Di sebuah taman kecil milik keluarga Mahendra, terdapat dua remaja berbeda usia tengah bersantai. Sosok lelaki remaja berusia empat belas tahun dengan santainya menyandar pada sebuah pohon besar dan rindang sembari membaca sebuah buku bacaan milik Hana. Sedangkan remaja perempuan berusia sepuluh tahun itu merebahkan diri di paha Jack sembari menatap langit yang tertutupi ranting-ranting pohon.
"Jack, kamu janji berada terus di samping Hana, 'kan?" Kalimat itu tiba-tiba terlontarkan begitu saja dari bibir mungil Hana, mengatensi fokus Jack.
Lelaki remaja itu menutup buku dan menatap Hana. "Aku janji, Hana. Kamu sahabat terbaikku. Kamu bisa mencariku jika kamu perlu aku kapan pun yang kamu mau."
Hana tiba-tiba bangkit. Menatap Jack dengan mata berbinar dan tarikan di bibirnya membentuk simpul. Jack sangat menyukai senyuman Hana. Wajah Hana semakin cantik jika seulas tarikan di sudut-sudut bibir juga turut membentuk sebuah lengkungan indah. Bulu mata lentik serta hidung mancung Hana sudah membuat Jack terpana dengan kecantikan dara jelita itu.
"Aku sudah menganggap Jack lebih dari apa pun. Aku nggak tau gimana kalau aku tidak bersamamu. Aku mungkin akan kesepian, Jack."
Jack kembali tersenyum, ia mengusap halus pucuk kepala Hana. "Aku janji akan selalu bersamamu, Hana."
Hana menatap Jack dengan senang. Dua remaja yang tumbuh bersama dengan perbedaam status itu tidak menyurutkan hubungan pertemanan mereka. Hana yang digariskan memiliki keluarga berada benar-benar sudah nyaman berada di sisi Jack yang digariskan dari keluarga sederhana. Ayah Jack menjadi sopir pribadi keluarga Hana dan ibunya menjadi pembantu rumah tangga keluarga Hana.
Meskipun perbedaan status yang snagat mencolok, semuanya tidak menyurutkan jarak di antara mereka. Bahkan Hana tampak senang memiliki teman sekaligus kakak baginya saat berada di rumah. Hari-hari mereka lewati dengan canda tawa dan Jack tampak selalu senang dengan senyum Hana.
Akan tetapi, semuanya telah berubah saat Mahendra dengan tega mengusir ayah Jack beserta keluarganya hanya karena sebuah fitnah yang tidak berujung dan tidak jelas asal usulnya. Hingga ayah Jack mengembuskan napas terakhir karena gagal mendapatkan operasi malam itu.
"Tuan, saya mohon, pinjami saya sedikit saja. Saya janji saya akan membayar semuanya," pinta Ibu Jack memelas di bawah kaki Mahendra.
Pria bertubuh tinggi tegap itu dengan mentang-mentang berkacak pinggang. Perangainya tidak bersahabat sama sekali.
"Kamu tidak mendengar ucapan saya, bodoh! Saya tidak akan pernah lagi membantu keluargamu! Dewantoro itu maling! Dia berani mengambil barang berharga milik saya! Pergi kamu dari sini!" usir Mahendra dengan mendorong keras tubuh ibu Jack.
Perempuan malang itu hanya mampu menangis, ketika harapan satu-satunya tidak dapat membantunya. Hingga semua itu justru berakibat fatal.
Jack kecil hanya mampu merekam sisi anarkis Mahendra di dalam otaknya. Ia geram dengan Mahendra dan berjanji tidak akan pernah memaafkan pria itu sampai kapan pun. Hal itu membuat Jack menanamkan dendam pada keluarga Hana terutama pada anak gadis semata wayangnya itu.
~~~~~
Hana mengerutkan dahinya dan menatap Jack penuh pertanyaan. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun kejadian masa lalunya. Sama sekali tidak ada memori sedikit pun di dalam ingatannya.
"Tidak mungkin kamu tidak mengingatnya, Hana. Kita selalu bersama waktu kecil dan aku yang menjagamu waktu kamu kecil."
"Kamu ... kamu yang menjagaku?"
Hana masih tidak mengerti dan kembali berusaha menarik serangkaian memori yang seolah hilang tanpa jejak sama sekali. Sulit untuk mengingat hal yang tidak bisa terputar lagi dan hal itu justru membuat kepala Hana sakit.
"Kalau ayahmu tidak meninggal dan tidak pula meninggalkan hutang, mungkin sekarang kamu masih akan hidup enak dan bergelimang harta..l Tapi karena semuanya adalah kesalahan ayahmu yang membuat kamu dan ibumu sekarang begini," jelas Jack lagi.
