Mempelai Pengganti

2106 Words
Kak Arsyad menghilang tiga hari sebelum kami menikah, hingga sampai hari H dirinya tak kunjung kembali. Aku menghela napas berkali-kali. Jika tidak ingin menikah denganku, kenapa setuju-setuju saja saat kami dijodohkan? Sedangkan aku, diri ini terlanjur jatuh hati padanya. Setahun kami menjalin hubungan meski karena perjodohan awalnya, Kak Arsyad tak pernah mengeluh apa pun padaku. Kak Arsyad itu perhatian, humoris yang bisa menghiburku, dan juga romantis. Sikap Kak Arsyad selama ini baik, tak ada yang aneh. Bahkan, kami selalu berdua mempersiapkan segala sesuatunya untuk persiapan pernikahan kami. Ke mana perginya lelaki itu sekarang? Semisal tak siap menikah denganku, kenapa tak bilang secara baik-baik? Pintu kamar terbuka, mama muncul di sana dan berjalan menghampiriku yang sedang duduk di meja rias, bersama MuA di dekatku yang tetap datang karena tidak aku batalkan. Hanya saja, belum ada riasan apa pun pada wajahku. Aku masih mengobrol dengan tim MuA tersebut. Aku yang masih berharap kedatangan Kak Arsyad. Semoga dia hanya sedang refreshing sejenak mempersiapkan mentalnya sebelum kami benar-benar menikah? "Gimana, Ma? Kak Arsyad udah datang?" Mama menggeleng, lalu duduk di pinggir tempat tidur menghadap padaku. "Mama boleh bicara sesuatu?" Aku mengangguk lemah. Terdengar helaan napas berat dari mama. "Tante Maudy pengen Azka yang gantiin posisi adiknya untuk menikahi kamu, kalau kamunya enggak keberatan." "Biar nggak bikin malu ya, Ma?" tanyaku tersenyum getir. Aku tahu, kedua keluarga besar kami tak akan mempermasalahkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk acara ini. Semua yang telah dibayar lunas. Akan tetapi, Om Fero sebagai pebisnis yang terkenal, bisa saja berita pembatalalan pernikahan anaknya ini membuat namanya akan dibicarakan di mana-mana. "Sayang, Mama menyerahkan semuanya sama kamu. Mama nggak peduli akan apa kata orang-orang kalau kamu batal menikah." "Tapi Om Fero dan Tante Maudy dulu baik banget sama mama dan papa. Mereka teman yang berjasa kayak Om Yoga dan Tante Aya juga." Aku tahu bagaimana sedihnya cerita papa dan mamaku dulu. Dan teman-teman mereka selalu ada menguatkan, terutama untuk papa yang pernah berada pada titik terendah pada hidupnya. Tante Maudy ingin sekali aku menjadi menantunya, itu yang selalu diulang-ulang olehnya. Aku pun sama sebenarnya, siapa yang tak ingin memiliki mertua seperti Tante Maudy dan Om Fero? "Tante cuma mau kamu yang jadi menantu kami. Mau ya, Sha? Kalian kan sudah saling mengenal sejak kecil juga. Arsyad juga katanya nggak masalah kalau dijodohin sama kamu." Setelah mengobrol dengan Kak Arsyad dan meminta waktu berpikir selama 2 minggu, aku pun memutuskan untuk menyetujui perjodohan itu. Mama dan papa sebenarnya tak memaksa, mereka menyerahkan semuanya padaku. Hal lain tentang kebaikan orang tuanya Kak Arsyad adalah, Om Fero yang dulu mengajak papaku berbisnis hingga bisnisnya papa melejit saat ini. Papa itu merupakan seorang pengacara juga, tapi namanya sempat jelek waktu menangani sebuah kasus besar. Om Fero membantu papa mengembangkan bisnis, mengajari papa bagaimana caranya berbisnis. Walau keluarga dari pihak mama kaya raya, bukan berarti papa hanya diam saja. Apa lagi dulu untuk adikku, papa dan mama mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Meski pada akhirnya harus ikhlas di mana adikku itu tak bisa diselamatkan. Aku mau-mau saja dijodohkan dengan Arsyad karena memandang Tante Maudy dan Om Fero. Tak ada alasan bagiku untuk menolak. Lagi juga, aku dan Kak Arsyad sudah saling mengenal sejak kecil seperti yang Tante Maudy bilang. Aku pikir, tak akan terlalu sulit untuk hubungan kami mengingat sikap Kak Arsyad yang hangat kepadaku. Aku single kala itu dan Kak Arsyad pun juga, tak ada salahnya jika menerima saran dari Tante Maudy yang disetujui oleh orang tuaku. Dan lagi, di mana aku akan mendapatkan calon mertua yang sudah seperti orang tua sendiri? Menikah bukan hanya tentang dua orang saja, akan tetapi ada dua keluarga yang menyatu—saling menerima. Tak sedikit orang yang telah menikah, tapi tak memiliki hubungan baik dengan keluarga pasangan. Aku memejamkan mata dan membukanya perlahan, tak menyangka jika kisahku dengan Kak Arsyad akan seperti ini akhirnya. "Tante Maudy bilangnya gimana, Ma?" tanyaku lirih. Tak ada lagi tangisan seperti kemarin-kemarin. "Kak Azka memangnya sudah ada di sini?" Kak Azka stay di luar negeri tak lama setelah istrinya meninggal. Kak Azka menikahi kekasihnya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit beberapa tahun lalu. Tak lama setelah mengucapkan ijab qabul, perempuan yang telah dinikahinya itu menghembuskan napas terakhirnya. "Udah dari 2 hari yang lalu Azka pulang. Kemarin juga ke rumah sama orang tuanya. Kamu lagi istirahat, jadi Mama nggak mau ganggu waktu istirahat kamu kemarin." Aku manggut-manggut. Aku memang kurang tidur sejak Kak Arsyad tak bisa dihubungi. Seharian kemarin, aku merasa lelah sampai harus di-infus di rumah. Orang tuaku datang memanggilkan dokter ke rumah untukku. "Aku harus gimana, Ma? Kak Azka setuju memangnya?” Mama mengangguk. “Tapi, Nak, menikah lah karena keinginan kamu sendiri, bukan karena orang lain." Terdengar ketukan pintu kamar di saat aku dan mama sedang berbicara. Mama membuka pintu dan saat itu tampak lelaki yang beberapa tahun tidak aku lihat, muncul masuk. Kak Azka, lelaki yang dulu waktu kecil begitu dekat denganku. Diam-diam, aku pernah menaruh perasaan kepada lelaki yang usianya terpaut cukup jauh di atasku itu, 8 tahun lebih perbedaan usia kami. Namun, semakin bertambahnya usia, Kak Azka menjaga jarak denganku. Apa lagi semenjak mempunyai kekasih, hubungan kami benar-benar menjauh. Aku baru hendak masuk kuliah waktu itu di saat Kak Azka membawa kekasihnya ke rumah di mana ada acara di sana. Aku dan keluargaku pun turut hadir kala itu. "Mama keluar dulu." Mama mengusap-usap bahuku pelan. "Bukannya kamu dulu pernah menyukai Azka?" Mama berbisik pelan di di telingaku membuat mataku membola. Mama tahu dari mana? Mama tersenyum, lalu melangkah ke arah pintu. Kak Azka berada di dekatku saat ini. Dia tak kunjung bersuara. Tatapan matanya kemudian beralih dariku kepada tim MuA yang masih berada di kamarku. Paham akan maksudnya, aku meminta ketiga orang itu untuk menunggu di luar sejenak. "Kak— " "Menikah sama gue." Belum selesai aku bicara, Kak Azka sudah memotong ucapanku. Aku terkejut? Tentu saja. Ajakan menikah keluar dari mulutnya langsung, yang aku pikir awalnya Tante Maudy yang akan datang ke sini. "A-ku... " "Menikah sama gue atau nggak ada pernikahan yang akan terjadi hari ini," ujar lelaki itu dingin. "Kak Azka yakin mau menikah sama aku?" "Lo masih mau nungguin adek gue emangnya?" Bukannya menjawab, Kak Azka malah balik bertanya. "Yakin dia bakalan datang?" Aku tak menjawab. Sedikit takjub dengan banyaknya kata yang keluar dari mulut Kak Azka setelah belasan hubungan kami tak lagi dekat. Aku menghela