Louisa menikmati pemandangan kota Malaysia dari atas flat tempatnya tinggal selama enam tahun belakangan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan Twin Tower terlihat jelas dari jendela kamarnya. Teh hangat yang menemaninya untuk duduk manis dan bersantai ria, sungguh hidup yang menyenangkan.
Sudah enam tahun ia berada di Malaysia, melarikan diri dari seseorang yang pernah menghinanya sampai ia memutuskan untuk pergi. Apa laki-laki itu menyesal? Jawabannya tidak. Dari sinilah Louisa belajar untuk menerima kenyataan jika memang perasaan tidak dapat dipaksakan. Ada kalanya mencintai seseorang lalu berjuang segenap hati tetapi tidak mendapatkan akhir seperti yang diinginkan. Contohnya Louisa, ia harus menekan perasaannya untuk melupakan laki-laki itu. Laki-laki itu tidak pernah memikirkan Louisa, benar-benar cinta bertepuk sebelah tangan. Sudah enam tahun pula ia gagal move on. Bagaimana rasanya? Pahit. Louisa kemudian memutuskan untuk pergi, bukankah memang ini lebih baik? Berada jauh dari seseorang yang kita sayang? Bahkan berada jauh saja ia masih gagal move on. Dasar payah.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan hanya tiga kemungkinan yang meneleponnya. Bunda, Delbert, atau restoran. Ia mengambil malas ponselnya yang berada cukup jauh tetapi masih terlihat olehnya.
Bunda's calling.. “Tuhkan bener.”
"Hallo, Bunda," sapa Louisa.
"Hallo, kamu di mana, Sa?"
"Di Flat, Bun. Ada apa?"
"Kamu sibuk?"
"Hemm, nggak kok. Ada apa?"
"Kamu bisa pulang ke Jakarta? Ada sesuatu yang Bunda ingin sampaikan."
"Nggak bisa lewat telepon aja, Bun?” tanya Louisa. Ia malas pulang ke Jakarta, bisa makin gagal move on.
"Bunda, hemm, gimana ya ngomongnya."
"Yah Bunda, pake acara mikir segala. Ngomong aja, ada apa? Bunda sakit?"
"Bunda... hmm, tapi kamu jangan marah ya sama Bunda."
Alis Louisa bertaut mendengar penuturan Bundanya ini. Masalahnya Bundanya tidak pernah berbicara seperti ini, jika ada maunya ya langsung saja bilang tidak pakai tanya-tanya segala.
"Iya, aku nggak marah. Kenapa?"
"Kemarin ada yang ngelamar kamu. Lalu Bunda terima."
Hah? Mata Louisa seakan ingin lepas dan jantungnya tiba-tiba serasa ingin berhenti. Melamar dan diterima?
"Ngelamar Bunda kali, kan Bunda yang nerima,” ucap Louisa asal.
"Makanya kamu pulang ya. Bicarain ini di sini."
"Bunda tolak aja deh."
"Nggak baik. Udah, Bunda tunggu kamu ya. Bunda tutup, tiket sudah Bunda pesankan sama Nak Deny, jadi kamu sudah dapat emailnya deh pasti. Sampai ketemu."
Bunda langsung mematikan sambungan telepon dan Louisa hanya menatap teleponnya tanpa ekspresi.
Tiket sudah dibelikan, lamaran sudah diterima, lalu apa lagi yang akan terjadi di hidupnya?
Tiba-tiba saja Delbert masuk ke dalam flat dan menghampiri Louisa.
"Ada apa?” tanyanya. "Muka kamu kayak habis ngelihat hantu aja."
"Kayaknya ini lebih serem dari hantu deh."
Delbert yang sedang mengambil gelas untuk minum berhenti sejenak dan melihat ke arah Louisa lalu menghampirinya.
"Ada apa?"
"Bunda, Bunda seenaknya aja nerima lamaran orang dan aku disuruh ke Jakarta, bahkan udah dibeliin tiket."
Louisa mendengar suara Delbert tertawa. "Bunda memang susah ditebak. Lalu? Kamu akan menjadi istri seseorang dalam waktu dekat?"
Louisa mengangkat bahu. "Tentu saja aku akan menolaknya. Kamu tau sendiri kan perasaan tidak bisa dipaksakan."
Delbert kembali mengambil gelas lalu mengambil air untuk dirinya. "Sudah sepantasnya kamu membuka hati, Louisa. Untuk apa jadi wanita gagal move on yang tidak dipedulikan? Carilah laki-laki yang mampu merusak lipstikmu bukan maskaramu,” ucap Delbert.
"Kamu sendiri memangnya sudah merusak berapa banyak lipstik?"
Delbert memutar pandang matanya lalu menghampiri Louisa yang duduk menghadap jendela di ruang tamunya itu. "Jangan mulai, karena kita sedang bahas kamu. Mungkin sudah saatnya kamu melupakan Diego. Mungkin juga Diego sudah menikah, kan?"
Louisa memukul lengan Delbert. "Instagramnya masih belum memosting pre-wedding-nya, jadi jangan asal tuduh!"
"Wah, sudah enam tahun bahkan kamu masih asik jadi stalker. Dari jaman f*******: sampai ke i********:, sadarlah, cintamu tidak terbalas."
"Bisa tutup mulutmu?"
Delbert tertawa melihat wajah Louisa. Louisa berdecak kesal, bagaimana ia bisa move on jika semua fokusnya hanya pada laki-laki itu.
♥♥♥
Louisa tiba di bandara Soekarno Hatta dua hari setelahnya. Bagaimana bisa Bundanya membelikan tiket hanya selang dua hari? Untung saja Delbert berbaik hati memberikan Louisa cuti untuk pulang ke Jakarta. Biar bagaimanapun Louisa harus bekerja dengan profesional.
Louisa menyebutkan alamat rumah Bunda pada supir taksi. Ia melihat perubahan Jakarta. Sudah enam tahun ia tidak kembali, biasanya Bundalah yang selalu berkunjung ke Malaysia.
Di dalam perjalanan, Louisa memikirkan tentang lamaran tersebut. Siapa yang melamarnya? Seperti apa wajahnya, dan mengapa Bunda bisa menerima begitu saja? Bukankah Louisa sudah jelas bicara jika ia tidak ingin pulang ke Jakarta lagi? Malah Louisa sedang mengejar menjadi warga negara Malaysia hanya untuk move on. Memang besar pengorbanannya ini.
Sesampainya di rumah Bunda, ia keluar taksi dan membayar sopir dengan beberapa lembar uang. Louisa tidak langsung masuk. Ia berdiri sebentar di halaman depan dan memandang rumahnya. Rumah Bunda masih sama seperti dulu, asri. Beberapa pohon dan bunga tumbuh. Bunda memang sangat telaten untuk menanam dan mengurus tanaman seperti ini.
"Bundaaaaa,,," panggilnya sambil mengetuk pintu kayu jati yang keras dan kokoh. "Bunda, anakmu pulang, Bunda."
"Iya sebentar jangan teriak-teriak,” balas Bunda dari dalam.
Ketika pintu terbuka, terlihatlah wanita separuh baya dengan balutan daster dan sendal jepitnya.
"Aduh, Bunda kangen banget sama kamu,” ucap Bunda sambil memeluk Louisa erat. Louisa juga membalas pelukannya erat. Meskipun baru tiga bulan lalu ia bertemu dengan Bunda tetapi tetap saja ia merindukan wanita ini.
"Masuk-masuk. Kamu cuma bawa barang segini?"
Bunda melihat ke koper kecil yang Louisa seret. "Iya, ngapain banyak-banyak, nanti aku balik lagi."
Louisa masuk ke dalam rumahnya, semua masih sama, kecuali cat dinding yang berubah menjadi lebih bersih.
"Capek?” tanya Bunda.
Louisa menggeleng.
"Kamu sudah makan?"
"Udah, Delbert tadi masak sebelum aku ke sini. Katanya takut aku kelaparan di pesawat. Bunda tau sendiri, aku kalau belum makan naik pesawat suka muntah."
"Kenapa Delbert nggak diajak sekalian?"
"Bun, dia itu sibuk. Lagian restoran gimana kalau dia ikut?"
Bunda mengelus rambut Louisa lembut. Tidak terasa Louisa sudah tumbuh dewasa. Sepertinya baru kemarin ia menguncir rambut Louisa.
"Kamu sudah besar, sudah mampu jadi istri orang, Sayang."
"Bunda, baru juga dateng udah mulai pembahasan aja."
"Tante Ruby yang minta kamu jadi menantunya."
Louisa baru saja menenggak air dan ia langsung terbatuk sampai wajahnya memerah. Tante Ruby? Maminya Diego?
"Huk... Huk.. Lamar?.. Huk.. Aku.. Huk.. Buat siapa, Bun? Hukk!” ucap Louisa sambil menepuk kecil dadanya.
"Buat Diego, masa buat Om Ezra."
Louisa melihat ke arah Bunda dengan tatapan yang membingungkan. Untuk Diego? Bagaimana bisa?
"Jadi sebenarnya gini, Tante Ruby datang ke sini lalu bertanya soal kamu. Dia tanya kamu gimana, dan tiba-tiba Tante Ruby bilang ingin melamar kamu untuk Diego."
"Jadi, Diegonya pasti nggak tau kan maksud Tante Ruby itu apa? Mungkin dia nggak tau rencananya Bunda sama Tante Ruby, kan?"
Bunda diam sambil meregangkan tubuhnya. Great! Sekarang apalagi yang akan terjadi? Laki-laki yang paling dihindarinya sekarang menjadi alasan kepulangannya sekarang.
"Bunda nggak enak nolaknya. Kamu tau sendiri keluarga Kresta udah baik banget sama kita. Dari di Bali sampai di Jakarta, kan? Bahkan Bunda aja masih suka dibantu meskipun sudah di Jakarta."
Louisa diam. Keluarga Kresta memang sangat baik padanya. Bahkan pendidikan Louisa saja ditanggung oleh keluarga Kresta. Ia yakin Bunda tidak akan berani bicara tidak untuk Tante Ruby.
Louisa menghela napas. Ia merasa kiamat untuk dirinya sudah dekat.
♥♥♥