Keesokan harinya acara ijab kabul dilakukan di kediaman keluarga Soetedjo.
Bimo menatap dirinya di pantulan sebuah cermin, ia mengamati wajahnya sendiri, tidak ia pungkiri ia begitu gugup saat ini, rasa gugup ini jauh lebih mendebarkan ketika ia memimpin perusahaan milik sang ayah untuk pertama kalinya, atau ketika ia berhadapan dengan para pesaing dalam memperebutkan beberapa tender berharga ratusan milyar. Ia tidak menyangka bahwa acara ijab kabul yang ia kira akan ia lalui dengan mudah justru membuat ia gugup setengah mati.
Bimo menundukkan wajahnya, menatap jemarinya yang memegang sebuah foto berukuran enam kali sembilan centi meter, foto yang menampilkan dirinya dengan seorang gadis yang ia cintai beberapa tahun yang lalu. Gadis yang membuat hatinya menghangat hanya dengan menatap wajah cantik gadis itu, namun gadis itu juga yang mematahkan hatinya dengan memilih pria lain dibandingkan dengan dirinya.
Lamunan nya terpecah kala pintu kamar diketuk oleh seseorang, ia segera menyembunyikan foto tersebut di balik punggungnya kala melihat sang ayah yang berjalan memasuki kamar.
“Ngopo neng ngarep koco? (Ngapain di depan kaca?)” tanya Prasetyo.
“Deg-degan?” tanyanya kembali yang dijawab dengan gelengan kepala dari Bimo.
“Mboten kok, Pak. (Nggak kok, Pak) ” jawab Bimo seraya tersenyum.
“Tenane? (Yang bener?)” goda Prasetyo yang tersenyum melihat keringat di dahi sang putra.
“Saestu, Pak. (Beneran, Pak)” jawab Bimo membohongi sang ayah, Prasetyo menatap sang putra, ia menepuk kedua lengan atas Bimo lalu mengusapnya secara perlahan.
“Dino iki koe bakal sah dadi bojone Alika, Bapak pengen koe ojo ngecewakke Bapak karo Ibuk yo, le. Alika dijogo bener-bener, ojo ngasi koe ngelarani atine bojomu opo meneh nganti ngisin-ake Bapak karo Ibuk neng ngarepe mertuomu. (Hari ini kamu sah jadi suaminya Alika, Bapak mau kamu jangan mengecewakan bapak sama Ibuk ya, le. Alika dijaga bener-bener, jangan sampai kamu melukai hati istrimu apalagi sampai buat Bapak sama Ibuk malu di depan mertuamu)” ucap Prastetyo.
“Nggih, Pak. (Iya, Pak)” jawab Bimo, ia tahu bahwa ia dan Alika menikah karna perjodohan, namun jauh di lubuk hatinya ia pun tahu tentang kewajiban yang akan ia emban ketika Alika telah resmi menjadi istrinya.
Menikahi anak orang bukanlah hal yang mudah terlebih lagi ia harus membimbing dan menjaga sang istri sebagaimana kewajiban seorang suami. Ia pun sudah bertekad tidak akan mengecewakan kedua orang tuanya ketika ia menerima perjodohan tersebut dan tidak akan mengecewakan Alika seperti yang diinginkan oleh wanita itu satu minggu yang lalu.
“Yowes, Bapak enteni neng ngisor, ijab kabule dilit meneh. (Ya udah, Bapak tunggu di bawah, ijab kabul nya sebentar lagi)” ucap Prasetyo lalu kembali menepuk kedua lengan atas milik Bimo.
“Nggih, Pak. (Iya, Pak)” jawab Bimo lalu menatap kepergian sang ayah yang melenggang pergi keluar dari kamar.
Bimo kembali menghadap cermin lalu menatap foto yang beberapa menit lalu ia sembunyikan di balik punggungnya, ia membuka laci lalu mengambil dompet miliknya, menyelipkan foto tersebut di antara kartu debit dan black card miliknya.
Setelah memantapkan hatinya, Bimo berjalan keluar kamar lalu menuruni tangga, ia berjalan menuju kursi tempat ia akan mengucapkan janji sucinya di hadapan semua orang dan juga Tuhan.