"Aku ... anak orang kaya?"
Jack menatap Hana datar, seakan meyakinkan ucapannya dengan cara landang ke perempuan itu. Namun, beberapa saat kemudian, ia justru menatap Hana lamat-lamat, mencari titik kebohongan dari perempuan di depannya.
"Kamu ... sama sekali tidak mengingat itu?"
Hana menggelengkan kepalanya. Jack terheran melihat sikap Hana yang sedang tidak berbohong itu. Ia tau kecelakaan yang menimpa Hana, tetapi ia tidak menyangka Hana akan kehilangan memori masa lalunya termasuk memori bersamanya.
"Kalau dulu kamu menjagaku, kenapa sekarang kamu menyakitiku, Jack?"
DEG.
Pertanyaan Hana mampu membuat Jack terdiam seribu bahasa. Ia tahu, kelakuannya telah menyakiti Hana dan merusak masa depan gadis itu. Namun keinginannya sangat kuat untuk memiliki Hana, menjaga Hana dan melindungi Hana, membuat sikapnya salah dalam melakukan apa pun untuk perempuan itu.
"Karena aku ... takut kehilanganmu lagi, Hana. Sejak kematian ayahmu, kamu tidak lagi tinggal di rumah besarmu itu. Yang orang sekitar katakan, ibumu membawamu entah ke mana. Aku kehilanganmu hampir 10 tahun, Hana, sampai aku bertemu denganmu kembali di rumah ini. Di rumah Tuan Stefanus, aku sangat mengenalimu begitu kamu dan ibumu kemari."
Hana tertegun mendengar semua penuturan Jack padanya hari ini. Namun perlakuannya yang benar-benar kejam terhadap dirinya membuat Hana kembali membenci sosok Jack. Perempuan itu menangis lebih kencang dan berteriak lagi, meluakan kekesalan hati.
"Aku tidak peduli di masa lalu, kita seperti apa! Yang aku tau kamu yang membuatku hancur, membuatku kehilangan segalanya, Jack!"
Hana lantas berdiri dan pergi meninggalkan Jack. Namun, Jack yang tidak ingin Hana terus menerus membencinya lantas ikut bangkit dan mengejar Hana.
Kembali ia tarik lengan Hana, tetapi kali ini tidak dengan kekerasan. Ia tarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Ia usap rambut Hana dengan lembut. Tubuhnya yang bergetar karena ketakutan dirasakan oleh Jack.
Ia sama sekali tak ingin menyakiti Hana, tetapi ia tak ingin perempuan itu ke pelukan orang lain karena sebenarnya Jack sangat mencintai Hana sedari dulu.
"Maafkan aku, Hana," ucap Jack lirih.
Hana tertegun dengan ucapan Jack. Baru kali ini nada bicara Jack sangat lembut dan tidak ada bentakan ataupun ancaman seperti biasanya. Entah mengapa ia merasakan bahwa Jack bukan orang jahat yang selama ini ditunjukkan. Apa yang membuat Jack berubah menjadi sosok yang kejam terutama pada dirinya? Hana tidak pernah tahu apa alasannya. Semua yang terucap dari bibir Jack seolah alasan untuk membela diri saja. Ia pun mendorong tubuh Jack, karena saat ini hanya Aga yang terpikirkan.
Jack tidak menahan Hana lagi, ia biarkan Hana pergi untuk setidaknya menenangkan diri. Ia tahu perbuatannya menghancurkan Hana terutama hatinya. Ia paham pria yang Hana pilih memang yang terbaik namun ia benar-benar tak rela jika Hana jatuh ke pelukan orang lain. Alasan itulah yang membuatnya tega merusak Hana.
Hana berjalan menuju ke arah kamarnya dengan lemas, menutup pintu dan menguncinya. Ia terduduk di balik pintu itu, sekali lagi menangisi apa yang telah terjadi di hidupnya. Ia menangis sejadi-jadinya, hari ini tidak akan ada lagi Aga yang selalu memberikan senyum setulis hati, tidak ada lagi tawa mengiringi, dan tidak ada kenyamanan yang akan dirasakan. Aga sudah pergi meninggalkannya, meninggalkan semua kenangan di antara mereka berdua.
"Aku minta maaf, Aga. Maafin aku," lirih Hana di tengah isak tangisnya.
Ia sudah putus asa dengan hidupnya, tidak ada lagi yang membuat semangat kali ini. Ia lirik sesuatu di meja kecil pendek di dekat jendela kamar. Hana bangkit dan mengambil benda itu dengan ragu. Sebuah benda tajam yakni gunting tepat berada di genggaman. Pandangan itu nanar, antara takut dan sebuah penyesalan menyelimuti dirinya serta keputusasaan yang membuatnya akhirnya memutuskan sesuatu.
"Maaf, Bu. Maaf, Aga, aku harus pergi."
Dan dengan nekat Hana menyabetkan gunting tajam itu pada pergelangan tangannya, tepat di nadi. Rasa sakit dan perih pada pergelangan tangan itu tidak mampu dikalahkan oleh rasa sakit hatinya. Ia menahan dan semakin lama darah itu semakin mengucur dengan deras.
Hingga beberapa saat kemudian Hana merasa lemas dan pusing luar biasa. Rasa perih di tangannya telah merasuk hingga ke seluruh tubuh. Air mata yang tidak pernah berhenti sedari tadi akhirnya terpaksa berhenti dengan menutupnya mata Hana. Genangan darah di dalam kamar menjadi saksi di mana keputusasaan seorang Hana dalam menjalani hidupnya.
****
Aga menghentikan motornya tepat di depan sebuah taman. Perasaannya tertuju pada Hana saat ini. Ia merasa tidak enak dengan Hana yang ia tinggalkan karena emosinya tadi. Namun pengkhianatan yang dilakukan sang kekasih membuat sisi egois itu muncul kembali. Ia tepiskan segala bentuk rasa manusiawinya, sejenak turun dari motor dan duduk di tepi trotoar itu.
Sangat teramat pedih, satu perasaan yang mampu diungkapkan oleh Aga saat ini. Ia meremas rambutnya sendiri sedikit frustasi dengan kejadian-kejadian hari ini yang membuatnya bingung bercampur emosi.
"Sial! b******k! Kenapa semua bisa seperti ini?!" gerutu Aga.
Di dalam kesunyian malam ini, ia merasa sangat sendiri. Tidak ada lagi yang mampu dipercaya barang sedikit pun. Tidak ada lagi yang mampu mendamaikan hatinya lagi.
Mendadak kepalanya sangat pusing, sampai dengan menekan keras plipis pun rasa pusing belum juga mereda, justru semakin menjadi. Aga akhirnya bangkit dan berniat kembali ke rumah. Ia lajukan motor itu kembali, tetapi di tengah perjalanan kepalanya kembali sangat pusing dan menjadikan ia tidak berkonsentrasi terhadap jalanan.
Suara decitan dari motor terdengar nyaring. Aga mendadak mengerem laju motornya saat ia hampir saja menabrak seorang pria tua di depannya, sehingga membuat seseorang itu menjadi sedikit terkejut.
"Maaf, Pak, maaf. Saya nggak tau ... maaf sekali lagi. Apa Bapak ada yang luka? Mari saya antar ke rumah sakit, Aga mulai khawatir.
"Tidak perlu, Nak. Saya pulang saja"
"Kalau begitu saya antarkan ke rumah ya, Pak," tawar Aga karena merasa tidak enak.
Sang pria tua itu pun menuruti saja kemauan Aga. Ia hanya menunjukkan rumahnya yang tidak jauh dari tempat Aga yang hampir menabrak dirinya tadi.
"Di sini, Pak?"
"Iya, di sini, Nak. Terima kasih banyak..
"Saya antarkan, Pak, sampai di depan rumah."
Aga pun menatih sang pria tua itu hingga di depan rumah. Bangunan sederhana yang ada di depannya tampak sepi dan Aga menebak pria itu mungkin hanya tinggal seorang diri.
"Mari, Nak, masuk dulu. Sepertinya kamu juga sedang kacau. Tidak baik jika berkendara dengan keadaan begitu. Mari masuk saja."
Entah kenapa Aga mengiyakan saja permintaan sang pria tua itu. Lagipula kondisi hati dan pikiran juga terbilang tidak baik-baik saja Ia akhirnya masuk ke kediaman orang asing itu. Duduk di sofa pria itu dan tidan menyangka bahwa di dalam rumah terdapat banyak barang mewah karena yang Aga tahu dari depan, rumah ini seperti sebuah rumah biasa. Ia pun sedikit penasaran dengan sosok yang ia temui itu.
"Nak, ini silakan diminum. Maaf hanya air putih. Bapak nggak ada siapa-siapa di sini soalnya."
Aga hanya tersenyum dan mengangguk pelan, memaklumi segalanya.
"Bapak tinggal sendiri? Istri dan anak Bapak?"
"Hemm, saya sudah lama bercerai dengam istri saya dan kami belum memiliki keturunan."
Aga menganggukan kepalanya dan meminum air pemberian pria itu. Sedikit merasa tidakenak dengan pertanyaan yang mungkin menyinggung pria di depannya.
Pria itu menatap Aga dengan lekat dan ia seperti melihat seseorang di dalamnya. Seseorang yang dikenal dulu.
"Kamu mirip sekali dengan Aditya," ucap pria itu lirih.