1. Prolog
“Bu, sebenarnya Mas Alex itu kerjanya apa sih? Masa udah dua minggu kita di sini, belum ketemu orangnya. Saya aja gak kenal mukanya, kalau gak lihat di foto pernikahan di depan." Kamal bertanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu meletakkan pengki di balik pintu, lalu mencuci tangannya.
"Gak tahu Ibu juga. Waktu itu, cuma ditelepon suruh menemin istrinya di sini. Ibu gak berani banyak tanya, karena Alex itu beda sama kamu. Abang kamu itu sedikit kaku dan dingin. Beda sama kamu yang lemah-lembut, baik hati, dan senang menolong janda. Dah, kita gak usah ikut campur. Kamu gak berangkat cari kerja?"
Ha ha ha … Kamal tertawa mendengar gurauan ibunya.
“Ini mau berangkat, Bu, sekalian antar Kak Ica ke kampus.”
“Mau ngelamar apa?” tanya Bu Rani yang tengah mengupas kentang dengan pisau pengupas khusus kulit sayuran dan buah.
“Ngelamar janda,” jawab Kamal sambil tergelak.
Puk!
“Aw! Sakit, Bu!” Kamal mengusap kepalanya yang terkena lemparan maut alat pengupas kulit buah dan sayur itu.
Uek!
Uek!
"Ya Allah, kasihan ya. Masih mual-mual aja Neng Ica." Bu Rani; ibu dari Kamal berjalan dengan tergopoh, menghampiri Ica di kamar mandi belakang.
"Buatin Teh, Mal!" teriak Bu Rani pada Kamal. Lelaki itu pun menurut, dengan sigap membuatkan teh untuk kakak iparnya yang masih saja mual dan muntah, padahal kehamilannya memasuki usia tujuh bulan.
Kamal berjalan ke arah ruang tengah, lalu meletakkan secangkir teh di atas meja. Kakak iparnya itu memejam mata, sambil menikmati pijatan dari Bu Rani, di leher belakangnya. Ada air bening di sudut matanya, dan itu membuat Kamal menjadi iba.
Wanita yang sedang hamil, setahunya harus selalu dekat dengan suami, ataupun kalau sedang berjauhan, pasti selalu video call atau teleponan. Karena pasti butuh perhatian lebih dan ingin dimanja. Walaupun ia belum menikah, pacar juga belum pernah punya, tetapi ia tahu hal itu dari teman-temannya yang sudah menikah dan baru memiliki anak.
Sepanjang tinggal di perumahan mewah milik Alex;abang satu ayahnya. Ia tak pernah melihat sang kakak ipar berbicara mesra di telepon. Kalau pun ada berbincang di telepon, pasti dengan orang tua atau teman-temannya. Sungguh ia penasaran, di mana Mas Alex.
"Tidak usah kuliah hari ini ya, Ica. Nanti, kalau mual, muntah di kampus gimana?" ujar Bu Rani pada Ica yang masih saja meneteskan air mata.
"Siang ini ada ujian, Bu. Gak papa, Ica kuliah saja. Nanti siang juga hilang mualnya," jawab Ica dengan menyunggingkan senyum tipis.
"Terima kasih ya, Bu. Ica udah dipijitin. Kalau gak ada Ibu dan Kamal, Ica pasti kesepian," suara wanita muda itu terdengar bergetar. Tampak sekali ia tengah membesarkan hatinya yang tengah dirundung duka.
Tak mudah menjalankan pernikahan tanpa restu orang tua. Annisa, atau biasa dipanggil Ica menikah dengan Alex. Lelaki dewasa berusia tiga puluh enam tahun, sedangkan Ica baru satu bulan ke depan berusia dua puluh tahun, dan sedang duduk di bangku kuliah semester tiga.
Sedari SMA, Ica memang nampak lebih tertarik dengan pria dewasa yang puluhan tahun beda usia darinya. Entahlah kenapa bisa seperti itu? Padahal ia juga tak kekurangan figur seorang ayah di dalam rumah.
Alex sudah memiliki anak di luar pernikahan, dan hal itu yang membuat keluarga Ica tidak menyetujui pernikahan Ica dengan Alex. Sekarang, saat Ica dinyatakan hamil, tiba-tiba saja Alex pergi keluar kota hampir setiap bulan dengan alasan pekerjaan.
"Udah siap, Kak? Ayo, saya antar!" ajak Kamal pada kakak iparnya yang lagi-lagi melamun di teras.
"Maaf ya, Mal. Jadi merepotkan kamu." Susah payah Ica bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekat pada Kamal yang sudah siap dengan motornya.
"Pake helemnya." Kamal mengulurkan helem pada Ica. Wanita hamil itu menurut, lalu naik ke boncengan motor Kamal.
"Baca doanya!" kata Kamal lagi pada Ica.
"Gue gak tahu doa naik kendaraan," jawab Ica dengan polosnya.
"Tahunya doa apa?" tanya Kamal lagi dengan wajah serius.
"Doa mau makan dan doa mau tidur," jawab Ica lagi dengan wajah polos. Tentu saja Kamal tergelak, dan Ica pun akhirnya ikut tergelak mendengar suara tawa Kamal yang begitu renyah.
Sebelum benar-benar meninggalkan pekarangan rumah, Kamal terlebih dahulu mengajarkan Ica doa naik kendaraan. Wanita itu pun menurut, lalu mengikuti ucapan doa yang diajarkan Kamal.
Bu Rani yang memperhatikan dari teras rumah, tentulah ikut melengkungkan garis bibir. Baru kali ini, ia bisa melihat tawa Ica yang begitu lebar. Wajah wanita hamil itu berubah menjadi sangat merah saat tertawa.
"Berangkat ya, Bu. Assalamualaykum," pamit Ica sambil melambaikan tangan pada Bu Rani.
Motor dikendarai Kamal dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Ia benar-benar canggung membawa wanita hamil besar seperti ini. Bagaimana jika nanti Ica melahirkan di atas motor?
"Mal, ini motor ada mesinnya gak sih? Jalannya kok kayak gerobak!"
"Ha ha ha ...." Kamal tergelak. Ia tahu maksud ucapan dari Ica adalah, agar membawa motor lebih cepat.
"Pegangan, Kak," kata Kamal.
"Gak mau ah, bau badan kamu gak enak," tolak Ica mentah-mentah dengan alasan mengesalkan sekaligus menggemaskan. Kamal hanya bisa menyeringai, lalu kembali fokus pada kemudinya.
Angin bertiup sedikit kencang, padahal sudah pukul dua belas siang dan matahari juga bersinar cukup terik. Kamal sibuk memperhatikan jalan, Ica sibuk merindui suaminya yang sepekan ini tak berkirim kabar sama sekali.
Sebuah mobil yang sangat ia kenal, sedang berhenti di lampu merah dalam posisi paling depan. Itu bukannya mobil suaminya?
"Mal, ikuti mobil merah di depan ya."
"Merah BMW itu, Kak?"
"Iya."
Lampu hijau menyala, mobil berbelok ke kanan dan sesuai perintah Ica, Kamal mengikuti kemana mobil itu bergerak. Hingga sampai di sebuah lobi hotel. Ica semakin berdebar, saat lelaki yang sangat ia rindukan keluar dari mobil mewah, dengan seorang wanita cantik. Keduanya bergandengan tangan dengan sangat mesra.
Kamal pun ikut tercengang dengan pemandangan di seberangnya. Lelaki itu adalah Alex; kakaknya. Namun, siapa wanita seksi yang kakaknya gandeng itu?
"Kak, itu ...."
"Itu suami saya," suara Ica bergetar.
"Ssstt ... aaah ... sakit!" Ica memegang perutnya yang tiba-tiba saja kaku dan sangat sakit.
Jangan lupa simpan di library kalian ya. Terima kasih