“Deg-deg'an ra, Mas? (Deg-deg'an nggak, Mas)” tanya seorang pria bernama Bagus Putra Rahardjo seraya berbisik, ia merupakan adik sepupu Bimo.
“Ora. (Ngga)” jawab Bimo dengan tenang.
“Mantuku kok yo ayu banget sih. (Mantuku kok cantik banget sih)” ucap Lastriana dengan gemas ketika menuntun Alika, mendengar suara sang ibu membuat Bimo menolehkan kepalanya ke arah Alika dan juga Lastriana yang berjalan ke arah nya.
Untuk sesaat, Bimo sempat terpesona dengan kecantikan Alika, riasan wanita itu begitu pas di wajah cantik nya, bibir Alika yang berwarna merah muda alami kini dipoles dengan balutan lipstick berwarna merah menggoda yang membuat wanita itu tampak sexy di mata Bimo.
“Mas,” panggil Bagus kala Bimo tidak mengalihkan pandangannya dari calon istri.
“Ngopo, le? Pangling karo calon bojomu? (Kenapa, le? Pangling sama calon istrimu?)” celetuk Prastyo yang disambut oleh tawa beberapa anggota keluarga.
Alika menundukkan wajahnya saat Bimo memandanginya tanpa berkedip sejak ia berjalan menghampiri kursi yang terletak di samping Bimo, ia malu karna diperhatikan begitu intens oleh sang calon suami sedangkan Bimo menatap tajam pada adik sepupunya yang sudah membuat ia malu sementara Bagus hanya menyengir melihat tatapan dari kakak sepupunya tersebut.
“Sorry, Mas” ucap Bagus tanpa suara.
“Baiklah, apakah acaranya sudah dapat dimulai sekarang?” tanya seorang penghulu yang menghentikan tawa beberapa orang.
Bimo mengangguki pertanyaan dari penghulu tersebut, ia lalu menjabat tangan penghulu, degupan jantungnya kembali berdebar cepat ketika ia mendapati Mahendra menatapnya dengan sangat intens namun ia kembali mencoba menenangkan diri, ia tidak mungkin membuat malu dirinya sendiri dan para keluarga hanya karna salah pengucapan saat ijab kabul.
“Bismillahirrahmanirrahim, saudara Bimo Satria Rahardjo bin Prasetyo Adi Rahardjo, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Alika Prihapsari Soetedjo binti Mahendra Setyo Soetedjo dengan maskawin berupa satu unit mobil Lamborghini Aventador S Roadster dan satu unit rumah seharga sepuluh miliyar rupiah tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Alika Prihapsari Soetedjo binti Mahendra Setyo Soetedjo dengan maskawin tersebut dibayar tunai!” ucap Bimo dengan lantang sedangkan Alika sendiri berteriak girang dalam hati kala Bimo memberikan mahar yang begitu mewah baginya, mahar yang tidak pernah ia minta namun Bimo memberikannya begitu di luar ekspektasinya, ia kira pria itu akan memberinya mahar uang tunai dan emas beberapa puluh gram saja yang berkisar ratusan juta, namun total mahar yang ia dapat sebesar dua puluh delapan miliar, bahkan Aston Martin kesayangannya kalah dengan Lamborghini yang diberikan oleh sang suami.
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya penghulu.
“Sah!” jawab para saksi dan keluarga Alika yang menyaksikan moment ijab kabul tersebut, jawaban lantang dari seluruh keluarga membuat Bimo bernafas lega setelah prosesi ijab kabul yang begitu menegangkan beberapa detik yang lalu menurutnya.
“Alhamdulillah!!!” Penghulu segera membacakan do’a yang diaminkan oleh semua orang tak terkecuali Alika dan Bimo sendiri.
Alika segera mengulurkan tangannya kepada Bimo yang disambut oleh pria itu, Alika mencium punggung tangan sang suami yang membuat hati Bimo menghangat, ia segera mengecup kening Alika dengan lembut. Ketika ia melepaskan bibirnya dari kening sang istri, ia dapat melihat senyum lebar dari wajah Alika, sudah ia duga bahwa istrinya itu begitu senang dengan mahar yang ia beri, Bimo sudah hafal betul bagaimana sifat Alika.
“Makasih mas suami,” ucap Alika seraya tersenyum cerah.
“Iya,” jawab Bimo seadanya.