"Lepas! Kalian jangan bertindak kurang ajar ya!" Teriakan itu menarik semua mata berpusat padanya.
"Turunkan aku!"
Seorang gadis bergaun minim dan seksi berwarna silver itu jadi tontonan di tengah-tengah kelab malam yang ramai penuh hingar-bingar. Beberapa saat yang lalu, tiba-tiba ada sekitar empat orang bertubuh tegap dan besar berpakaian serba hitam muncul. Gadis itu sudah terkenal di kelab, selalu menempati meja termahal di sana. Berpesta hampir setiap malam.
Gadis itu bernama Sora Quinza. Seorang putri dari keluarga ternama yang terkenal manja dan suka berpesta.
"Damn! Lepaskan aku!" Teriakan itu mengiringi usaha gadis tersebut yang terus berontak. Tindakannya sungguh bar-bar ketika berani menggigit salah satu tangan pria itu hingga berhasil lepas.
"Rasakan!" umpatnya. Tak cukup di sana, ia masih terus membuat kehebohan dengan melempari mereka dengan gelas di atas meja juga melepas lalu melempar heels mahalnya ke arah para pria tersebut.
"Nona muda, bekerja samalah! Kami hanya menjalankan perintah dari Bos!" ucap salah satunya yang berkepala plontos. Sora tidak terkejut sama sekali mendengarnya, hanya tak sangka jika kali ini ayahnya pakai cara mempermalukan dirinya.
Gadis itu berdiri sambil berkacak pinggang, "Papah yang memerintah?! Apa-apaan!" Napasnya terengah-engah oleh gejolak emosi.
"Bos meminta Anda untuk pulang!”
"Tidak, katakan aku tak akan pulang!”
"Kalau begitu maafkan kami harus bertindak lancang."
Manik mata Sora melebar, belum sempat mengerti maksudnya salah satu ajudan ayahnya mendekat dan membekuknya. Kemudian membawa tubuhnya seperti karung beras. Sora masih terus melawan meski semua berakhir sia-sia.
"Bereskan kekacauan ini!" ujar ketua ajudan tersebut pada anak buahnya yang segera mengerti.
Sora dipaksa masuk ke mobil yang akan membawanya pulang. Benar saja, ayahnya sudah menunggunya di rumah. Sorot mata yang tajam tidak membuat anak gadisnya itu takut. Justru dia meringis melihat penampilan anaknya tanpa sepatu dan bergaun minim.
"Apa yang Papah lakukan?! Papah membuatku malu!" omel Sora.
Pria paruh baya tersebut menghela napas, "pelankan suaramu, Sora!"
"Aku tidak terima diperlakukan seperti itu, Pah! Kenapa Papah selalu merusak kesenanganku!"
"Karena kamu sudah kelewatan batas," ujar ayah Sora.
Sora menatap ayahnya menantang dengan dagu terangkat, kemudian muncul seorang wanita cantik berusia sekitar sepuluh tahun di atas usia Sora yang baru dua puluh satu tahun. Kekesalan Sora bertambah.
Ibunya baru satu setengah tahun meninggal tetapi satu tahun lalu pun Papah sudah menikahi wanita muda yang tidak Sora sukai. Wanita itu Sora sebut sebagai penghianat karena sebelumnya adalah asisten mamahnya.
"Sora, kenapa kamu berantakan sekali?!"
Sora langsung mendengus, menatap benci padanya. "Jangan ikut campur!"
"Jaga bicaramu, Sora! Bella adalah ibumu—“
Sora langsung membantah ayahnya, "Ibuku sudah tiada satu setengah tahun lalu, wanita benalu ini tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Mamah dihatiku maupun rumah ini! Dasar jala—“
Plak!
Ayahnya maju dengan cepat dan lepas kendali dengan melempar satu tamparan yang panas membuat wajah Sora memerah dan terlempar ke samping. Sora memegangi Pipi dan menatap marah pada ayahnya. Senyum miris terlempar, "akhirnya Papah menunjukkan arti diriku di hidup Papah. Sadar atau tidak, bukan hanya aku yang berubah setelah Mamah tiada. Tapi, Papah juga! Papah bahkan rela melayangkan tangan ke pipiku hanya untuk membela wanita sialan yang sudah merusak ketenteraman rumah ini!”
"Sora!" Papah berteriak dan kembali akan melayangkan pukulan namun berhasil menahan dirinya.
"Kenapa berhenti, pukul lagi Pah?! Pukul! Kalau bisa sampai aku bisa menyusul Mamah!” Sora sengaja memberi wajahnya.
Papah malah mundur, matanya berkaca-kaca dengan perasaan menyesal. Sora tidak menangis, lebih tepatnya menahan tangis sekuat tenaga. Air matanya sudah habis ketika ditinggalkan oleh ibunya dan dengar kabar pernikahan kedua ayahnya dengan sang asisten mamahnya. Kabar perselingkuhan Papah sudah pernah Sora dengar, sekarang Sora yakin inilah penyebab Mamah sakit sampai tiada. Sejak saat itu, Sora berubah dari gadis penurut dan manis menjadi pembuat onar dan melawan. Semakin menjadi ketika Papah menikahi Bella dan membawanya ke rumah ini. Segalanya pun berubah.
"Kamu sudah melewati batas, Sora! Papah tidak punya cara lain untuk mengambil tindakan untukmu," ujarnya dengan suara pelan namun tegas. Papah kemudian memanggil dua ajudan tadi yang membawa Sora. "Jangan biarkan Sora keluar dari rumah ini sampai hari pernikahannya."
Mata Sora membeliak, "Pernikahan? Papah tidak bisa sembarangan memutuskan hidupku!”
"Bawa dia ke kamar!" ayah Sora memerintah.
"Pah, jangan lakukan ini atau Sora akan benar-benar membenci Papah!" Sora memberontak, namun tak bisa berkutik saat di paksa untuk masuk ke kamar. Suaranya sampai serak karena berteriak meminta Papah untuk menarik ucapannya terasa sia-sia. Sora di dorong masuk ke kamar yang berubah jadi tahanan, pintu di kunci dari luar dan detik itu tubuh Sora merosot di lantai. Tangisnya pecah bersama bahunya yang gemetar. Sora sudah pernah berjanji untuk tidak menangis, namun ternyata sulit saat dunia terasa tidak lagi adil padanya.
“Mah.. Mamah Sora rindu.” Lirihnya memanggil sang Ibu. Berharap Tuhan membuatnya pergi menyusul ibunya saja.