Benih Pelakor

1096 Words
Aksa kembali membuka suara dengan nada yang lebih keras. "Danisa, kamu itu tak punya keluarga lagi. Kamu yatim piatu. Seharusnya kamu bersyukur punya suami seperti aku yang selalu mencukupi kebutuhanmu. Kamu tidak pernah kekurangan makanan atau apapun." Danisa menunduk, merasakan hatinya terluka oleh kata-kata suaminya. Namun, ia mencoba menahan perasaannya. "Ya, Mas," ucapnya meski suaranya bergetar. Aksa melanjutkan dengan nada tegas, "Mulai hari ini, keuangan akan diatur oleh Ibu. Seharusnya kamu tidak keberatan." Danisa mengangguk pelan. "Baik, Mas," jawabnya sambil berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Sebenarnya, di dalam hati Danisa ada kemarahan yang ia pendam. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia menjadi yatim piatu karena ulah Aksa sendiri, yang menyebabkan kecelakaan tragis itu. Namun, Danisa memilih untuk diam. Ia tidak ingin mengungkit masa lalu yang kelam dan berpotensi menghancurkan rumah tangganya. Ia pun menyadari bahwa sekarang ia memang tidak punya siapapun selain Aksa dan keluarganya. Dengan segala perasaan yang campur aduk, Danisa memutuskan untuk tetap menerima keadaan ini dan berharap suatu hari nanti Aksa bisa lebih memahami dirinya. "Aku akan mencoba memahami, Mas," tambah Danisa lirih, meskipun hatinya terluka. Pagi itu, Danisa, Amanda, dan Aksa duduk di meja makan untuk sarapan. Mereka menikmati hidangan sederhana: telur dadar, sayur bayam, dan kerupuk. Tak lama kemudian, Kemala masuk ke ruang makan. Melihat mereka makan, wajahnya berubah tidak senang. "Ibu tidak terbiasa sarapan dengan sajian sederhana seperti ini," kata Kemala dengan nada ketus. "Di rumah Wina, Ibu sangat dimanjakan. Ibu tidak mau makan. Ibu mau makan di luar saja." Mendengar hal itu, Danisa merasa tersinggung. Selama ini, mereka memang sering sarapan dengan sajian sederhana bukan karena tidak mampu, tetapi karena Danisa ingin lebih bijaksana dalam menggunakan uang. Aksa menoleh ke ibunya dan berkata, "Ya sudah, Bu. Kalau Ibu mau makan di luar, silakan." Kemala memandang Aksa dengan tajam. "Ibu kan belum pegang uang." Aksa segera merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu menyerahkannya kepada ibunya. "Ini, Bu. Silakan." Kemala mengambil uang itu tanpa sepatah kata pun dan berjalan keluar dari ruang makan. Danisa menahan perasaannya yang campur aduk, mencoba untuk tetap tenang di depan suami dan anaknya. Setelah Kemala pergi, suasana meja makan menjadi sedikit tegang. Namun, Danisa mencoba tersenyum dan melanjutkan sarapannya. Setelah Aksa berangkat kerja dan Amanda berangkat sekolah, Danisa langsung membereskan bekas sarapan di meja makan. Ia mengumpulkan piring dan gelas, lalu membawanya ke dapur. Di dapur, ia mencuci piring, menyapu, dan mengepel lantai hingga bersih. Selesai dari dapur, Danisa melanjutkan dengan menyapu seluruh rumah. Saat ia sedang menyapu ruang tamu, Kemala tiba-tiba datang dan memandang sekeliling dengan kritis. "Kamu bersihkan rumah ini sampai benar-benar bersih ya. Soalnya nanti siang akan ada tamu," kata Kemala dengan nada perintah. Danisa berhenti sejenak, menatap ibu mertuanya, lalu mengangguk. "Baik, Bu," jawabnya dengan sopan. Kemala mengangguk singkat dan berlalu masuk ke kamarnya. Danisa melanjutkan pekerjaannya, memastikan setiap sudut rumah bersih seperti yang diinginkan Kemala. Meskipun hatinya terasa lelah, ia tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik, demi menjaga keharmonisan dalam rumah tangganya. Setelah lelah membersihkan seluruh sudut rumah dan mencuci serta menyetrika semua pakaian, siang harinya Danisa mendengar suara ketukan pintu. Ia segera menuju pintu dan membukanya. Di depan pintu, berdiri seorang perempuan berwajah cantik yang mengenakan celana bahan dan kemeja, tersenyum padanya. Penampilannya seperti karyawati. "Halo, selamat siang. Apa benar ini rumah Ibu Kemala?" tanya perempuan itu dengan ramah. Danisa ingin sekali menyebut bahwa ini adalah rumahnya dan bukan milik ibu mertuanya. Namun, karena tidak ingin berbasa-basi, ia menjawab singkat, "Iya, benar." Tak berselang lama, Kemala muncul dari arah dalam rumah dan langsung menyapa tamunya dengan hangat. "Halo sayang, akhirnya kamu datang juga. Ayo, ayo masuk," ucap Kemala dengan lembut. Perempuan itu pun masuk dan duduk di ruang tamu bersama Kemala. Kemala kemudian melihat ke arah Danisa yang masih berdiri di dekat pintu dan berkata dengan tegas, "Danisa, ada tamu. Ayo siapkan minum dan cemilannya juga." "Baik, Bu," jawab Danisa. Ia segera berlalu pergi ke dapur dan menyiapkan minuman serta makanan ringan. Tak berselang lama, Danisa kembali dengan nampan berisi minuman dan cemilan, lalu menyajikannya di atas meja di ruang tamu itu. Setelah meletakkan semuanya dengan rapi, ia melangkah mundur dan menunggu perintah lebih lanjut dari Kemala, berusaha tetap tenang meski hatinya lelah dan sedikit tersinggung. Kemala lalu berkata, “tugasmu telah selesai. Pergilah.” Danisa meremas tangannya sendiri, kesal karena ibu mertuanya memperlakukannya layaknya pembantu. Ia pun beranjak ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai, meninggalkan Kemala dan tamunya berbincang di ruang tamu. Setelah satu jam berlalu, Danisa yang merasa lelah akhirnya mengambil ponselnya. Ia sadar bahwa sebentar lagi Amanda akan pulang. Saat ia akan beranjak dari duduknya, tiba-tiba Kemala masuk ke kamarnya tanpa permisi. Kontan hal itu membuat Danisa terkejut. "Bu, kalau masuk kamar ketuk pintu dulu," kata Danisa dengan nada terkejut dan sedikit tegas. "Apa sih kamu ngatur-ngatur? Ini kan rumah anak saya, terserah saya dong saya mau ketuk pintu atau tidak," balas Kemala dengan nada tinggi. Kemala kemudian menambahkan, "Oh iya, tadi itu Tamara. Dia adalah calon istri Aksa." Danisa melebarkan matanya, terkejut dan bingung. "Maksud Ibu apa? Aku kan istrinya Mas Aksa." Kemala memandang Danisa dengan tajam dan berkata, "Begini ya, menurut Ibu, kamu itu bukan menantu idaman Ibu. Kamu tidak berpendidikan tinggi dan juga bukan orang berada. Tidak ada yang bisa dibanggakan oleh Ibu. Jadi, sepertinya lebih baik jika Aksa berganti istri. Ibu akan meminta Aksa untuk menceraikanmu dan segera menikahi Tamara." Mendengar hal itu, hati Danisa terasa sakit. Ia tak bisa memungkiri bahwa dirinya memang hanya lulusan SMP. Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan yang disebabkan oleh Aksa, ia harus berhenti sekolah. Namun, ia selalu berusaha keras untuk menjadi istri yang baik bagi Aksa. Air mata menggenang di mata Danisa, namun ia mencoba tetap tenang. "Bu, aku tahu aku bukan menantu yang sempurna, tapi aku selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Aksa. Tolong jangan ambil keputusan sepihak seperti itu," kata Danisa dengan suara bergetar. Kemala hanya mendengus dan berkata, "Kita lihat saja nanti. Ibu yakin Aksa akan setuju dengan keputusan ini." Kemala kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Danisa yang berdiri terdiam, merasakan campuran antara sakit hati dan ketidakberdayaan. Sore harinya, Aksa pulang dari kantor. Danisa, seperti biasa, bersiap menyambut suaminya di depan pintu. Namun, sebelum Danisa sempat tiba, Kemala langsung berkata, "Sana, sana, biar Ibu yang menyambut Aksa." Danisa mundur dengan perasaan kecewa dan kembali ke kamarnya. Pintu terbuka, dan Kemala menyambut Aksa dengan senyuman. "Ehm, Ibu, mana Danisa?" tanya Aksa yang terbiasa disambut oleh istrinya. "Nggak tahu tuh, mungkin ada di kamar. Kayaknya istrimu itu marah pada Ibu," jawab Kemala dengan nada menyindir. Aksa duduk di ruang tamu, merasa bingung. "Marah kenapa, Bu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD