuran keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD