Lagi dan lagi, suara alarm yang memekikan telinga cukup membuat Aga terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia langsung melirik jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Sontak ia terbelalak dan langsung terbangun, berlari ke arah kamar mandi sambil menyabet handuk yang ada di kursi kamar sekenanya.
"Mampus!" gerutu Aga.
Lelaki itu pun dengan cepat berlari ke arah kamar mandi dan membersihkan dirinya, hingga sebuah nada dering memekikkan indra pendengarannya.
"Siiaal! Siapa pagi-pagi nelepon, sih?!" gerutu Aga lagi.
Ia mencoba mengabaikannya, tetapi ponsel canggih itu tetap saja berbunyi dan penelepon semakin intens menghubunhi. Aga lantas keluar kamar mandi dengan tubuh polosnya mengambil ponsel di meja nakas, beruntung jarak dari kamar mandi tidak terlalu jauh. Ternyata panggilan video call dari Hana—kekasihnya.
"Eh, hai, Honey. Morning—"
"Astaga! Kamu tau ini jam berapaa? Hah! Janjinya jam enam kamu jemput aku, tapi ini udah jam tujuh!" omel perempuan berambut panjang terurai cantik di layar ponsel Aga.
Mendengar ocehan dengan nada meninggi, membuat Aga langsung menutup telinga sebelahnya karena sang kekasih hati yang super cerewet itu mulai berceramah panjang kali lebar.
Buseett ini cewek, pagi-pagi udah makan petasan kali ya, batin Aga menggerutu.
Lelaki itu pun kembali menatap ke arah kekasihnya dengan memasang tampang tanpa dosa. Tersenyum selebar mungkin guma meredakan wajah cemberut di seberang sana.
"Aga! Dengerin dong! Kamu ini, ish dasar jam karet! Buruann jemput!" pekik Hana.
"Iya ya ampun, Sayang. Aku aja baru mandi ini kamu videp call, ish!"
"Oh ya? Masaa?" Hana mulai menaruh curiga alih-alih percaya pada sang kekasih.
Aga menghela napas sembari berkacak pinggang. Beruntung tubuh polos itu tidak seluruhnya tertangkap kamera ponsel dam menyisakan sedada saja.
"Enggak percaya nih, apa kamu mau ikut aku mandi? Ke sini aja, sih."
Mata cokelat perempuan itu membulat mendapati ucapan Aga, kemudian mendecak sebal. "Enggak! Aku tunggu lima menit lagi! Awas kalau enggak nyampek!"
Aga hanya tertawa kecil. Panggilan video pun terputus. Lelaki itu segera melangkahkan kaki kembali ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, ia pun menyelesaikan ritual mandinya dan segera menuju ke almari yang terbuat dari kaca untuk berganti baju. Ia ambil kaos oblong berwarna putih, celana jeans biru laut dengan robekan di lutut yang katanya hits jaman sekarang, lantas menyabet jaket denim. Setelah itu, ia sedikit berlari ke arah lantai bawah karena kamarnya terletak di lantai atas.
"Morning, Pa," sapa Aga buru- buru pada Aditya yang tengah duduk santai membaca koran paginya.
"Kamu mau kemana buru- buru begitu?" tanya Aditya.
"Mau anterin Hana, Pa. Aga telat bangun nih, dadah, Pa. Aga berangkat dulu," pamitnya.
"Kebiasaan! Jangan ngebut. Hati -hati," peringat Aditya.
Aditya memang tidak melarang Aga dekat dengan siapa pun, tetapi pria berkaca mata itu hanya berkata jika setiap perbuatan harus ada tanggung jawabnya. Kalau pun Aga melakukan sebuah kesalahan, berarti ia harus berani menanggungnya. Hal itu yang selalu menjadi pengingat Aga dalam menjalin hubungan asmaranya.
Sang ayah telah mempercayainya dan Aga tidak akan pernah mempermainkan itu. Lelaki yang kini setengah berlari itu pun lantas pergi begitu saja ke parkiran kediamannya. Meloncati mobil sport dengan bak terbuka itu menjadi hobinya jika terlambat menjemput Hana dan sesegera mungkin melajukan keluar gerbang rumah.
Mobil berwarna merah metalic itu melaju dengan kencang menuju ke salah satu perumahan di kota Jakarta. Beberapa menit kemudian, dilihatnya di depan sebuah rumah tampak seorang perempuan yang melipat kedua tangan di dadanya, lantas memanyunkan bibir karena Aga telat menjemputnya.
Aga melajukan mobilnya perlahan hingga berada persis di depan mata sang kekasih. Laki-laki masih dengan senyum tanpa dosanya berusaha meluluhkan hati Hana.
"Gak kurang lama!" omel Hana.
"Maaf, Sayang, alarmnya rusak di rumah. Yuk, masih ada waktu setengah jam lagi," ujar Aga yang melirik angka digital di arlojinya.
"Huuhh kalau enggak karena buru-buru awas aja kamu!"
Aga tertawa kecil mendapati Hana masih menggerutu. Setelah Hana masuk ke dalam mobilnya ia langsung melajukan mesin itu ke sebuah perusahaan fashion dan modeling di bilangan Jakarta Pusat, di mana tujuan Hana pagi itu untuk mengikuti audisi. Hana akan melakukan seraingkaian tes untuk masuk sebuah iklan brand ternama yang digaet oleh perusahaan tersebut.
"Kamu mau ikut?" tanya Hana.
Aga menggelengkan kepala dan hanya akan menunggu di luar saja.
"Ya sudah tunggu di sini ya, atau di mananya nanti hubungi aku. Aku masuk dulu," ucap Hana.
Aga hanya mengangkat jempol dan segera memarkirkan mobil saat Hana telah masuk ke dalam gedung itu. Setelah mobil terparkir sempurna ia pun turun, sejenak merapikan rambut pada spion dan melangkah pergi menuju ke salah satu tempat makan di lantai dasar gedung itu. Ia memesan satu buah roti panggang dengan coffe latte sebagai pengganjal perut.
"Agaa," tegur seseorang tepat saat ia baru saja menyeruput minuman itu.
Sontak saja Aga langsung menoleh ke sumber suara.
"Loh, Kak Mey ... ngapain di sini?" tanya Aga.
"Ini 'kan kantor papaku, Ga. Kamu lupa?"
Aga langsung melongokkan kepala dan melihat nama di gedung perusahaan itu. Seketika, ia menepuk jidat dan baru tersadar bahwa perusahaan yang menjadi tujuan Hana, memang milik keluarga Nugraha. Mungkin, efek baru bangun tidur dan terburu-buru membuatnya tidak terlalu memerhatikam sekitar.
"Oh iya ya. Kenapa aku enggak sadar." Aga mulai tertawa sumbang."Ini cabang paman ya berarti ... Kak Mey yang pegang?"
"Iya, aku yang pegang kalau di sini ... aku boleh duduk di sini?"
"Boleh lah, Kak. Ini 'kan perusahaan kakak. Suka-suka kakak lah," ujar Aga masih dengan tawa renyahnya.
Meylira—anak perempuan keluarga Nugraha— pun menggeser kursi dari kayu itu dan duduk tepat di depan Aga. Entah kenapa ia selalu saja merasa senang jika bertemu Aga. Walau jarak mereka terpaut empay tahun, tetapi lelaki di depan matanya ini memiliki sisi dewasa dibandingkan kekasih-kekasihnya terdahulu.
"Oh iya ... kamu ngapain di sini?"
"Nganterin Hana, Kak ... dia ada audisi buat jadi bintang iklan apa ya itu, lupa aku, Kak," jelas Aga.
Meylira mengangguk, masih dengan seulas senyum yang terpaksa saat mendengar nama perempuan pemilik hati lelaki di depannya ini.
"Oh iya, kita lagi ngadain audisi itu. Jadi kamu sepagi ini ke sini cuman nganterin Hana aja, manis banget, sih," ucap Meylira yang hanya disambut senyuman oleh Aga.
Ia memang tahu jika Aga sudah memiliki pasangan, tetapi tetap saja perempuan berambut panjang itu merasa sangat nyaman berada di sisi Aga. Apalagi jika orang tua mereka mengadakan acara kumpul bersama, Mey paling semangat menyambutnya.
"Bagaimana kabar, Uncle Aditya? "
"Papa, ya dia baik - baik saja. Sehat-sehat saja kok. Kak Mey jarang ke rumah lagi ya sekarang."
"Ah iya aku sibuk dengan urusan kantor ... jadinya belum bisa kemana-mana deh," keluh Mey.
"Enggak masalah dong, Kak. Demi bantu orang tua. 'kan? uncle sama aunty juga pasti bangga sama kakak," ucap Aga menyemangati perempuan itu.
Meylira lantas menatap Aga, tampak raut kesedihan yang terpendam dalam sorot mata lelaki itu yang tak terlihat oleh orang lain, meskipun bibir masih tertarik untuk menunjukkan sebuah senyum. Namun Meylira tahu terkait orang tua, terumata ibu selalu menajdi hal krusial bagi Aga. Meylira tahu 15 tahun lalu ibunya meninggalkan Aga ketika masih balita dan belum mengerti apa-apa, bahkan ia juga tidak tahu penyebab kematian mendiang istri sahabat papanya itu.
"Ga, kamu bisa menganggap mamaku juga mamamu, 'kan? Papaku juga sudah bilang begitu bukan? Jangan sedih ya ...."
Aga menarik perlahan napasnya dan mengembuskan. Ia selalu sulit untuk menyembunyikan kesedihan itu, apalagi di depan Meylira yang sangat dekat dengan keluarganya.
"Iyaa benar. Nanti deh aku main ke rumah Kak Mey ya. Aga juga kangen sama uncle dan aunty."
Meylira menganggukan kepalanya cepat mengiyakan ucapan Aga. Mereka pun terlibat obrolan hangat dan seru sepanjang Aga menunggu Hana selesai tes. Lelaki itu tampak sangat akrab dengan Meylira, sesekali justru terlihat seperti sepasang kekasih yang sangat harmonis.
"Eh, Kak. Bentar deh, itu—" ucap Aga yang memerhatikan wajah Mey.
"Hah? Kenapa, Ga? Ada apa di wajahku?" ucap Mey bingung.
Tiba- tiba Aga mengusap lembut sudut bibir Meylira yang terkena noda ice cream yang ia pesan. Sontak perempuan itu menatap Aga yang tersenyum padanya. Jantungnya berdtak dua kali lebih cepat saat tatapan mereka bertemu di udara.
"Ini!" Aga menunjukkan bekas ice creame di jarinya. "Kak Mey, udah gede masih aja belepotan," lanjutnya dnegan tawa renyah mengiringi.
"Astaga! Duh. maaf ya, ngotorin tanganmy. Gak sadar sih, tapi makasih ya ...."
Aga pun hanya tersenyum membalas ucapan Meylira. Beberapa saat kemudian, Hana yang sedari tadi mencari sang kekasih, akhirnya menemukan Aga.
"Astaga, Sayang. Kamu ternyata di sini, aku mencarimu dari tadi. Eh, ini Mak Mey, 'kan? Astagaa baru ini aku ketemu langsung. Aku Hana, Kak, salam kenal, aku tau Kak Mey dari majalah fashion," ucap Hana ekspresif sambil berusaha menjabat tangan Mey.
Mey pun hanya tersenyum menanggapi ocehan Hana yang sama sekali tidak ingin ia dengar dan menjabat tangan itu sebentar.
"Emm oke deh aku balik dulu ke kantor ya. Aga aku duluan ya. See you, " ucap Mey yang lantas pergi dan melambaikan tangannya pada Aga.
Aga turut melambaikan tangannya dan tersenyum tipis. Ia selalu saja mengagumi perempuan itu, mandiri dan cekatan, satu lagi tidak manja. Ia langsung melirik ke arah Hana, melihat perbandingan yang sangat kontras. Hana merupakan perempuan yang sangat manja dan tidak bisa menerima penolakkan. Ia juga sangat keras kepala. Namun, Hana cinta pertamanya dan ia sangat mencintai wanita di sampingnya itu.
"Aga, ayo pergi dari sini. Akuu udah laper dan jangan makan di sini yaa, dii tempat biasa ajaa," ucap Hana.
Aga menganggukan kepala dan tersenyum tipis. Ia pun bangkit dari tempat duduk itu dan berlalu mengajak Hana pergi.
****
Ruangan luas dengan warna abu gelap dipadukan putih, masih terasa sama dan dingin. Ruangan itu tak banyak berubah, masih diisi oleh sosok Aditya, sang pemilik Artha Group, perusahaan properti berbasis teknologi di Jakarta. Di ruangan itu, masih terlihat Aditya yang tengah meneliti beberapa dokumen pekerjaan. Namun, di depannya satu orang sahahat mulai merasa sedikit ragu untuk berucap. Sudah lima menit ia membiarkan sang pemilik gedung sembilan lantai itu sibuk dengan kegiatannya.
"Lo kenapa, Vin? Ada yang mau diomongin lagi?" tanya Aditya memecahkan keheningan.
"Dit ... lo beneran masih pengen sendiri? Udah 15 tahun loh, Dit. Ya seenggaknya ada yang ngurusin lo sama Aga lah. Tampang lo juga masih oke buat cari lagi."
Pria yang masih sibuk dengan beberapa dokumen di tangan hanya tersenyum geli mendengar ocehan sahabatnya itu. Berkali-kali, bahkan rasanya ia hapal dengan keinginan Kevin untuk membuatnya mencari pndamping baru, tetapi tidak pernah terwujud. Aditya tahu, Kevin berbuat seperti itu, hanya untuk mengurangi beban bersalahnya ayas kematian Anggi. Namun, bagi Aditya, mendiang sang istri cukup menjadi kisah terakhirnya tanpa membuat awal yang baru lagi.
"Dari dulu juga udah oke," ucapnya percaya diri diiringi gelak tawa.
"Tapi buat apa, Vin? Nyari pasangan untuk pergi lagi? Enggak penting, Vin, yang penting sekarang anak gue sehat-sehat aja, makan cukup apa pun cukup. Sekolah tinggi dan slesai tugas gue. Gue udah biasa sendiri, Vin. Gue juga udah males nyari begituan," ucap Aditya yang masih bergelut bersama kertas-kertas dokumen di tangannya.
"Ya ... oke lah lo emang biasa sendiri sejak Anggi enggak ada, tapi Aga? Lo enggak mikirin dia masih butuh kasih sayang dari seorang ibu? Dari dia kecil loh ditinggalin sama Anggi."
"Aga enggak kurang kasih sayang, Vin. Banyak yang sayang sama dia. So, gue rasa Aga juga ngerti posisinya seperti apa," cetusnya seakan tahu segala hal. Nyatanya, Aditya tidak pernah mengerti sedalam apa Aga merindukan sosok seorang ibu, karena selalu ditepiskan oleh segala sikap seolah tak acuh.
Kevin menghela napas pasrah, sulit sekali membujuk sahabatnya itu. Usahanya sedari dulu mendekatkan Aditya dengan perempuan berpendidikan dan bertutur sopan serta berkpribadian baik pun tak mampu menggoyahkan hati Aditya.
"Terus? Lo beneran enggak mau nyari Dimas buat mempertanggung jawabkan semuanya? Gue bisa bantu lo."
"Buat apa? Semuanya udah berlalu sangat lama. Nyari dia buat dihukum lagi juga percuma, Vin. Anggi enggak bisa hidup lagi, 'kan?" Ungkapan tersirat Aditya membuat ia kemudian menghela napas berat.
Aditya lantas menerawang ke sisi luar jendela kantor. Ia masih saja menyesali keadaan dan waktu yang tak berpihak padanya saat itu. Meskipun ia sudah merelakan Anggi pergi, tetapi penyesalan selalu menghantuinya.
"Dendam enggak akan menyelesaikan masalah ... seringkali justru akan memunculkan dan membesarkan masalah yang tidak pernah berakhir. Gue enggak mau itu terjadi terus-terusan di hidup gue. Apalagi kalau Aga sampai tau ibunya meninggal karena perbuatan Dimas. Gue enggak tau dia bakal gimana, Vin. Karena anak gue tipe orang yang ambisius. Gue enggak mau dia jadi pendendam dan terlibat dalam hal yang dulu banyak gue lakuin. "
Aditya menarik napas lagi untuk sesaat, kini ia memijit pangkal hidungnya."Kalau gue bisa mutar waktu, gue enggak mau jadi urakan kayak dulu. Andai gue tau akhirnya kayak gini, harusnya dulu gue enggak ngelawan bokap gue, yang selalu bilangin gue buat enggak jadi anak yang enggak tau aturan. Sebab akibat sekarang yang gue laluin semuanya karena memang kelakuan gue yang gak bisa dicontoh anak gue kalo dia tau. Makanya gue tutup semua kisah gue, jangan sampai Aga tau semua itu," lanjut Adit.
Kevin tertegun, sahabatnya ini memang selalu berpendirian kuat. Jika ia mengatakan tidak selamanya akan tidak sampai ia sendiri yang merubahnya. Ia hanya menganggukan kepalanya menyetujui ucapan Aditya yang memang ada benarnya. Dirinya pun juga menutup semua masa lalunya dan tak ingin kedua anaknya mengetahui sisi gelap dari dirinya.