napas. Tadinya, aku memang berharap jika Kak Arsyad kembali dan kami bisa melangsungkan acara pernikahan kami. Kenapa sekarang aku mendadak bimbang? Apa aku berarti mengkhianati cintanya Kak Arsyad jika setuju menikah dengan Kak Azka? Tapi... bagaimana jika Kak Arsyad tak akan kembali lagi untukku, atau buruknya selama ini tak benar-benar mencintaiku? "Dua jam lagi, acara akan dimulai atau enggak akan ada pernikahan sama sekali." Kak Azka kembali bersuara. "Lo yakin jika adek gue benar-benar mencintai elo? Lo nggak sakit hati ditinggalin begitu aja tanpa sepatah kata pun?" Siapa bilang aku tak sakit hati? Sedih, kecewa, marah, semuanya campur aduk. Dilemaku saat ini. Meneruskan pernikahan dengan orang yang berbeda atau membatalkannya? Selain karena Tante Maudy, ada rasa ingin menjaga kehormatan dan nama baik kedua keluarga. Berarti jika aku menyetujui ini, itu artinya aku harus membangkitkan lagi rasa lama yang pernah ada untuk Kak Azka dalam sebuah hubungan baru yaitu pernikahan. Dan rasa yang aku miliki untuk Kak Arsyad mau tak mau harus dihapus perlahan. Karena sebuah pernikahan bagiku bukan untuk main-main. *** Aku memutuskan untuk menerima pernikahan dengan Kak Azka. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Orang tuaku selalu bilang, jika menikah lah berdasarkan keinginan sendiri. Namun, aku tetap tak bisa untuk mengabaikan orang lain. Meski menghilangnya Arsyad membuatku kecewa, akan tetapi ada orang tuanya yang membuatku akhirnya tetap melanjutkan pernikahan dengan penggantinya yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Rupanya, kemarin Kak Azka dan orang tuanya sudah ke rumah membicarakan ini. Sah!! Air mataku menetes begitu saja ketika mengetahui bahwa saat ini aku telah menjadi istri orang. Kak Azka, seseorang yang tak pernah aku duga sebelumnya akan menjadi suamiku, telah selesai menjabat tangan papaku. Kak Zee, anaknya Tante Aya temannya orang tuaku yang menuntun langkahku keluar ruangan menuju ke arah Kak Azka. "Kak Azka nggak kalah ganteng dari pada si Arsyad itu," ujar Kak Zee menggoda. "Minusnya kayak kulkas aja, sih. Kamu harus sabar aja. Intinya, dia itu kan baik. Kita semua udah saling mengenal sejak kecil." "Minta do'anya aja ya, Kak." Hingga tiba di hadapan Kak Azka, aku menyalaminya—mencium punggung tangannya. Lalu, tubuhku menegang saat lelaki itu kemudian mencium keningku. Aku mendongak, akan tetapi Kak Azka tampak biasa saja. Setelahnya dia menyematkan sebuah cincin di jemariku. Bukan cincin yang dibeli oleh Arsyad sebagai mahar, akan tetapi model lain yang aku rasa harganya lebih mahal. Tiba lah giliran acara sungkeman. Selain momen dengan kedua orang tuaku, momen dengan Tante Maudy juga tak kalau mengharukan. "Maafin Tante ya, Sayang. Maaf atas sikapnya Arsyad, maafkan kami yang kesannya memaksa kamu untuk menerima keputusan ini." Aku menggelengkan kepala. Aku tahu, betapa sayangnya Tante Maudy kepadaku sejak dulu. Kami begitu dekat, karena kadang aku dititip di rumahnya saat oma opaku sibuk seperti mama dan papa. Apa lagi saat adikku tengah berjuang hidup, hingga sempat mendapatkan perawatan intensif di luar negeri. Aku masih begitu kecil kala itu, masih SD kelas 2. Adikku lahir di saat aku baru masuk TK, akan tetapi dia terlahir dengan kondisi tak normal. "Azka anak yang baik, Tante yakin jika dia akan mencintai kamu. Azka akan menjaga kamu seperti apa yang pernah dilakukannya dulu, percaya sama Tante." Aku mengangguk. Kak Azka memang baik dan begitu protektif padaku dulu. Namun, aku tak tahu kenapa lelaki itu perlahan menjauh seiring berjalannya waktu. Dari akad hingga acara resepsi pada malam hari, Kak Azka tak mengajakku berbicara. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, juga tak ada senyum yang terlihat. Ada senyum tipis sih, tapi bukan ditujukan untukku, melainkan kepada tamu undangan. Aku pun bingung, hendak berbicara apa. Hingga acara selesai, baru akhirnya Kak Azka mengeluarkan suaranya. "Lo duluan aja ke kamar." Aku mengangguk. Di kamar, aku duduk diam di depan meja rias sambil menghela napas berkali-kali. Akan seperti apa pernikahanku dengan Kak Azka? Entah berapa lama aku terdiam di depan kaca, hingga ketukan pintu kamar membuatku tersentak akan lamunanku. Aku segera melangkah ke arah pintu sembari mengangkat gaunku. Begitu pintu terbuka, Kak Azka menatapku dengan alis bertaut. Lelaki itu melirik jam tangan merek Patek Phillipe di pergelangan tangannya, yang aku tafsir harganya mencapai miliaran. Tak heran Kak Azka bisa membeli benda mahal tersebut. Selain bekerja di perusahaan ternama di luar negeri sana, dia pasti memiliki saham juga di perusahaan papanya. Lelaki itu berdehem setelah tatapan mata kami bertemu beberapa saat. "Kenapa?" tanyaku mencicit pelan. Kak Azka menggelengkan kepala. Aku otomatis menggeser tubuhku saat dirinya melangkah masuk dengan menyeret sebuah koper kecil. Aku menutup pintu dan mengikuti langkah kaki lelaki itu dengan jantung yang berdegup tak karuan. Akan bagaimana kami melewati malam ini di kamar yang sama? Apa Kak Azka akan meminta haknya malam ini juga? Aku menggelengkan kepala. Kenapa berpikiran sejauh itu? Kak Azka pasti juga membutuhkan waktu menerima semua ini, sama sepertiku. Aku tak sengaja menabrak punggungnya Kak Azka ketika lelaki itu menghentikan langkahnya. Aku mengusap-usap keningku meringis. "Lo mau mandi duluan atau gue?" tanya lelaki itu tanpa menoleh. "Kak Azka aja. A-aku... aku mau hapus make up dulu." "Dari tadi ngapain aja?" "Eng.. emm... " Aku menggaruk hidungku yang tidak gatal. "Tadi... aku— " "Gue duluan yang mandi kalau gitu.” "Ya udah." Kak Azka terlihat membuka kopernya di samping lemari. "Kak Azka mandi aja, biar aku yang siapin baju gantinya Kakak," ujarku sembari menggigit bibir bawahku. Saat ini aku telah resmi menjadi istrinya Kak Azka, meski kami menikah tanpa cinta. Jadi, sudah seharusnya aku melayani suamiku seperti menyediakan baju untuknya salah satu contohnya. Gerakan lelaki itu terhenti dan menoleh padaku. "Nggak usah, gue bisa sendiri." "Tapi— " Kak Azka bangkit berdiri dan melewatiku begitu saja setelah mengambil pakaian dari kopernya. Sebelum mencapai pintu kamar mandi, langkah kakinya terhenti. "Besok setelah sarapan, kita langsung balik ke rumah orang tua gue." "Iya." Aku sebelumnya telah memesan tiket honeymoon dengan Arsyad ke Bintan. Kami rencananya akan honeymoon di Bintan dan Natuna. Tentunya dengan Kak Azka, tak akan ada honeymoon, bukan? Pasalnya, kami berdua menikah karena cinta. Melihat sikap Kak Azka yang masih dingin, apa lelaki itu belum juga move on dari mantan istrinya? Tak lama, Kak Azka keluar dari kamar mandi saat aku masih membersihkan make up-ku. Tinggal sedikit lagi. Dari kaca di depanku, aku melihat Kak Azka yang mengambil bantal dari atas kasur dan menuju ke arah sofa yang berada di dekat jendela arah ke balkon. "Tenang aja. Kita nggak bakalan tidur di ranjang yang sama kalau itu yang lo takutin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD